Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Begonia City

Kiran, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun hidup di Kota Begonia dengan dua orang tuanya, Arhun dan Kora Wang.

Sebenarnya Kiran bukan anak tunggal dalam keluarga itu. Dua kakaknya, yang sulung bernama Thorn Wang, ketika berusia 19 tahun direkrut militer kekaisaran dan bergabung dengan program wajib militer - bela negara, pergi berperang demi kejayaan Kekaisaran Hersen, bukan Kekaisaran Qingchang.

Di musim gugur yang mulai dingin, saat Tanaman Persik mulai meranggas, Arhun Wang terdiam membeku di depan pintu rumah. Seorang petugas kota datang memberi tahu kalau Thorn Wang gugur dalam perang, di perbatasan Qingchang dalam pertempuran tak berkesudahan selama 3 hari 3 malam. Itu perang yang dahsyat melawan Kekaisaran Chosa di Timur.

Sejak kejadian itu Arhun Wang menjadi pendiam.

Lalu berita mengejutkan lain datang menimpa keluarga Wang. Sebagai manusia fana, tidak dapat mengolah Energi Pesona untuk di sebut ahli sihir, Avena Wang anak kedua, juga satu-satunya anak perempuan di keluarga itu dipanggil pihak Kekaisaran Boneka Qingchang untuk mengikuti wajib militer. Aura Wang adalah seorang gadis yang pandai membaca peta tidak lengkap, menafsirnya menjadi peta lengkap. Ia mahir menyusun peta tak lengkap, menjadi peta baru. Itu kemampuan yang diperolehnya ketika sekolah yang masih diadakan, dan perang belum terjadi.

Waktu berjalan cepat. Satu musim gugur berlalu. Ketika itu Kota Begonia sedang diadakan festival musim gugur, tahun berikutnya. Bunga Persik berguguran dan jalanan menjadi hamparan karpet persik warna orange.

Kabar mengejutkan kembali terdengar di pintu rumah kumuh itu.

Seorang prajurit Pemerintah Kota mengetuk pintu lapuk di rumah keluarga Arhun Wang. Sang prajurit memasang wajah datar tanpa ekspresi, menunggu pihak tuan rumah keluar mendengar dia membaca berita. Kora Wang, ibu Kiran langsung jatuh pingsan melihat tamu di depan pintu, sekalipun prajurit pembawa berita itu belum membaca isi surat resmi sama sekali.

Meski jantungnya berdebar, Arhun Wang berusaha terlihat tabah, berdiri di pintu menantu surat resmi di baca.

Dia berdiri rapuh. Bersandar di pintu yang ringkih, seringkih kondisinya sendiri. Prajurit itu membaca isi surat keras-keras. Informasi jelas bahwa, Skywraith kapal roh yang ditumpangi Aura Wang meledak ditembak api sihir lawan, di perbatasan Kekaisaran Chosa - dan perang tak kunjung usai.

Arhun Wang, ayah Kiran seketika terkulai. Dia menjadi mirip orang terserang penyakit mematikan. Arhun Wang terbaring di ranjang berhari-hari lamanya, tanpa bergerak sama sekali. Matanya menatap dengan tatapan kosong, mirip tak bernyawa. Arhun Wang sejak hari itu berubah menjadi mayat hidup. Ia menolak berbicara dan bergerak. Hanya diam membisu diatas tempat tidur.

Kembali ke keadaan saat ini.

Rumah dempet yang mereka tempati, saling menempel satu sama lain dengan rumah tetangga. Semua adalah sekumpulan rumah reot yang bertembok jerami dan di sulam kasar bercampur kain terpal. Tanpa hiasan sama sekali.

Jika beruntung, aka nada satu atau dua lukisan sisa, lukisan yang dipungut dari puing-puing rumah hancur, dan di tempel ala kadarnya dalam upaya membuat dekorasi dinding rumah terlihat baik-baik saja. Tapi itu tidak menolong.

Saking tipisnya tembok ala kadar yang membatasi rumah ke rumah, jelas sekali tak ada rahasia yang dapat disembunyikan di deretan perumahan kumuh itu. Berita dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut, bahkan lebih cepat dari hembusan angin musim dingin dari Utara.

Ini adalah berita terbaru.

"Sesuai dengan pengumuman di kantor kepala desa, minggu depan atau 7 hari dari sekarang di alun-alun kota akan diadakan tes bakat dan mengukur talenta semua anak-anak yang memenuhi batas usia ditentukan pemerintah, untuk menentukan masa depan mereka." Kora Wang berpidato di depan Kiran.

Kora tahu itu adalah tes untuk keberuntungan seorang anak, apakah si anak berbakat sihir dan kelak hidup melayani kekaisaran, atau jika gagal dia hanya akan menjadi manusia yang hanya menunggu sedikit dianggap dewasa, lalu menerima surat undangan pelatihan militer, mengangkat pedang dan berperang di garis depan. Sukur-sukur masih hidup.

