BAB 4
"Aku suamimu!" ujar Marco kepada Elena. Ini sudah hari ketiga setelah Elena sadar dari koma. Kondisi Elena sudah cukup stabil tidak seperti sebelumnya, jadi dia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Elena.
Anggap saja dia percaya jika Elena mengalami amnesia dan tidak mengingatnya, maka dari itu dia akan bicara untuk menyakinkan Elena jika dia adalah suami dari wanita ini.
Elena mendengus mendengar ucapan Marco."Kau lagi" kesalnya menatap Marco tidak percaya.
"Kau mau apalagi? Yang aku ingat, aku belum menikah. Aku tidak mengenalmu! Kenapa kau keras kepala sekali? Apa kau harus kupukul dulu agar kau mengerti? Jangan paksa aku untuk melakukan kekerasan! Meskipun aku seorang wanita dan masih sakit, bukan berarti aku tidak bisa memberimu pelajaran jika kau terus membuatku kesal dengan terus membual!" geram Elena.
"Aku mengatakan kebenaran. Aku bahkan mempunyai bukti! Mau kau terima atau tidak terima, aku adalah suamimu! Aku suamimu! Kita sudah menikah!" tegas Marco mengabaikan wajah kesal Elena yang membuatnya sedikit tidak nyaman.
Selama ini Elena selalu menatapnya dengan mata berbinar. Sebelumnya, dia tidak pernah mau repot meluangkan waktu untuk melihat atau menemani istrinya. Dia tidak peduli kepada Elena dan tidak pernah menganggap Elena sebagai istrinya.
Dia selalu menjadi pihak yang dikejar dan dicintai istrinya setengah mati. Elena selalu melakukan apa yang dianminta atau tidak dimintanya hanya untuk menyenangkan hatinya.
Namun, sekarang semuanya terasa berbalik. Dia tidak senang ketika merasa diabaikan oleh istrinya semenjak bangun dari koma. Dia tidak suka melihat wajah acuh dan wajah kesal Elena seakan dia tidak diinginkan lagi oleh istrinya, membuat dia seperti merasakan sesuatu yang hilang.
Elena menatap datar Marco."Mana buktinya?" tanyanya dengan acuh, masih menatap waspada Marco.
Marco menggeram kesal melihat Elena benar-benar tidak tertarik kepadanya. Elena bahkan melihatnya seperti dia seorang penjahat yang patut diwaspadai.
Marco menghirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memberikan amplop coklat berisi dokumen dan foto pernikahan mereka kepada Elena sebagai bukti yang menunjukkan jika mereka adalah pasangan yang terikat.
Elena mengambil apa yang diberikan oleh Marco dengan ekspresi malas. Dia menatap Marco penuh peringatan."Meskipun bukti ini menyatakan kau suamiku, tapi aku tidak akan sepenuhnya percaya kepadamu sebelum benar-benar memverifikasinya!
Sekarang penipuan semakin canggih dan apapun bisa dipalsukan! Jadi selama aku belum yakin kau suamiku, jangan pernah memanggil aku istrimu! Aku tidak mau kesempatan untuk mencari suami tampan dan baik hati untuk masa depanku di rusak olehmu! Ingat itu baik-baik!" ujarnya sambil membuka amplop coklat ditangannya.
Marco menggertakkan gigi menatap Elena marah."Elena, aku tidak berbohong! Jika kau masih tidak percaya, kau bisa bertanya kepada keluargamu! Kau memang istriku dan kita sudah menikah! Jadi singkirkan pikiran tidak tahu malu yang ada di otakmu untuk mencari pria lain untuk kau jadikan suami di saat aku masih menjadi suamimu!
Oh, Elena istriku, apa ini sebenarnya tabiat aslimu? Kau selama ini terlihat begitu mencintaiku tapi di belakangku kau bermain dengan pria lain. Kau hebat sekali! Tipuanmu sangat hebat!" sinisnya.
Elena menatap Marco tidak percaya."Apa otakmu rusak?"
Marco:"...."
"Kau yang kehilangan ingatanmu akibat otakmu rusak terbentur aspal dengan keras! Beraninya kau menyalahkan orang lain atas kesalahanmu!" kesal Marco tidak terima.
Elena menganggukkan kepala."Otakmu benar-benar rusak. Harusnya aku tidak bertanya" ujarnya acuh.
Marco menggertakan gigi, lalu menghela nafas kasar. Lebih baik dia lebih memilih diam tidak membalas ucapan Elena kembali, atau dia akan semakin naik darah.
Dia tidak yakin Elena sudah berubah atau pura-pura berubah untuk menghindari curiga. Dia harus memperhatikan Elena mulai dari sekarang agar istrinya tidak berulah yang semakin merepotkannya di masa depan.
Marco menatap Elena dengan lekat untuk memperhatikan ekspresi istrinya setelah melihat bukti yang dia berikan.
Satu
Dua
Tiga
Marco mengangkat sebelah alisnya, menatap Elena heran karena melihat reaksi istrinya tidak seperti yang diperkirakan olehnya."Kau tidak terkejut?" tanyanya ketika bibirnya sudah gatal ingin berbicara kepada Elena. Dia ingin mengetahui apa yang dipikirkan oleh istrinya.
"Oh, apa sebenarnya kau tidak kehilangan ingatan sampai kau tidak terkejut, karena kau sudah tau kalau kita ini suami istri?" ujar Marco menatap tajam Elena dengan mata menyipit curiga.
Elena menatap Marco datar. Dia melengos kembali menatap bukti-bukti yang ada di tangannya."Aku terkejut" jawabnya acuh tak acuh."Soal tuduhanmu kepadaku, bukankah rumah sakit ini mempunyai poli kejiwaan? Aku benar-benar merekomendasikan dirimu untuk memeriksakan kesehatan mentalmu kesana" ujarnya.
Marco menatap Elena tajam."Terkejut, heh? Apanya yang terkejut? Kau bahkan diam saja sedari tadi! Dan aku tidak gila!" geramnya.
"Lalu kau mau aku bagaimana? Sedari tadi aku terus salah di matamu. Bukan! Sedari awal kita bertemu, kau terus menyalahkan aku!" ujar Elena menatap dingin Marco, lalu kembali menatap lembaran foto di tangannya. Dia membolak-balik foto pernikahannya dan tidak ingin lagi repot menatap pria yang mengaku menjadi suaminya.
Marco mengepalkan tangan."Sekarang kau percaya aku ini suamimu?" tanyanya dengan kemarahan tertahan.
"Tidak" jawab Elena singkat dan padat.
Marco:"..."
Wajah Marco berkedut."Yang kau pegang itu foto pernikahan kita! Apa kau tidak lihat di foto itu kau yang paling tersenyum lebar!"
Elena menatap Marco dingin."Ini pasti ada kesalahan" ujarnya sambil menunjukan foto pernikahannya.
Marco menggeram."Kesalahan apa? Foto itu memang diambil saat resepsi pernikahan kita. Kau yang mengatur segalanya, mulai dari tema pesta, dekorasi, gaun, hingga memilih pengisi acara dan tempat bulan madu kita!"
"Aku terdengar seperti seorang agensi wedding organizer dibandingkan seorang pengantin" komentar Elena ketika mendengar ucapan Marco.
Marco kehilangan kata-kata ketika mendengar ucapan Elena. Memang benar saat itu Elena bertingkah lebih heboh dari pihak wedding organizer yang ditunjuk untuk mengurus pesta pernikahan mereka.
Marco menghela nafas kasar."Itu karena kau yang paling antusias dengan pernikahan kita sampai kau ingin semuanya sempurna sehingga kau lebih memilih turun tangan sendiri untuk mengurus pernikahan kita meski ada pihak wedding organizer yang ditunjuk untuk mengurus segalanya" ujarnya memberitahu kenyataan kepada Elena.
"Benarkah? Terdengar seperti bukan aku. Aku bukan orang yang suka melakukan hal sia-sia seperti itu untuk orang yang tidak aku cintai. Katakan padaku, apa yang kau lakukan sebelumnya sampai aku mau menikah denganmu? Pria gila sepertimu, bukan tipeku!
Oh, apa kau melakukan sebuah pemaksaan kepadaku hingga aku hamil dan terpaksa meminta pertanggung jawabanmu untuk menikahiku?" tanya Elena menatap curiga Marco. Bahkan rasa jijik kembali terlintas di matanya.
Marco yang mendengar tuduhan dan ekspresi jijik di mata istrinya meskipun hanya sepersekian detik membuat kepalanya seperti ingin meledak.
Marco bangkit dari duduknya dengan kasar hingga kursi yang didudukinya terjungkal ke belakang hingga menimbulkan suara kursi yang jatuh dengan keras.
Tanpa berkata-kata, Marco lebih memilih meninggalkan Elena daripada dia kehilangan kendali saat menghadapi istrinya yang sangat menyebalkan.
Elena menatap punggung Marco yang menghilang dari balik pintu dengan acuh tak acuh.
"Ada apa dengannya? Aku belum selesai bicara, tapi dia sudah pergi dan marah begitu saja" gumam Elena, lalu menggedikan bahu tidak peduli.
Dia menatap foto pernikahan ditangannya."Bukankah foto ini begitu aneh? Harusnya di foto ini aku yang cemberut bukan si gila itu! Dia sepertinya sudah salah memilih orang orang untuk membuat foto editan ini. Sayang sekali, padahal foto ini benar-benar terlihat sangat asli. Aku hampir saja tertipu!"
