Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 3

Aku memarkirkan mobilku di garasi samping rumah. Sekilas melirik jam ditangan kiri. Sudah nunjuk di angka 10. Tentu belum terlalu malam untuk pulang. Tapi tetap aja bakalan kena omel mama.

Ah, itu udah biasa, setiap pulang malam pasti di omelin terus.

Aku keluar dari mobil dan langsung masuk kedalam rumah. Dan benar saja, mama sudah duduk di ruang tamu.

"Masa' iya rapat osis nya nyampai jam sepuluh, Lin?"

Aku diam, karna pasti itu kata-kata masih berlanjut. Dirumah, semua memanggilku Linxi. Ran itu panggilan khusus dari mbak Citra.

"Jangan bohong sama Mama ya. Kamu dari mana?"

"Habis rapat pulang ke homestay, ketiduran disana."

"Homestay?" Mama keliatan berfikir. "Rumah kamu yang di daerah B itu?"

Aku ngangguk. "Linxi capek. Mau istirahat dulu." Aku masuk kekamar.

"Dorr!"

Baru aja buka pintu, Lira udah ngagetin di balik pintu.

"Ngapain dikamar gue?"

Dia nyengir kuda. "Nggak papa, kangen aja pengen tidur dikamar elo." Dianya jalan dan langsung rebahin tubuhnya di ranjang.

"Gue lagi pengen sendiri. Balik kamar lo aja sono."

"Nggak mau. Gue mau tidur disini."

"Jangan ngaco deh, Lir."

Aku tarik tangannya agar dia bangun dan keluar dari kamarku. Aku dorong tubuhnya untuk keluar dari kamarku.

"Gue akan bilang sama mama kalo tadi elo nggak rapat osis. Tapi elo stay di caffe." ancamnya.

Aku berhenti dorong dia. Dan dia masuk kamar lagi. Menutup pintu, kembali berbaring di atas kasur.

Aku duduk di tepi ranjang. Sibuk dengan pemikiranku. Karna pasti Lira akan ngintrogasi aku.

"Lo jujur sama gue. Tadi elo ngapain disana?" Dia ikutan duduk bersila menghadapku. Dan menatapku dengan serius.

Aku menghembuskan nafas kasarku berkali-kali. Nggak tau kenapa, rasanya pengen teriak-teriak. Pengen nangis, tapi itu terlalu cengeng untuk kulakukan.

"Gue nungguin mbak Citra."

Jawabanku membuat matanya melotot kaget. Sampai dia tutup mulutnya dengan kelima jari.

"Lin, elo masih berhubungan sama mbak Citra?" tanyanya dengan tak percaya.

Aku menunduk dan mengangguk. Ada rasa yang begitu gemuruh dalam dadaku. Lira memelukku, terisak dibahuku. Di rumah ini, dia yang paling tau perasaanku.

"Lin, gue emang belum pernah pacaran, gue belum tau seperti apa rasanya mencintai, dicintai. Tapi gue tau ini sakit. Gue bisa rasain itu." ucapnya disela isakan.

Tanpa aku sadar, ada bulir yang menetes di ujung mata. Betapa perasaan ini membuatku menjadi lelaki cengeng. Tapi sungguh, rasanya begitu sakit. Aku pun mengeratkan pelukan Lira. Aku menyembunyikan tangisku di cekuk lehernya.

Aku akui saat ini. Aku cengeng, aku tak sekuat karang dilautan. Perasaanku sudah terlalu dalam. Dan cinta ini membuatku sangit. Sangat sakit.

Setelah aku merasa lebih tenang, aku melepaskan pelukan Lira. Aku mengusap mataku yang basah.

"Gue nggak tau Lin harus ngomong gimana, tapi gue selalu berdiri disamping elo. Gue emang nggak bisa bantuin apa-apa. Tapi gue punya bahu buat elo ngadu."

Aku hanya tersenyum dan berlalu ke kamar mandi. Cuci muka sebentar dan keluar.

"Elo tidur dibawah ya." perintah Lira saat aku baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kenapa nggak tidur kamar elo sendiri?"

"Gue lagi kangen sama elo. Pengen bobok di sini." Dia tarik selimut sampai ke lehernya.

"Dasar kutu!"

Aku pun rebahin tubuhku di kasur bawah. Masih melek, mata nerawang natap lampu yang belum aku matikan.

"Lin, jadi alasan elo teriak-teriak tiap malam karna ini ya?"

"Iya."

"Gara-gara teriakan elo tuh, gue harus nikah sama Remon yang kaya' setan itu! Sebel gue!"

"Kenapa gue yang salah?"

"Ya karna elo bikin ulah tiap malam, gue jafi nggak bisa bobok."

"Kalau nggak bisa bobok, kenapa solusinya nikah sama Remon?"

"Gue ke GEP tidur di kamarnya Remon."

Aku bangun dan menatapnya. "Ke GEP?!" tanyaku tak percaya. "Kenapa elo bisa tidur di kamar nya Remon?"

"Ya karna suara berisik elo, gue nggak bisa tidur, nggak bisa belajar. Jadi gue pindah ke rumah sebelah. Gue lakuin itu selama elo teriak-teriak dan gebukin tutup panci itu!!" Lira mulai ngomel-ngomel sampai mulutnya mengerucut.

Jadi ke galauanku sudah membuat saudaraku dalam masalah. Huufftt memang ini semua salahku.

Aku tertunduk lesu. Merasa bersalah pastinya.

"Maafin gue ya." Ucapku lirih penuh penyesalan.

Bhhukk!

Sebuah bantal melayang dikepalaku. "Nggak usah nangis lo! Gue yang mau nikah aja nggak nangis!"

"Elo bersedia nikah sama Remon?"

"Kalau pun gue nggak bersedia, gue tetep akan dinikahin sama dia. Solusinya cuma cerita sama papa."

"Besok kan papa pulang."

"Beneran besok?"

"Iya."

"Waah nggak sabar pengen cepet ketemu papa. Udah kangen banget."

"Mulai manjanya. Besok kalau lo dah nikah, nggak mungkin lo bisa manja-manjaan sama Papa."

"Ya nggak papa kan. Papa itu ter baiikk. Gue kangen balapan sama papa."

"Haihh, mulai kan."

"Eh iya, makasih ya tadi di kantin udah belain." Dia nyengir.

"Mulai sekarang elo harus hati-hati. Fans nya Remon banyak, kalau sampai mereka tau hubungan elo sama Remon, gue yakin elo bakalan jena teror tiap hari."

"Gue sih santuy, kan ada elo." Dia nyengir lagi.

"Gue bisa apa? Lo pikir gue bodyguard apa?"

"Setidaknya elo kan bisa jagain gue."

"Jagain yang gimana?"

"Ya misal kaya' dikanti tadi."

"Elo kan jago gelud, gue aja malah belom pernah gelud."

"Eh emang gue se brandal itu ya??"

"emang iya kan. masa' belum nyadar sih??"

"Au ah. Gue mau bobok. Besok ada janji sama Duta."

"Duta?"

"hmm"

"Kenapa masih mau nge date sama Duta? kan udah punya calon suami."

"kalau pertanyaan itu lo tanyain sama mbak Citra, kira-kira dia jawabnya gimana??"

"Ya beda lah."

"Sama aja brow!! Mbak Citra itu udah punya suami, tapi masih aja jalan sama elo. Nah, kalo gue? Gue belom nikah!!"

Bhuuk!

Aku lempar bantal ke mukanya.

Bhuuk!

Dia balik lempar bantal itu ke aku.

Akhirnya aku naik ke ranjang dan menggelitik perutnya.

Kita gelud diatas ranjang sampai lelah. Dan aku balik tidur di kasur bawah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel