Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 19 Awal Pertemanan

Bab 19 Awal Pertemanan

"Woy, Eric Yudhistira! Sampai kapan kau akan tidur seperti ini, oi! Bangun, woy! Ada kebakaran!" Sebuah suara begitu mengusik tidur Eric. Ia menggeliat sejenak, sebelum kembali merilekskan tubuhnya.

"Woy, bangun, Sialan! Aku menunggumu hanya karena perintah Profesor Nugi, Brengsek!" Lagi-lagi terdengar suara nyaring.

Itu suara yang begitu familiar bagi Eric. Benar, itu suara pemuda yang sering merundungnya, si Arjun. Bahkan, seolah Arjun tak membiarkan Eric damai dalam mimpi. Eric mencoba abai.

"Ngg? Berisik!" racau Eric. Matanya masih terpejam. Setengah jiwanya masih berada di alam mimpi.

Namun, Eric merasa sedikit aneh. Selama ini tak ada yang pernah coba membangunkannya. Tak ada yang peduli bahkan ketika Eric tidur selamanya pun mungkin tak ada yang peduli. Di keluarganya, tak ada kepedulian di antara mereka. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ah, terkadang Eric berharap bisa tinggal di dunia lain yang sesuai keinginannya meski itu hanya dunia ilusi.

"Woy, Eric Sialan! Anjing jelek!"

Lagi-lagi suara yang menyebalkan menurut Eric itu terdengar. Padahal ia baru saja akan memasuki dunia ilusi ciptaannya.

Eric berguling ke kanan dan kiri ranjangnya yang begitu luas, dalam bayangannya. Bahkan, mungkin muat ditiduri lima orang.

Namun ...

Brugh!

Tubuh Eric terjatuh begitu keras ke lantai dingin, dan saat itu juga matanya terbuka lebar.

Pemandangan samar pertama yang tersaji adalah ada tiga pemuda yang tak ia kenal tengah mengelilinginya. Eric segera mengeratkan jaketnya, tak memberi akses ketiga pemuda mesum itu yang ia pikir akan melecehkannya.

"A-apa yang akan kalian lakukan?" tanya Eric, terbata. Mungkin sebagian jiwanya memang masih tertinggal di alam mimpi. "Ka-kalian tak berniat melecehkanku, kan?" racau Eric kembali.

Plak!

Pipi Eric terasa memanas. Salah satu pemuda di hadapannya menampar begitu keras. Saat itu juga semua jiwa Eric berkumpul kembali ke raganya.

"Akkh, sumpah wajahku hancur kalau terus-terusan ditonjok dan ditampar seperti ini," gerutu Eric sambil menggosok-gosok pipinya. Tonjolkan Arjun tadi saja masih terasa begitu sakit, sekarang ada yang menamparnya lagi. Tunggu! Eric seperti mengingat sesuatu. Ah iya, dia tadi pagi tengah dihajar oleh Arjun hingga pingsan. Eric mengingat semuanya saat ini.

"Ini pakai kacamatamu dulu agar tidak mengira kami akan melecehkanmu," ucap salah seorang pemuda yang berada di hadapan Eric.

"Terima kasih." Eric meraih kacamata itu dan memakainya. Matanya terbelalak seketika saat pandangannya kembali jernih.

"Huwakh! Kenapa kalian bertiga yang berada di sini, hah?" Eric memekik nyaring. Ia benar-benar tak menyangka bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah Arjun bersama antek-anteknya, Eric menyebutnya.

Arjun berjongkok di hadapan Eric yang masih terduduk di lantai. Ia menoyor kepala Eric begitu kejam. "Memang kau mengharapkan siapa, hah? Memang kau punya teman selama ini?" sungut Arjun. Dia tak pernah melihat Eric dekat dengan teman sebayanya, jadi ia menyimpulkan seperti itu.

Eric mengerutkan kening. Meski agak kesal, tapi apa yang diucapkan Arjun itu ada benarnya juga. Selama ini Eric selalu menutup diri dan seolah memiliki dunianya sendiri. Bahkan teman akrab pun Eric tak memiliki. Eric melihat ketiga pemuda itu bergantian dan membatin, 'Andai mereka bertiga mau menjadi temanku?'

Salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi duduk di sisi ranjang yang ditiduri Eric tadi. Entah siapa itu, Eric bahkan lupa nama-nama teman sekelasnya sendiri. Mungkin Bima kalau Eric tak salah ingat.

"Buwahahaha, nyenyak sekali ya tidurmu? Apa kau kira ranjang di ruang kesehatan ini seperti ranjang di hotel berbintang, heh?" sindir Bima pada teman sekelasnya itu.

Pemuda yang lain membantu Eric berdiri. Eric masih merasa bingung dengan situasi ini. Sesekali ia mengucek matanya, dan melihat sekelilingnya.

Ruang kesehatan?

Ya, ia masih berada di ruang kesehatan saat ini. Mereka berempat masih berada di ruangan ini.

"Kau baik-baik saja kan, Eric?" tanya Dewa sambil membantu Eric kembali duduk di ranjang.

"Asshhh, ada apa ini sebenarnya? Sejak kapan kita jadi akrab seperti ini, heh? Kalian benar-benar tak berniat jahat terhadapku, kan?" ucap Eric sembari memijit pelan pelipisnya yang masih terasa nyeri.

Arjun sedikit mencondongkan wajahnya ke arah Eric. "Bagaimana rasanya mendapat karma dariku, huh? Kualat kau karena mengerjaiku, Sialan!" ucap Arjun sambil tersenyum tengil.

Eric dengan refleks mencakar wajah Arjun yang berada di hadapannya. "Sialan! Pasti kau ya yang meracuniku ya kan, Jun? Aku memberiku kesempatan memukulku bukannya malah meracuniku, Sialan!!" bentak Eric. Entah dapat kekuatan dari mana ia jadi berani membentak Arjun seperti ini. Biasanya ia akan diam saja dirundung oleh Arjun.

Eric merasa kepala bagian belakangnya begitu sakit. Ia mengusap tengkuknya, pelan. "Sebentar, kenapa kepala belakangku sakit sekali? Apa aku terbentur begitu keras tadi, eum?" keluh Eric sembari meringis kesakitan.

Semua mata langsung tertuju pada sosok Arjun. Dia yang sebelumnya bersama Eric, pasti tahu kronologis kejadiannya.

Eric menatap Arjun tajam. Ia ingin melawan mulai saat ini. Ia muak sejak tahun lalu selalu dirundung oleh Arjun. Padahal dulunya mereka berteman. Salahkan para perempuan yang membuat hubungan mereka merenggang sejak masuk bangku kuliah.

"Kau! Kau pasti memukulku dengan batu saat aku pingsan kan, Jun? Ngaku!" tuduh Eric sambil menunjuk tepat ke hidung mancung Arjun.

Arjun memelintir tangan Eric hingga terdengar tulang jemari Eric berderak. "Enak saja! Jangan asal tuduh, Sialan! Justru aku yang menolongmu. Tapi, karena aku malas membawamu ke punggung, tak sengaja aku menjatuhkanmu dari punggungku. Buwahahaha," ungkap Arjun dengan tertawa kejam, yang dibalas tatapan dingin dari Eric.

"Arjun sialan! Apa masalahmu, hah? Kenapa terus merundungku?!" protes Eric. Ia juga dengan sengaja menjambak rambut agak panjang Arjun dengan kejam. Sepertinya, ia mulai berniat untuk melawan Arjun dari sekarang.

"Sudah, hentikan tingkah konyol kalian!" Salah seorang teman Arjun yang berberawakan sedikit gembul, Dewa, menengahi pertikaian mereka.

Kini Dewa yang sok dewasa diantara keempatnya ambil suara.

Seketika itu juga mereka terdiam.

Dewa melangkahkan kakinya, mendekat ke arah Eric. Eric yang heran dengan tatapan aneh dari Dewa malah meremas wajah tampan Dewa.

"Berhenti melihatku seperti itu, oi! Ada apa dengan kalian ini, hah? Sejak kapan kita jadi sok akrab seperti ini, heh? Biasanya juga kalian merundungku!" bentak Eric pada Arjun dan para anteknya. Ia merasa aneh diperlakukan mereka dengan baik seperti ini. Pasti mereka berniat jahat, pikir Eric

Arjun membekap mulut Eric dengan kejam. Fokus matanya menatap Dewa yang seolah dengan menerawang sambil melihat Eric dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Dengarkan ucapan Dewa dulu, Sialan! Dia memiliki kemampuan istimewa," ujar Arjun, masih membekap mulut Eric.

Eric menghembaskan tangan Arjun yang sebelumnya membekapnya. "Sialan! Tanganmu bau, Jun!" gerutu Eric.

Namun, Arjun tak menggubrisnya. Ia lebih tertarik pada yang akan Dewa katakan. Temannya itu mempunyai six sense, jadi Arjun penasaran tentang penerawangan Dewa.

Dewa terdiam sejenak, ia memijit dagunya pelan seolah berpikir.

"Sepertinya ada yang tak beres dengan tubuhmu, Eric," ucap Dewa sambil terus mengamati Eric dari atas ke bawah.

"Tak beres bagaimana? Jangan membuatku penasaran!" Eric melirik ke arah Arjun sejenak. "Temanmu ini sungguhan turunan dukun, Jun?" tanyanya.

Arjun mengangguk.

Eric melotot bergantian ke arah Arjun dan Dewa. "A-aneh bagaimana maksudmu, heh?" tanya Eric, terbata. Ia sembari menguncang bahu Dewa.

"Tunggu, maksudmu bukan seperti Eric memiliki penyakit kanker, tumor atau semacamnya itu kan, Dewa?"

Kini Bima yang menyela perkataan Dewa. Ia yang paling memiliki rasa empati daripada Arjun dan Dewa

"Woy, sialan kau! Apa kau sedang menyumpahiku, hah?!" teriak Eric tepat di telingga Bima. Kedua rekan Arjun itu sama menjengkelkannya dengan ketua geng mereka, batin Eric.

"Bukan, kurasa Eric pingsan bukan karena penyakit atau karena otaknya yang semakin kosong seperti kita bertiga. Tapi ini lebih parah dari itu semua." Dewa berkata sok polos, namun tetap saja Eric merasa sakit dikata otaknya kosong seperti mereka. Meski kenyataan mereka berempat sebenarnya sama saja. Sama-sama bodoh di mata kuliah apa pun, tapi bedanya Eric tak pernah menunjukkan kebodohannya.

"Tapi dari pengamatanku, kau akan segera mati, Eric," imbuh Dewa dengan nada datar.

"Apa?! Mati?!" pekik Eric, Arjun dan Bima secara bersamaan.

"Sumpah, kau mengatakan aku akan mati dengan muka datar seperti itu sungguh menyebalkan, Sialan!" gerutu Eric.

Hening.

Tiba-tiba saja ruangan begitu sepi dan mencekam.

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel