Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Getaran yang meruntuhkan

Dengan senyum tipis, Ayu menyilangkan lengannya. "Oh, begitu? Meeting penting jam enam pagi yang harus disiapkan dari rumah jam empat? Meeting dengan siapa, Glen? Sang 'proyek vital'?" Ucapannya penuh dengan sindiran yang menusuk.

Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi partikel debu yang menari-nari di ruang keluarga apartemen Anastasia. Tapi bagi Anastasia, cahaya itu terasa menusuk, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Glen. Dia masih terbaring di sofa, memeluk bantal yang masih menyisakan aroma parfumnya, mencoba mempertahankan ilusi kehangatan yang sudah sirna. Ponselnya berbunyi—sebuah pesan.

‘Meeting pagi ini batal. Aku bisa balik. Masih di apartemen?’

Dada Anastasia berdebar. Dia melihat sekeliling ruangan yang masih berantakan dari malam sebelumnya—piring sushi, gelas wine, pakaian yang berserakan. Tapi yang lebih penting, dia melihat jam. Sudah hampir pukul sembilan. Jika dia berkata tidak, Glen akan pulang ke rumahnya, ke Ayu. Kehidupan nyatanya.

Dengan jari yang gemetar, dia membalas, ‘Aku masih di sini. Tunggu aku.’

Dia melompat dari sofa, seperti badai yang membersihkan sisa-sisa malam. Piring-piring ditumpuk di wastafel, pakaian dilempar ke keranjang cucian, sprei diganti dengan yang baru dan wangi. Dalam dua puluh menit, apartemen itu kembali tampak sempurna, tapi udara masih terasa berat dengan kenangan nafsu mereka. Dan sekarang, akan diisi lagi.

Ketika kunci berputar di pintu, jantungnya hampir melompat keluar. Glen masuk, wajahnya lebih rileks dari tadi pagi, senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia sudah mengganti kemejanya.

“Aku tidak sanggup menjalani hari tanpamu hari ini,” katanya, merangkulnya dan menciumnya dalam-dalam tanpa basa-basi. Nafsu yang baru padam semalam seperti tersulut kembali dalam sekejap. Anastasia membiarkan dirinya tenggelam, menangguhkan semua keraguan dan pertanyaan. Dia adalah perenang yang memilih untuk tidak melawan arus yang akan menenggelamkannya.

Mereka tidak sampai ke kamar tidur. Glen mendorongnya dengan lembut ke dinding dekat pintu, tangannya menjelajah dengan rasa urgensi yang baru. Ciumannya lebih liar, lebih putus asa dari semalam, seolah-olah dia sedang berusaha menghapus sesuatu dari pikirannya.

“Glen, apa—?” Anastasia mencoba bertanya di sela-sela ciumannya.

“Diam,” desisnya, mulutnya beralih ke lehernya, menggigit lembut. “Jangan bicara. Aku hanya ingin merasakan kamu. Hanya kamu.”

Ini berbeda. Biasanya, setelah pertemuan pagi yang singkat, Glen akan terburu-buru. Tapi hari ini, dia seperti seorang yang kehausan, dan Anastasia adalah satu-satunya sumber air. Dia menyerah pada permintaannya, membiarkan api itu membakar mereka berdua sekali lagi, di tengah ruang keluarga, diterangi oleh sinar matahari pagi yang tak memaafkan. Setiap sentuhan, setiap desahan, terasa lebih intens, lebih dalam, seolah-olah Glen sedang berusaha membuktikan sesuatu—pada dirinya sendiri, atau padanya.

***

Sementara itu, di rumah megah di kawasan Pondok Indah, Ayu menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Alika dan Bima sudah berseragam, cerewet menceritakan rencana mereka di sekolah hari itu. Tapi pikiran Ayu melayang.

Glen pulang tadi pagi dengan wajah yang aneh. Dia terkesan tergesa-gesa, hampir merasa bersalah. Dia bahkan hampir tidak menciumnya, sesuatu yang sangat tidak biasa. Dan aromanya… ada aroma parfum yang samar, bukan wangi parfumnya, dan bukan wangi hotel atau meeting room. Itu adalah aroma vanilla bean dan sesuatu yang floral… seperti peony.