"Aku harap setidaknya kamu memiliki sedikit bakat nanti. Kehidupanmu akan enak, dibiayai Kekaisaran Hersen dan bersekolah di Akademi Sihir.” Kora mencuci piring, tapi mulutnya tak henti berceramah.

“Menurutku itu lebih baik, ketimbang kau menjadi manusia fana, menunggu surat undangan untuk pergi berperang," desis Kora Wang Ketika melihat Kiran acuh tak acuh.

Sesungguhnya Kora Wang cemas. Usia 11 tahun Kiran, adalah waktu yang menentukan apakah Kiran akan terpilih, atau menunggu waktu berperang nanti.

Kiran diam. Dia ragu.

"Bukankah keluarga kita tidak berasal dari ahli sihir bukan?

Aku merasa pasti tak akan terpilih, menjadi anak berbakat Pesona yang hidup nyaman di balik dinding akademi nyaman itu.

Sekolah semacam itu yang ku dengar, hanya ditempati anak-anak bangsawan manja, yang memang keturunan pengendali energi pesona." Kiran skeptis.

“Tapi aku berharap…” Kora Wang baru saja akan bicara, Kiran menghilang. Ia berlari pergi, mencari kawan-kawannya untuk bermain.

“Aku tak memiliki kemampuan sihir. Lagipula usahaku masih muda. Akan ada kesempatan lain di masa depan.” Batin Kiran meninggalkan rumahnya.

Kora Wang menarik nafas dalam-dalam. Ia sedih. Sebagaimana seorang ibu di Benua Ayax, Kora rajin berlutut di Kuil dan meminta berkat Dewa Tempestia - Dewa yang menjadi junjungan orang-orang Negeri Qingchang. Dahulu, Kora selalu meminta berkat atas Kiran Wang.

Tapi sejak kejadian dua anak tertuanya tewas, Kora berhenti mengunjungi Kuil. Hatinya tawar. Ia berpikir dewasa tak adil. Ini diperparah dengan keadaan Arhun Wang yang sakit payah.

++++++

Kiran berlari kencang menemui tiga kawan baiknya.

Dia bukannya tidak ingin disebut anak yang memiliki bakat Pesona yang kemudian akan menjadi seorang pengolah Energi Pesona. Kiran sebenarnya diam-diam memendam keinginan menjadi seorang Penyihir ahli Pesona ternama. Tapi dia tahu diri. Uji bakat seperti itu hanya akan mendatangkan kekecewaan pada anak-anak miskin seperti mereka.

Selain bakat dan garis darah, di Benua Ayax ini jika seseorang ingin menjadi Ahli sihir, sejak dini anak itu sudah harus mengkonsumsi sumber daya mahal yang hanya terjangkau dan dapat dibeli orang kaya saja.

“Berlutut dan berdoa , meminta berkat Dewa Tempestia itu tak cukup.

Uang dan kekuasaan adalah penunjang bakat seseorang,” pikirnya.

“Ibuku terlalu berharap banyak. Pepatah lama bilang, kami ini seperti pungguk merindukan bulan. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin terjangkau.”

+++

Hari ini Kiran berencana bermain dengan 3 kawannya. Kai, Ming, dan Avena.

Avena adalah satu-satunya perempuan di antara 4 sekawan itu. Mereka semua adalah anak-anak korban perang, hidup susah mirip seperti kehidupan Kiran.

Hari itu, Avena mengajak mereka bermain di Hutan Berbisik, Hutan pinus yang menjadi Kawasan terlarang di Kota Begonia. Mengapa Hutan Pinus itu disebut Hutan Terlarang?

Konon kaisar membuat tembok ilusi, memisahkan Negri Qingchang dari negeri tetangga Zolia. Batasnya di Hutan Berbisik itu.

Ketika Kiran menolak untuk bermain di Hutan Terlarang, Avena menjadi berang.

"Bukankah kami hanya bermain-main di tepian hutan pinus bukan melangkah ke bagian dalam hutan?" Avena berteriak keras. Ia tak suka keinginannya terusik.

Kiran, Kai, dan Ming menunjukkan wajah tak setuju. Avena berkeras.

"Lagipula, bukankah ini sama dengan tidak melanggar aturan yang ditetapkan Kaisar?" Sanggah Avena dengan sengit.

Kiran, Kai, dan Ming tetap kukuh, menolak ajakan Avena. Dan senjata pamungkas di keluarkan gadis itu. Licik.

"Aku akan berhenti berbicara dengan kalian, jika tidak mengikuti ku bermain petak umpet di tepi Hutan Pinus itu!" Ancaman Avena itu, akhirnya membuat Kiran dan anak laki-laki menyerah. Mereka mengangguk kepala dengan terpaksa.

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel