Bab 20 Kepolosan Eric
Bab 20 Kepolosan Eric
Arjun mengemudikan mobilnya saat ini. Di sebelahnya, duduk dengan gelisah seorang pemuda yang sering membuat Arjun kesal akhir-akhir ini.
Eric, duduk di sebelah Arjun dengan canggung. Berkali-kali ia menatap curiga ke arah Arjun. Pikiran-pikiran negatifnya terhadap Arjun berkelebatan sejak tadi. Bagaimana kalau ia diculik? Bagaimana kalau Arjun berniat menenggelamkannya di laut? Atau lebih parahnya, bagaimana kalau Arjun akan menjadikan Eric sebagai tumbal proyek untuk perusahaan keluarga yang mengadopsi Arjun? Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Eric berdiri. Ia refleks menggigit ujung kuku jari telunjuknya.
Eric semakin tidak nyaman dalam duduknya. Sekilas ia menatap kedua rekan Arjun yang berada di jok belakang. Kedua pemuda itu duduk tenang tak seperti biasanya.
"Jun, kudengar ayahmu ada proyek besar pembangunan apartemen di dekat kampus kita, ya?" Ini suara salah satu teman Arjun yang berada di jok belakang, Dewa.
"Benar, dari mana kau tahu, Wa?" sahut Arjun. Ia masih fokus mengemudi. Selama ini, Dewa dan Bima memang sering kali menebeng mobil Arjun. Arjun pun tak pernah keberatan. Di balik sifat tempramennya, Arjun sebenarnya adalah teman yang sangat baik bagi orang-orang terdekatnya. Namun, tak sedikit orang juga yang mengatakan Arjun adalah sosok yang kejam. Salah satunya adalah Eric yang sering menjadi korban perundungan Arjun.
"Lalu, aku juga dengar bahwa kau akan ikut andil dalam pembangunan itu ya, Jun?" tanya Dewa kembali.
"Sebenarnya, aku tak berniat ikut andil tapi ibuku memaksa untuk belajar dari sekarang." Arjun berujar.
"Jadi intinya, kau juga harus mencari tumbal untuk pembangunan itu. Benar begitu, kan?" lanjut Dewa dengan ekspresi datar.
Arjun mengernyit, semakin tidak paham dengan arah pembicaraan Dewa itu. Arjun menghentikan mobilnya sejenak di pinggir jalan. Ia menoleh ke jok belakang. "Apa maksudmu, heh? Tumbal proyek? Kau sudah tak waras, Dewa?" sungut Arjun.
Dewa memainkan mimik mukanya. Mata dan mulutnya digerak-gerakkan dengan misterius, seperti memberi sinyal pada Arjun. Setelah itu dagunya dimajukan menunjuk ke arah Eric. Mungkin telepati sahabat. Hanya mereka yang tahu.
Arjun melihat sekelebat ke Eric yang duduk di sampingnya. Terlihat Eric masih menggigit ujung-ujung kuku jemarinya. Peluh menetes dari pelipisnya. Eric seolah menggigil ketakutan. Arjun mengangguk mengerti. Ia menampilkan seringaian yang sulit diartikan.
"Oh iya, setelah ini kita akan ke mana, Jun?" tanya Bima yang tak mendapat kesempatan berbicara sejak tadi.
"Aku akan mengantarkan kalian berdua pulang dulu, setelah itu aku akan mengajak Eric ke sebuah tempat nantinya," ucap Arjun, santai. Ia kembali menjalankan mobilnya setelah berhenti sejenak di pinggir jalan tadi.
"Tidak! Aku tidak akan ikut denganmu, Jun! Aku akan ikut turun saja dengan Dewa dan Bima!" sela Eric, yang kini sudah mengingat nama teman sekelasnya itu.
Arjun menepuk bahu Eric tanpa menoleh ke arah sampingnya, ia masih fokus mengemudi. "Kenapa memangnya, Eric? Bukankah kita teman lama, heh? Kau tidak berniat berbaikan denganku, eum?" ucap Arjun disertai senyum aneh bagi Eric.
"Kau bukan tipe orang yang berbaikan begitu saja tanpa syarat apapun, Jun. Aku tahu dirimu sejak dulu. Kau itu orang yang sangat pendendam," desis Eric, ia sembari melemparkan tangan Arjun yang berada di bahunya.
"Ah, sebenarnya aku ingin berbaikan dengamu sejak dulu, Eric. Kita lupakan pertikaian kita beberapa tahun ini. Kau masih ingat perjuangan kita selama di panti asuhan dulu, kan?" papar Arjun.
Tak ada yang tahu bahwa saat ia kecil pernah tinggal di panti asuhan selama beberapa bulan karena ia diculik saat itu. Hanya Eric-lah yang mengetahui rahasia itu karena memang mereka berada di panti asuhan yang sama. Meski pada akhirnya, Arjun diambil kembali oleh keluarganya, meninggalkan Eric menjalani kehidupannya sendiri di sana.
Eric menatap tidak suka ke arah Arjun. "Setiap penjahat juga akan berbuat baik dulu sebelum mengakhiri nyawa korbannya," racau Eric. Ia lebih waspada menghadapi orang selama ini. Apalagi orang licik semacam Arjun itu. Tak ada yang tahu isi hati dan pikiran seorang Arjun.
"Kau masih marah karena aku sering merundungmu, heh?" tanya Arjun. Ia kembali menepuk pundak Eric meski selalu ditepis oleh Eric. "Baiklah, bagaimana kalau sekarang aku mentraktirmu sebagai permohonan maaf?" tawar Arjun.
Eric semakin menaruh kecurigaan terhapat pemuda yang berada di sampingnya itu. "Jangan mengelabuhiku! Bahkan seorang pengembala akan memberi banyak makan dombanya, sebelum akhirnya domba itu disembelih," gerutu Eric.
"Jadi, kau mengira aku akan melenyapkanmu, Eric?" potong Arjun.
"Iya, apalagi, hah? Kau berbuat baik padaku dulu agar aku tak curiga. Saat aku lengah, kau akan menjadikan tumbal proyek yang dijalankan kelurgamu. Begitu kan, Jun? Mengakulah!" tuduh Eric dengan nada nyaring.
"Pfftt, buwahahaha, sudah kubilang benar kan, Jun? Eric mengira kau akan melenyapkannya. Hahaha, konyol! Kurasa itu karena dia terlalu sering melihat sinema azab." Ini suara Dewa yang berada di jok belakang. Ia tertawa diikuti dengan Bima dan Arjun.
Eric tersentak. Ia merasa aneh. Ia melihat bergantian Arjun, Dewa dan Bima yang seolah menertawakannya. "Kenapa kalian, hah? Apanya yang lucu?" sungut Eric, berapi-api. Ia semakin yakin bahwa Arjun dan antek-anteknya telah mengerjainya saat ini.
"Kalau memang Arjun membutuhkan tumbal, sudah pasti Bima yang makannya banyak ini yang lebih dulu ditumbalkan, Eric. Hahaha, entah kau ini sebenarnya polos atau bodoh," ucap Dewa di tengah-tengah tawanya.
"Dan pastinya, setelah itu ia juga akan menumbalkan Dewa juga. Dewa yang sering berhutang kepada Arjun, jadi bisa saja Arjun menjadikan Dewa sebagai tumbal karena tidak bisa bayar hutang. Setelah itu, baru kamu Eric," timpal Bima, yang langsung dihadiahi tatapan mematikan oleh Dewa.
"Ja-jadi, siapa yang akan ditumbalakan duluan?" pertanyaan polos dari seorang Eric. Ia masih mengira Arjun punya niat buruk terhadapnya.
"Karena kalian sudah mengatakannya, jadi sekarang aku tak akan ragu lagi," ucap Arjun menengahi pertikaian mereka.
Dan seusai Arjun berkata seperti itu, suasana canggung menyelimuti mereka. Mereka terdiam dengan pemikirannya masing-masing.
**
Rafael tiba di Surabaya beberapa waktu lalu. Sebelumnya, ada rekan bisnisnya yang menghubungi dan menyuruhnya terbang ke Surabaya. Saat ini, Rafael berada di kantor agensi milik rekannya. Meski tak sebesar label manajemen Pandawa Entertainment, tapi label manajemen ini memiliki hubungan baik sejak dulu dengan Pandawa Entertainment.
Rafael berjalan tenang memasuki ruangan CEO dari TW Entertainment. Ia diantar oleh seorang asisten. Setelah mempersilahkan Rafael duduk di sofa ruangan ini, asisten perempuan itu pamit undur diri.
"CEO Takeru sudah menunggu Anda sejak tadi. Saya akan memberitahu kedatangan Anda. Beliau sedang berada di studio saat ini," ucap si asisten.
"Bilang kepadanya untuk cepat! Aku sedang sangat sibuk saat ini," ucap Rafael. Kalau tak mengingat hubungan baik yang terjalin antara Takeru dan ayahnya, Rafael akan menolak disuruh-suruh seperti ini. Ini demi image perusahaannya juga. Jadi, ia sedikit mengesampingkan sikap arogannya sejenak.
Si asisten mengangguk, mengerti. Ia buru-buru pergi untuk memanggil atasannya.
Rafael mengambil ponselnya di saku celananya. Ia menggulir layar ponsel hanya untuk mengetahui apakah media menyadari hilangnya Gaida secara tiba-tiba itu. Rafael mengembuskan napas lega. Tak ada berita yang menuliskan hilangnya Gaida. Perilisan album tinggal beberapa bulan lagi. Rafael harus segera menemukan Gaida bagaimana pun caranya.
Seorang lelaki sekitar umur 40 tahunan memasuki ruangan tempat Rafael berada sejak beberapa menit lalu.
"Maaf, sudah membuat Anda menunggu terlalu lama, Pak Rafael," ucap lelaki yang baru masuk itu. Ia duduk sofa seberang Rafael berada.
"Ada kepentingan apa, eum?" tanya Rafael, singkat.
"Saya ingin meminta bantuan Anda, Pak El. Saya tidak dapat mengandalkan polisi lagi. Keadaan ini begitu rumit. Saya ingin meminta bantuan kekuatan Anda," ucap lelaki itu. Takeru Watanabe namanya. CEO dari TW Entertainment."
"Jangan berbelit-belik! Langsung ke intinya saja. Jelaskan secara singkat," sungut Rafael.
"Begini, artis-artis yang berada di bawah naungan agensi saya, satu persatu telah dibunuh. Saya tidak tahu atas dasar apa artis-artis saya dibunuh itu. Jadi, saya meminta kekuatan Pandawa Entertainment untuk ikut menyelidikinya. Saya takut artis-artis Anda juga akan berakhir seperti artis kami," ungkap Takeru, terlihat begitu panik.
Rafael menarik sudut bibirnya. "Kheh! Jadi, hanya karena itu Anda menyuruhku ke sini, eum?" tanya Rafael. Ia kini bangkit dari duduknya. "Bukankah ini negara hukum, heh? Mintalah bantuan pada polisi, kenapa mencariku, eum?" sungut Rafael.
Takeru berlutut dan memegang pergelangan kaki Rafael. "Hanya Anda dan kekuasaan Anda yang dapat membantu saya, Pak El," pintanya.
Rafael menatap tidak suka lelaki yang berlutut di kakinya.
Bersambung ....