“Ibu, aku boleh minum jus lagi?” tanya Bima, menyadarkannya.

“Hmm? Oh, tidak sayang, nanti perutmu sakit,” jawab Ayu, absen.

Setelah supir mengantar anak-anak ke sekolah, keheningan rumah itu menjadi sangat terasa. Ayu berjalan ke kamar tidur mereka, tempat Glen sedang berganti pakaian. Dia mengambil kemeja yang dia kenakan tadi pagi—kemeja yang sama yang dia lihat Glen kenakan ketika berangkat ‘meeting’ jam empat pagi. Itu kusut, tapi bukan kusut karena bekerja di belakang meja. Itu kusut seperti… diremas-remas.

Dia membawanya ke hidungnya dan menghirup dalam-dalam.

Di sana. Jelas sekali sekarang. Aroma parfum Glen yang biasa tertutup oleh aroma yang lain: vanilla bean, peony, dan… wanita. Sebuah aroma yang mahal dan menggoda. Bukan aroma parfum yang disemburkan sembarangan. Ini aroma yang melekat.

Jantung Ayu berdetak kencang. Pikiran-pikiran buruk yang selama ini berhasil dia tepikan mulai membanjiri benaknya. Telepon yang sering mati, perjalanan dinas yang mendadak, kehangatannya yang kadang terasa dipaksakan.

Dia mengambil ponselnya. Dia ingin menelepon Glen, bertanya di mana dia, mendengar suaranya. Tapi sesuatu menghentikannya. Sebaliknya, tanpa benar-benar memikirkan konsekuensinya, dia mengambil kunci mobil dan berjalan keluar rumah.

***

Di apartemen Anastasia, dunia telah menyempit lagi menjadi ranjang mereka. Kali ini, perlahan, penuh dengan keintiman yang membuat Anastasia hampir menangis. Glen memandangnya, menyentuh wajahnya seperti sesuatu yang sangat rapuh.

“Kau begitu cantik,” bisiknya, suaranya serak. “Terkadang aku takut ini semua mimpi.”

“Ini nyata, Glen,” jawab Anastasia, menatap matanya yang dalam, berharap bisa melihat jiwa di baliknya.

“Aku tahu.” Dia menunduk, menciumnya dengan lembut. “Dan itu yang membuatku takut.”

Mereka berbaring terjerat lama setelahnya, tidak berbicara. Keheningan itu nyaman, tapi bagi Anastasia, diwarnai oleh pertanyaan yang tidak berani dia utarakan. Mengapa kau takut? Apa yang kau sembunyikan?

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.

Mereka berdua membeku.

Siapa itu? Anastasia tidak mengharapkan siapa pun. Petugas kebersihan datang sore hari. Dia tidak berteman dekat dengan tetangga.

Glen duduk tegak, wajahnya tiba-tiba pucat, semua rasa santainya menghilang. “Jangan jawab,” bisiknya, nadanya panik.

Bel berbunyi lagi, lebih panjang, lebih sering.

“Mungkin hanya kurir,” kata Anastasia, mencoba meyakinkan diri sendiri dan Glen. Tapi hatinya berdebar kencang. Sebuah firasat buruk menjalar di tulangnya.

“Tinggal diam. Mereka akan pergi,” kata Glen, tangannya mengepal.

Lalu, yang terdengar bukanlah bel lagi, melainkan suara ketukan. Ketukan yang mantap, berwibawa, dan tidak mau menerima penolakan. Tok. Tok. Tok.

Glen mengutuk di bawah nafas. Dia melompat dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaiannya dengan gerakan cepat dan panik. “Aku harus bersembunyi. Di mana? Kamar mandi? Balkon?”

Melihat pria yang biasanya begitu percaya diri dan terkendali kini menjadi seperti tikus yang terkepung, hati Anastasia hancur. Inilah kenyataan hubungan mereka. Bukan bulan madu, tapi persembunyian dan kepanikan.

