Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Matahari di bayangan laut

Kekacauan yang diciptakan Glen justru menjadi bahan bakar bagi hubungan terlarangnya dengan Anastasia. Setiap ancaman dari Ayu, setiap tatapan dingin, setiap malam sunyi di rumah megahnya, hanya membuatnya semakin liar dalam pelarian ke pelukan Anastasia. Dia bukan lagi mencari kenyamanan; dia mencari pembenaran, sebuah bukti bahwa kekacauan ini sepadan. Dan Anastasia, yang terisolasi oleh rasa bersalah dan dirayu oleh perhatiannya yang obsesif, semakin terjerat dalam jaringnya.

Sebagai bentuk pembuktian—pada dirinya sendiri, pada Anastasia, dan mungkin secara tidak sadar, pada Ayu—Glen merencanakan sebuah pelarian. Sebuah kapal pesiar mewah menyusuri perairan Karibia selama tiga hari. "Hanya kita berdua," bisiknya pada Anastasia, matanya berbinar dengan kegilaan dan nafsu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. "Tidak ada telepon, tidak ada Ayu, tidak ada yang bisa memisahkan kita."

Bagi Anastasia, itu terdengar seperti mimpi yang mustahil sekaligus mimpi buruk. Sebuah pengakuan publik secara diam-diam. Tapi Glen sudah terlalu jauh. Dia membayar segalanya dengan tunai, memesan suite terbaik dengan dek pribadi, dan menggunakan nama samaran. "Mr. and Mrs. Sterling," katanya sambil menyodorkan tiketnya, sebuah senyum sombong dan sedih di bibirnya.

Hari keberangkatan tiba. Anastasia merasa seperti penipu, menyembunyikan wajahnya di balik kaca mata hitam besar. Tapi begitu mereka melangkah ke kapal, ke dalam suite mewah yang semuanya kaca menghadap ke laut biru tak berujung, kekhawatirannya menguap digantikan oleh euforia. Di sini, jauh dari daratan, aturan seolah tidak berlaku. Glen adalah miliknya, sepenuhnya.

Hari-hari itu berlangsung seperti mimpi yang terdistorsi oleh hawa panas. Mereka berjemur di dek pribadi, minum champagne, dan makan makanan lezat yang disajikan oleh pelayan pribadi. Glen tidak pernah menyentuh ponselnya. Dia sepenuhnya hadir, memandang Anastasia seperti seorang kolektor memandang harta karunnya yang paling berharga. Sentuhannya selalu ada: di punggungnya, di lengannya, di bibirnya. Seolah-olah dia takut jika dia berhenti menyentuh, Anastasia akan menghilang.

Tapi di balik kemewahan dan kemesraan itu, ada ketegangan yang hampir histeris. Setiap tatapan, setiap ciuman, terasa putus asa, seperti upaya terakhir untuk mempertahankan sebuah ilusi.

Malam kedua. Langit dipenuhi bintang, laut tenang, hanya terdengar desiran lunak ombak menyapu lambung kapal. Mereka makan malam di dek mereka sendiri, diterangi lilin. Glen banyak minum anggur, matanya gelap dan penuh intensitas.

"Kau tahu, tidak ada yang pernah membuatku merasa seperti ini," katanya, tangannya meraih tangan Anastasia di atas meja, jarinya menelusuri garis telapak tangannya. "Ayu... dia seperti sebuah patung. Sempurna, dingin, terprediksi. Tapi kau... kau adalah api."

Anastasia merasa sesak. Dia tidak ingin mendengar tentang Ayu, tidak di sini, tidak sekarang. "Glen, jangan—"

"Dia tidak menginginkanku seperti kau menginginkunku," potongnya, suaranya semakin dalam, dipenuhi anggur dan dendam. "Dia tidak pernah merintih untukku. Tidak pernah memohon." Dia berdiri, menariknya berdiri. "Dia tidak pernah melihatku seperti kau melihatku sekarang."

Dia menatapnya, dan Anastasia bisa melihat kebingungan, kemarahan, dan nafsu membara di matanya. Ini bukan tentang cinta. Ini tentang pembuktian diri.

Dia menariknya ke pagar dek, tubuhnya menempel padanya dari belakang, tangannya meraih ke depan dan membuka kancing gaun malam tipis yang dikenakan Anastasia. Udara malam yang hangat menyentuh kulitnya, membuatnya merinding.

"Glen, di sini? Orang bisa melihat," protes Anastasia dengan lemah, jantungnya berdebar kencang ketakutan dan gairah.

"Biarkan mereka melihat," desisnya di telinganya, napasnya panas dan berbau anggur. Tangannya meremas payudaranya, membuatnya melengkung ke belakang. "Biarkan seluruh dunia tahu bahwa kau milikku. Bahwa aku memilikimu."

Rasa takut dipergoki bercampur dengan gelombang gairah yang membara. Di sinilah, di bawah langit terbuka, dengan laut sebagai satu-satunya saksi, terasa seperti puncak dari semua fantasi terlarang mereka. Ini adalah pemberontakan terakhir Glen terhadap dunianya yang terkekang.

Dia memutarnya untuk menghadapnya, menciumnya dengan kasar, penuh klaim. Gaun itu terjatuh ke dek yang hangat. Glen mengangkatnya, mendudukkannya di pagar dek yang kokoh, dengan laut gelap dan dalam di bawahnya. Anastasia menjerit kecil, meraih bahunya yang kuat.

"Pegang erat-erat," komandonya, suaranya serak.

Dan di sana, di bawah kanopi bintang-bintang, dengan angin laut menerpa kulit mereka yang berkeringat, mereka bercinta. Itu liar, primitif, dan penuh dengan amarah yang tertahan. Setiap gerakan Glen adalah sebuah tantangan, sebuah deklarasi. Setiap erangan Anastasia adalah sebuah penyerahan, sebuah penerimaan atas takdir mereka yang beracun. Dia memandang matanya, yang memantulkan cahaya bintang dan api yang membakar di dalamnya, dan untuk sesaat, dia merasa seperti dewi, dikejar, diinginkan, dikuasai sepenuhnya.

Teriakan orgasme mereka hilir ditelan oleh gemuruh ombak dan kelaparan laut yang tak kenal ampun. Glen menatapnya, nafasnya tersengal-sengal, keringat membasahi pelipisnya.

"Katakan kau milikku," desisnya, tangannya masih mencengkeram erat pinggulnya.

"Aku milikmu," jawab Anastasia, lemas dan seluruhnya terpikat.

"Selamanya."

"Selamanya."

Dia mengatakannya, dan untuk saat itu, dia percaya. Lautan luas, bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, pria yang menggila di hadapannya—semuanya terasa seperti bukti bahwa ini adalah takdir mereka, betapapun kacau dan salahnya.

Mereka menghabiskan sisa malam itu berpelukan di kursi santai dek, berselimutkan selimut wol tebal, menatap bintang-bintang. Glen berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana suatu hari nanti, ketika anak-anaknya sudah besar, mereka bisa bersama secara terbuka. Anastasia mendengarkan, menelan setiap kata seperti orang yang kehausan, memilih untuk mempercayai khayalan karena kenyataan terlalu menyakitkan.

Tapi ketika fajar menyingsing, membawa warna jingga dan merah muda di cakrawala, bayangan mulai merayap kembali. Glen memeriksa ponselnya untuk pertama kalinya—sebuah gerakan refleks. Layarnya penuh dengan pemberitahuan yang hilang. Beberapa panggilan tak terjawab dari rumah. Sebuah pesan dari Ayu, dingin dan singkat: Bima demam tinggi. Pulang.

Wajah Glen berubah. Kegilaan dan euforia di matanya memudar, digantikan oleh kerutan kekhawataran seorang ayah. Dia menghela napas, mengusap wajahnya.

"Aku harus pulang," katanya, suaranya sudah berbeda. Lebih datar. Lebih... nyata.

Euforia Anastasia pecah seperti gelembung sabun. Dunia yang sempurna mereka selama dua hari itu hanyalah gelembung—indah, rapuh, dan pada akhirnya, fana. Kenyataan, dalam bentuk seorang anak yang sakit dan seorang istri yang marah, telah menerobos masuk.

Perjalanan pulang ke darat diliputi kesunyian. Glen sudah ada di tempat lain, pikirannya sudah pada Bima, pada Ayu, pada konsekuensi dari ketidakhadirannya. Dia masih memegang tangan Anastasia, tapi rasanya berbeda. Seperti sebuah rutinitas.

Saat dia mengantarnya ke apartemen, ciuman selamat tinggalnya terburu-buru, hampir absen. "Aku akan meneleponmu nanti," janjinya, tapi kata-kata itu terasa hampa.

Anastasia memasuki apartemennya yang sunyi. Kemewahan kapal pesiar, panasnya nafsu di bawah bintang-bintang, semuanya terasa seperti mimpi yang sudah jauh. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan bayangan cinta yang, sekali lagi, harus bersembunyi.

Dia berjalan ke balkon, memandang kota di bawah. Di suatu tempat di luar sana, Glen sedang kembali ke kehidupan nyatanya. Ke istri dan anaknya. Dan dia? Dia kembali menjadi rahasia. Kekasih yang tersembunyi. Istri kedua yang hanya mendapat sisa-sisa waktu dan perhatian.

Air mata tidak lagi datang. Yang ada hanyalah sebuah rasa hampa yang dalam. Dia telah memiliki segalanya—lautan, bintang-bintang, dan seluruh pria itu, bahkan untuk sesaat. Tapi seperti matahari yang tenggelam di laut, kepemilikan itu hanya sementara, dan kegelapan yang mengikutinya terasa lebih pekat dari sebelumnya. Dia menyadari dengan getir bahwa semakin tinggi Glen membawanya terbang dalam nafsu dan khayalan, semakin sakit rasanya ketika dia jatuh kembali ke bumi.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel