Pustaka
Bahasa Indonesia

Bayangan Di Balik Cinta

22.0K · Tamat
Jackie Boyz
19
Bab
321
View
9.0
Rating

Ringkasan

21++Dalam bayang-bayang pernikahan yang tampak sempurna, tersembunyi sebuah cinta terlarang yang membara. Glen, seorang suami dan ayah yang terhormat, terjebak di antara dua wanita yang mengklaim hatinya. Ayu, istri pertamanya, adalah lambang kesetiaan dan ibu dari anak-anaknya, fondasi dari kehidupan yang ia bangun selama lima tahun. Anastasia, istri kedua yang ia nikahi diam-diam, adalah jelmaan nafsu dan pelarian—sebuah cinta yang ia yakini sebagai jiwa yang hilang, namun harus tetap menjadi rahasia yang terpendam. Dengan gairah yang menggebu, Glen berusaha memenuhi hasrat kedua belah pihak, percaya bahwa ia bisa bersikap adil. Namun, di dunia yang penuh dengan dusta, tidak ada ruang untuk kesempurnaan. Anastasia, yang begitu mendambakan pengakuan, perlahan tersiksa oleh statusnya yang tersembunyi. Sementara Ayu, yang merasakan pengkhianatan, mulai merancang balas dendam halus yang akan mengoyak segalanya. Ketika rahasia mulai terbongkar, tiga hati terjebak dalam pusaran cinta, nafsu, dan dendam. Sampai di manakah Glen akan mempertahankan kebohongannya? Akankah Anastasia bertahan untuk cinta yang hanya hidup dalam kegelapan? Dan sejauh apa Ayu akan melangkah untuk mempertahankan keluarganya? Bayangan di Balik Cinta adalah kisah tragis tentang cinta yang terbagi, gairah yang memabukkan, dan harga yang harus dibayar untuk sebuah rahasia. Sebuah novel yang menggugah tentang betapa rapuhnya garis antara cinta dan obsesi, serta kehancuran yang mengintai di balik janji manis.

RomansaMetropolitanBillionaireDewasaPengkhianatanTsundereDrama

Bab 1 Bayangan di balik tirai

Aroma kopi hitam dan vanilla bean menyebar di udara apartemen yang sepi, berebut dengan wangi bunga peony dalam vas di meja sudut ruang keluarga. Anastasia mengaduk cangkirnya, matanya menatap keluar jendela dimana lampu-lampu kota Jakarta mulai menyala satu per satu, membentuk lukisan abstrak dari kehidupan yang tak pernah benar-benar padam. Dia menunggu. Menunggu adalah seni yang telah ia kuasai dengan pahit dalam lima tahun terakhir.

Kunci pintu berputar pelan, suara yang begitu familiar yang langsung membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Sebuah kelegaan yang hangat menyelimutinya, mengusir sepi yang mulai merayap.

“Ana?” Suara Glen, berat namun lembut, memecah kesunyian.

“Di sini,” jawabnya, tidak beranjak dari tempatnya di sofa. Dia mendengar langkahnya mendekat, mantap, melelahkan.

Glen muncul dari balik sekat, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang sedikit kusut, dasinya sudah dilonggarkan. Wajahnya yang tampan dengan garis rahang yang tegas terlihat letih, tetapi matanya, mata cokelatnya yang dalam, menyala ketika memandangnya. Itu adalah pandangan yang selalu membuat Anastasia merasa seperti satu-satunya wanita di dunia, meski hanya untuk sesaat.

Dia tidak langsung menyapanya. Glen hanya berdiri di sana, sejenak, memandanginya seperti seorang pecinta seni memandangi mahakarya yang baru saja ia selamatkan dari kehancuran. Lalu, dengan perlahan, dia meletakkan tas kerjanya di lantai dan mendekat. Tangannya yang besar dan hangat membelai rambutnya, jari-jarinya menyelip di balik lehernya, menariknya perlahan.

Dia menunduk, dan bibirnya menemukan milik Anastasia.

Ini bukan ciuman salam. Ini adalah ciuman kelaparan. Sebuah isyarat kepemilikan. Seperti seorang pria yang baru saja menyelesaikan perjalanan panjang di padang pasir dan akhirnya menemukan oasis. Anastasia membalasnya, tangannya meraih kemeja Glen, merasakan kain halus dan kehangatan tubuh di baliknya. Dia bisa merasakan semua beban di pundaknya, semua ketegangan yang dibawanya dari dunia luar.

“Aku merindukanmu,” gumam Glen saat mereka akhirnya melepaskan lumatannya untuk bernapas, dahinya menempel pada dahinya. Nafasnya masih berat.

“Aku juga,” bisik Anastasia, menelan setengah kebohongan. Bagaimana bisa merindukan seseorang yang selalu ada dalam genggaman jarak, tapi tak pernah benar-benar utuh?

Tapi Glen tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dia menariknya berdiri dan mendekapnya erat, wajahnya terkubur dan tenggelam di leher Anastasia, menghirup dalam-dalam aromanya. “Kau selalu begitu harum. Seperti surga,” desahnya.

Anastasia tertawa kecil, lemah. “Aku baru saja pulang dari kantor, Glen.”

“Aku tidak peduli. Kau selalu harum.” Dia menariknya lagi, tangannya meraba punggungnya, lalu turun ke pinggulnya, menariknya lebih dekat sampai tidak ada celah di antara mereka. Anastasia bisa merasakan detak jantung Glen yang keras dan cepat, berdegup kencang bersamanya. Dia juga bisa merasakan hasratnya yang mulai membara, menekan perutnya. Sebuah sensasi yang membuat lututnya lemah dan api kecil berkobar di perutnya.

Glen memang selalu seperti ini di awal. Seperti api yang membara. Selalu haus, selalu lapar. Selalu membuatnya merasa didamba, diinginkan, dicintai.

Dengan gerakan tiba-tiba, Glen mengangkatnya—dengan mudah—dan mendekapnya dalam pelukannya. Anastasia menjerit kecil, tertawa terengah-engah, tangannya melingkari leher Glen. “Glen! Aku bukan boneka!”

“Tapi kau ringan seperti boneka,” katanya, berjalan membawanya menyusuri koridor menuju kamar tidur, ruang suci mereka. “Dan kau milikku.”

Kata-kata itu, ‘kau milikku’, seharusnya terasa manis. Tapi selalu ada sisa pahit di baliknya. Miliknya di sini, di balik pintu yang terkunci. Bukan miliknya di luar sana.

Tapi semua pikiran itu menguap ketika Glen meletakkannya di atas sprei sutra yang dingin. Dia menatapnya, matanya gelap oleh nafsu dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang hampir seperti keputusasaan. Dia melepas kemejanya dengan gerakan cepat, melemparkannya ke lantai. Otot-otot di dada dan lengannya tegang, bukti dari jam-jam yang dihabiskan di gym untuk melupakan stres atau mungkin untuknya.

“Aku ingin melihat tubuh telanjangmu,” katanya, suaranya serak. “Lepaskan bajumu.”

Anastasia, yang tersipu dan terbakar oleh tatapannya, dengan patuh mengangkat tubuhnya sedikit sehingga Glen bisa menarik gaun santainya yang sederhana. Dia melakukannya dengan lambat, seolah-olah membuka bungkus hadiah yang paling berharga. Begitu kain itu terlepas, dia menghela nafas. Pandangannya menyapu seluruh tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat kulit Anastasia merinding.

“Sempurna,” gumannya, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri. “Kau selalu begitu sempurna.”

Dia membaringkan tubuhnya di sampingnya, menyangga kepalanya dengan satu tangan sementara tangan yang lain menjelajah. Jari-jarinya yang kasar namun lembut menelusuri garis rahangnya, turun ke leher, menyentuh lembut lekuk tulang selangkanya. Setiap sentuhan seperti percikan api, meninggalkan jejak api di mana pun dia menyentuh.

“Glen…” bisingnya, tapi dia membungkamnya dengan ciuman lagi. Ciuman yang dalam, menuntut, dan menguasai.

Dia menghabiskan waktu yang terasa seperti keabadian hanya untuk menyentuh dan menciumnya. Bibirnya menyusuri bahunya, menggigit lembut. Lidahnya melingkari puting susunya, membuat Anastasia melengkung dan merintih. Tangannya meraba perutnya yang rata, lalu lebih rendah, membuatnya gemetar.

Bagi dunia, Glen mungkin adalah pengusaha yang dingin dan terkendali. Bagi anak-anaknya, dia adalah ayah yang penyayang dan lembut. Bagi istrinya, Ayu… Anastasia memaksa pikirannya berhenti. Dia tidak ingin memikirkannya sekarang. Tidak sekarang. Karena di sini, di kamar ini, Glen adalah miliknya. Dia liar, tak terkendali, dan penuh gairah. Dia adalah pria yang hanya dia yang tahu.

“Aku tidak tahan,” desis Glen, nafasnya sudah tak teratur. “Setiap jam jauh darimu terasa seperti penyiksaan.”

Anastasia tahu itu dibesar-besarkan. Itu adalah kata-kata yang diucapkan dalam panasnya nafsu. Tapi dia ingin mempercayainya. Dia perlu mempercayainya. Jadi dia menariknya lebih dekat, membiarkan tangannya merobek apa pun yang tersisa di antara mereka.

“Jangan menunggu,” dia membisikkan di telinganya, menggigit lembut cuping telinganya, sesuatu yang dia tahu bisa membuat Glen gila. “Aku juga merindukanmu.”

Itu adalah izin yang dia tunggu-tunggu. Dengan erangan rendah, Glen menyatukan mereka. Dunia menyempit menjadi ranjang ini, menjadi desahan mereka, menjadi sentuhan kulit yang berkeringat. Anastasia memeluknya erat, kukunya menancap di punggungnya, menahan setiap dorongan, setiap gerakan yang terasa seperti klaim dan pengabdian. Dia adalah pelabuhannya, dan dia adalah kapal yang akhirnya pulang setelah badai. Di sini, dalam pelukannya, Glen bukanlah suami atau ayah dari orang lain. Dia hanya Glen, pria yang mencintainya dengan intensitas yang nyaris menakutkan.

Glen berbicara dalam erangan dan bisikan patah-patah. Pujian tentang tubuhnya, tentang rasanya, tentang bagaimana dia adalah satu-satunya yang membuatnya merasa masih hidup, masih menjadi pria. Kata-kata itu adalah musik bagi telinga Anastasia, racun yang dengan senang hati dia telan.

Mereka mencapai puncak bersama-sama, sebuah ledakan hening yang mengguncang seluruh keberadaan mereka. Glen menjatuhkan seluruh berat badannya padanya, nafasnya berat di lehernya. Anastasia memeluknya, tangannya membelai rambutnya yang basah oleh keringat, merasakan detak jantungnya yang perlahan-lahan kembali normal.

Mereka berbaring seperti itu untuk waktu yang lama, terjerat, tidak terpisahkan.

“Aku tidak pernah ingin pergi,” gumam Glen akhirnya, suaranya berat dengan kepuasan dan kelelahan.

Anastasia hanya mendekapnya lebih erat. Dia tahu itu tidak benar. Dia akan pergi. Seperti biasa.

Setelah beberapa saat, Glen berguling, menariknya sehingga kepalanya berada di dadanya. Dia mencium ubun-ubun kepalanya. “Aku lapar. Apa kau sudah makan?”

“Aku menunggumu.”

“Aku akan memesan makanan Jepang favoritmu,” katanya, meraih ponselnya dari meja samping tempat tidur. Tapi sebelum dia melakukannya, jarinya membuka aplikasi pesan-antar. Dia memesan dengan cepat, lalu—dengan gerakan otomatis yang membuat hati Anastasia sakit—dia mematikan ponselnya. Klik. Suara kecil itu adalah suara sangkar yang dikunci.

“Sekarang,” katanya, melemparkan ponselnya kembali ke meja dan menariknya kembali ke pelukannya. “Tidak ada yang akan mengganggu kita malam ini.”

Anastasia menempel pada dadanya, mendengarkan detak jantungnya yang mantap. Dia ingin mempercayainya. Dia benar-benar ingin.

Mereka menghabiskan sisa malam dengan berpesta sushi dan sashimi di atas tempat tidur, menonton film komedi lama, dan tertawa. Glen adalah pria yang berbeda di sini. Lebih muda, lebih bebas. Dia bercerita tentang proyek barunya, tentang hal-hal konyol yang terjadi di kantor, dan Anastasia mendengarkan, tersipu malu, terpesona. Dia mengolesi wasabi ke sashimi-nya dan memaksanya memakannya, membuatnya terbatuk-batak dan mereka tertawa terbahak-bahak seperti anak kecil.

Ini adalah bulan madu mereka. Setiap pertemuan terasa seperti bulan madu yang diperpanjang, dipotong-potong oleh ketidakhadiran.

Saat film berakhir, mata Glen sudah sayup. Dia memeluknya erat dari belakang, wajahnya terkubur di rambutnya.

“Aku mencintaimu, Ana,” bisiknya, suaranya hampir tertidur. “Kau tahu itu, kan?”

Anastasia membeku. Itu adalah pengakuan yang jarang diucapkan. ‘Aku merindukanmu’, ‘Aku menginginkanmu’, itu biasa. Tapi ‘Aku mencintaimu’… itu langka. Itu berharga.

Dia berbalik untuk menghadapinya. Matanya tertutup, wajahnya santai dan damai dalam pelukan tidur. Dia menatapnya untuk waktu yang lama, mencatat setiap garis, setiap bulu mata yang jatuh di pipinya.

“Aku juga mencintaimu, Glen,” bisiknya, sangat pelan, seolah-olah kata-kata itu terlalu sakral untuk diucapkan dengan keras.

Tapi dia tidak mendengarnya. Dia sudah tertidur.

Anastasia berbaring terjaga lama setelah itu, mendengarkan napasnya yang teratur. Dia menelusuri garis bibirnya dengan ujung jarinya, merasakan kehangatan kulitnya. Dalam tidurnya, dia menariknya lebih dekat, erat, seolah-olah bahkan dalam alam bawah sadarnya, dia takut kehilangannya.

Inilah yang membuatnya tetap bertahan. Momen-momen seperti ini, kehangatannya, hasratnya, kata-kata kasihannya yang langka. Dia adalah seorang pecandu yang memilih untuk mengabaikan konsekuensinya untuk mendapatkan fix-nya.

Tapi kemudian, tepat sebelum fajar, alarm di jam tangan Glen bergetar pelan. Dia bergerak, menguap, dan dengan mata setengah tertutup, mematikan alarm. Dia menatap Anastasia yang pura-pura tidur, mencium keningnya dengan lembut.

“Aku harus pergi, sayang,” bisiknya, suaranya serak karena tidur. “Meeting pagi.”

Dia meluncur dari tempat tidur. Anastasia mendengarkan suara air mandi, suara sikat gigi, suara kemeja yang dikancingkan. Dia tetap memejamkan mata, mensimulasikan tidur. Dia tidak tahan untuk melihatnya pergi. Tidak lagi.

Dia mendengar dia mendekat lagi. Dia mencium pipinya. “Aku akan meneleponmu nanti,” bisiknya. Lalu, langkah kaki menjauh, pintu kamar tidur tertutup, dan tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka dan tertutup dengan lembut.

Klik.

Dia pergi.

Keheningan tiba-tiba terasa sangat keras, sangat berat. Tempat tidur yang sebelumnya begitu hangat sekarang terasa sangat besar dan dingin. Anastasia membuka matanya, menatap langit-langit. Dia menarik bantal Glen dan menghirup dalam-dalam aroma parfumnya yang tersisa, dicampur dengan aroma mereka berdua.

Pertunjukannya sudah selesai. Bulan madu mini itu telah usai. Dia kembali menjadi rahasia. Kekasih yang tersembunyi. Istri kedua yang tidak diakui.

Dia memejamkan mata, mencoba menahan kehangatan kenangannya, tetapi yang bisa dirasakannya hanyalah dinginnya sepinya yang tak terelakkan. Glen telah pergi, membawa serta semua panas dan kehidupannya, meninggalkannya sendirian sekali lagi, dengan hanya bayangan cinta mereka yang tersisa di antara seprai yang sudah dingin.