“Glen, tenang,” katanya, meski suaranya sendiri gemetar. Dia meraih bathrobe-nya dan mengikatnya. “Aku akan lihat siapa itu. Jika itu memang… orang yang tidak kita inginkan, aku akan bilang aku sedang sakit atau sesuatu.”

Dia berjalan keluar kamar, menyusuri koridor pendek menuju pintu depan. Ketukan itu belum berhenti. Tok. Tok. Tok.

Dengan tangan yang gemetar, Anastasia membuka pintu itu, hanya sedikit, cukup untuk melihat siapa yang ada di luar.

Dan dunia pun berhenti.

Berdiri di sana, dengan postur tegap dan mata yang menyala dengan emosi yang tertahan, adalah seorang wanita. Wanita itu cantik, dengan kecantikan klasik dan elegan yang hanya datang dengan usia dan kepercayaan diri. Dia mengenakan celana linen dan blus sederhana, tapi aura yang dipancarkannya membuat Anastasia merasa sangat kecil dalam bathrobe-nya yang sederhana.

Anastasia tidak perlu diperkenalkan. Dia tahu persis siapa wanita ini. Dia telah melihat fotonya berkali-kali, tersembunyi di ponsel Glen.

Ayu.

Mata Ayu menyapu Anastasia dari ujung kepala hingga ujung kaki, menangkap rambutnya yang acak-acakan, kulitnya yang masih memerah, dan bathrobe-nya yang diikat dengan tergesa-gesa. Lalu, pandangannya menembus celah pintu, menyusuri koridor, seolah-olah berusaha mencari bukti lain yang dia tahu pasti ada di sana.

“Ya?” suara Anastasia terdengar seperti bisikan serak, hampir tidak dikenali.

“Saya mencari suami saya,” kata Ayu, suaranya datar, dingin, dan sangat terkendali. Tidak ada teriakan, tidak ada tuduhan. Hanya pernyataan itu saja, yang dampaknya lebih menghancurkan daripada teriakan apa pun.

Anastasia membeku, otaknya kosong. Dia tidak bisa berbohong. Dia tidak bisa menyangkal. Kebenaran tergambar jelas di wajahnya, di penampilannya, di udara yang dia hirup.

Sebelum Anastasia bisa menemukan kata-kata—kata-kata apa pun—Ayu sudah mendorong pintu itu terbuka. Bukan dorongan yang kasar, tapi dorongan yang penuh keyakinan, seolah-olah dia memiliki setiap hak untuk memasuki ruang ini.

“Tidak! Tunggu!” Anastasia mencoba menghalang, tapi sudah terlambat.

Ayu melangkah masuk ke apartemen. Matanya menyapu ruang keluarga yang rapi tapi masih terasa… hidup. Dua gelas wine di meja kopi. Vas bunga peony. Dan kemudian, tatapannya tertuju pada sepasang sepatu pria yang familiar yang tersembunyi sebagian di balik rak sepatu. Sepatu yang sama yang dia lihat Glen kenakan pagi ini.

Dia berjalan mendekati koridor, menuju sumber energi negatif yang dia rasakan.

“Ayu, hentikan!” Suara Glen.

Dia muncul dari kamar tidur, kemejanya belum terkancing dengan benar, rambutnya berantakan, wajahnya campuran dari rasa bersalah, panik, dan kemarahan.

Pertemuan mata mereka. Suami dan istri. Di tempat persembunyian rahasia suami.

Suasana menjadi tegang, hampir bisa dipotong dengan pisau. Anastasia merasa seperti penyusup di drama sendiri, tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas, menyaksikan kehidupan nyata Glen—kehidupan yang selalu dia singkirkan—meledak dan menghancurkan dunianya yang kecil ini.

Ayu hanya berdiri di sana, memandang Glen. Tidak ada air mata. Hanya kekecewaan yang sangat dalam dan rasa sakit yang membeku di matanya.

“Meeting pagi yang penting, ya, Glen?” katanya, suaranya bergetar halus namun terkendali dengan sempurna. “Meeting ‘proyek vital’?”

Glen tidak bisa menatap matanya. “Ayu… ini bukan… aku bisa jelaskan…”

“Jelaskan apa?” potong Ayu, suaranya sekarang meninggi sedikit, namun masih sangat dingin. “Jelaskan bahwa kemejamu kusut karena meeting? Jelaskan bahwa aroma parfum wanita lain di bajumu adalah halusinasi? Jelaskan bahwa wanita ini—” dia menunjuk ke arah Anastasia tanpa benar-benar melihatnya, “—adalah ‘rekan kerjamu’?”

Dia mengambil langkah mendekati Glen. “Lima tahun, Glen. Lima tahun kita menikah. Dua anak. Apakah semua itu tidak cukup? Apakah aku tidak cukup?”

Untuk pertama kalinya, suaranya retak, mengungkapkan penderitaan yang tersembunyi di balik topeng ketenangannya.

Glen terdiam, mulutnya terbuka tapi tidak mengeluarkan suara. Dia terjebak, terpojok, dan semua kedoknya telah tersingkap.

Anastasia menyaksikan adegan ini, perutnya mual. Dia melihat wanita itu—istri yang sah—menghadapi suaminya, dan dia melihat pria yang dia cintai berubah menjadi anak kecil yang ketakutan. Dia tidak merasa menang. Dia tidak merasa dibela. Dia hanya merasa… hancur. Dan bersalah.

Dia adalah penyebab semua ini.

“Aku… aku akan tinggalkan kalian berdua,” gumam Anastasia, berbalik untuk kembali ke kamar, ingin menghilang.

“Tidak!” Glen berseru, tapi itu tidak ditujukan padanya.

“Tetaplah di sini,” kata Ayu, kali ini menatap langsung ke Anastasia untuk pertama kalinya. Tatapannya menusuk, penuh dengan rasa sakit dan kemarahan yang tak terucapkan. “Kau adalah bagian dari cerita ini. Kau pantas mendengar akhirnya.”

Dia kembali menatap Glen, matanya menyipit. “Jadi, ini pilihannya, Glen? Apartemen rahasia? Istri kedua? Apa lagi? Anak? Apakah dia sudah memberimu anak yang tidak kumiliki?”

Glen menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. “Tidak, Ayu… tidak seperti itu… Aku…”

“Apa?!” teriak Ayu akhirnya, suaranya memecahkan ketegangan yang ada, penuh dengan kepedihan yang tertahan terlalu lama. “Katakan padaku! Apa yang dia berikan padamu yang tidak bisa kuberikan?!”

Dia tidak menunggu jawaban. Air mata akhirnya mengalir deras di pipinya, tapi dia dengan cepat menyekanya, menolak untuk menunjukkan kelemahan lebih dari ini. Dengan senyum getir yang menyakitkan untuk dilihat, dia menggelengkan kepala.

“Tidak usah. Aku tidak perlu tahu.” Dia memandang Glen untuk terakhir kalinya, tatapan yang penuh dengan rasa kecewa yang tak terhingga. “Aku pulang. Kau tahu di mana menemukanku. Tapi kali ini, Glen, kau yang harus menjelaskan semuanya. Kepada anak-anakmu.”

Dengan itu, Ayu berbalik. Dia tidak lagi terburu-buru. Dia berjalan dengan anggun, kepalanya tegak, meninggalkan apartemen itu, meninggalkan suaminya, dan meninggalkan Anastasia yang terdiam, bersama dengan pria yang mereka cintai dan reruntuhan dari dua kehidupan yang dia hancurkan dalam satu pagi.

Pintu tertutup dengan lembut. Suara yang jauh lebih menyeramkan daripada jika dia membantingnya.

Glen terpaku di tempatnya, lalu perlahan-lahan meluncur ke lantai, menyandarkan kepalanya di dinding, tangannya menutupi wajahnya. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, mungkin kutukan, mungkin doa.

Anastasia tetap berdiri di tengah ruangan, merasa dirinya adalah hantu. Kehangatan dari tubuh Glen, nafsu yang membara, semua janji manis—semuanya menguap, digantikan oleh dinginnya kenyataan yang kejam dan menghancurkan.

Dia bukan lagi istri rahasia. Dia sekarang adalah orang ketiga yang terbongkar. Dan konsekuensinya baru saja mulai berjatuhan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel