BAB 3
"Marrie, omong kosong apa yang sedang coba kau katakan kepadaku?" tanya Marco menatap tajam Marrie yang kini sedang berkeringat dingin.
Marrie mengutuk Elena di dalam hati karena menempatkannya di situasi seperti ini. Dia tidak tau jika Elena tidak terpancing dengan kata-katanya seperti biasa dimana wanita itu selalu bersumbu pendek disulut dengan sedikit percikan api akan langsung bereaksi meledak-ledak.
Namun, sekarang jangankan melihat reaksi Elena yang meledak-ledak, wanita itu malah tertidur. Benar-benar tertidur pulas seakan kata-katanya yang sebelumnya diucapkan untuk menyakiti hati Elena tidak ada pengaruh sama sekali kepada wanita itu.
"Tu-tuan itu, nyonya ternyata tertidur setelah mengatakan banyak hal kepada saya. Mungkin nyonya masih kesal melihat saya jadi nyonya tidak ingin melihat wajah saya dan memilih menutup mata. Maafkan saya tuan. Saya seharusnya tidak datang untuk menjenguk nyonya secepat ini. Saya hanya ingin meminta maaf, tapi tidak tau ternyata nyonya masih terlalu marah" jawab Marrie terdengar menyesal. Dia menampakkan ekspresi tidak berdaya dan ketulusan.
Marco menatap lekat."Marrie apa kau terbiasa berbohong kepadaku?" tanyanya.
Tubuh Marrie menegang kaku sejenak ketika mendengar ucapan Marco sebelum menormalkan ekspresinya kembali. Dia menatap Marco tidak percaya."Apa maksud, tuan? Tuan tidak percaya pada saya?" tanyanya kembali dengan mata berkaca-kaca. Dia mengedipkan matanya hingga setetes air mata lolos membasahi pipinya.
Marco menatap lurus Marrie sebelum akhirnya membuang muka."Lupakan saja! Sebaiknya kau pergi. Kondisi Elena belum sehat dan dia masih membutuhkan banyak istirahat juga tidak boleh stress. Tidak perlu berbicara atau membicarakan apapun dengan Elena. Selain mengurus pekerjaanku, hal lainnya kau tidak perlu ikut campur!" ujarnya dengan tegas, lalu meninggalkan Marrie sendiri yang berdiri kaku seperti tiang kayu di luar ruangan Elena.
Marrie menoleh menatap pintu ruangan Elena yang baru saja ditutup oleh Marco dari dalam dengan pandangan tidak percaya."A-ada apa ini? A-apa tadi itu sikap tuan Marco kepadaku? Tuan Marco tidak pernah seperti ini. Apa aku salah bicara?" gumamnya sambil mengigit jari menatap gelisah pintu ruangan Elena berada.
Marrie menghentakkan kakinya di lantai dengan keras, sebelum berbalik pergi. Sepertinya Marco dalam suasana hati yang tidak baik hingga tidak ingin melihatnya bersedih dan ditindas oleh Elena hingga tuannya itu mengatakan hal seperti tadi.
Marrie berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika ucapan Marco sebelumnya merupakan bentuk perhatian pria itu kepadanya.
Marco tidak pernah bersikap ketus kepadanya jika bukan karena suasana hati yang buruk. Jadi dia tidak akan mengambil hati ucapan Marco meski sempat membuatnya terkejut.
"Elena, lihat saja! Aku tidak akan selesai sampai di sini sampai kau benar-benar berpisah dengan tuan Marco!" kesal Marrie, lalu memasuki lift.
Sedangkan di kamar perawatan Elena.
Marco berdiri diam di tepi ranjang Elena yang sedang tertidur. Awalnya, dia mencoba membangunkan Elena mengira istrinya berpura-pura tidur karena tidak ingin disalahkan akibat sudah membuat Marrie menangis. Namun, dia tidak menyangka jika Elena tidak berpura-pura, melainkan benar-benar tertidur.
Marco menghela nafas kasar, lalu melangkah ke arah sofa untuk merebahkan dirinya di sana.
Dia masih terkejut dan tidak mempercayai apa yang di dengarnya tentang kondisi Elena. Amnesia selektif? Istrinya bukan hanya tidak mengingatnya, namun ingatan istrinya berhenti di saat umur Elena 20 tahun.
Pernikahannya dan Elena terjadi ketika Elena berumur ke 22 tahun. Jika ingatan Elena terhenti di usia 20 tahun, tidak heran jika Elena tidak mengingatnya.
Elena dan dia bertemu di saat istrinya berulang tahun yang ke 21 tahun. Entah bagaimana awalnya, setelah pertemuan pertama itu, Elena sering mengunjunginya. Dia mengenal Elena karena Elena adalah salah satu anak dari kolega bisnisnya yang dikenalkan oleh temannya sendiri.
Mereka menikah selama tiga tahun. Dari pertemuan pertamanya dengan Elena, sampai terjadi pernikahan, semuanya terasa sangat singkat. Elena mengejarnya seperti wanita gila selama satu tahun penuh dengan melakukan hal-hal gila. Pernikahannya dengan Elena terjadi karena tekanan keluarga.
Elena terlalu terobsesi kepadanya hingga mengancam keluarganya menggunakan kekuasaan keluarga wanita itu untuk menekannya agar mau menikahinya.
Perusahaan keluarganya dibuat goyah. Dia tidak punya cara lain untuk mempertahankan perusahaan milik keluarganya selain menyetujui permintaan Elena. Sebenarnya selain dia yang menolak Elena, keluarga besarnya tidak bisa menolak keinginan Elena dan tidak terlalu banyak mempermasalahkan wanita itu untuk menyandang status nyonya Sebastian mengingat Elena adalah putri salah satu konglomerat di ibu kota.
Meskipun begitu, kadang sikap ketidaksukaan keluarganya kepada Elena tetap ada. Mereka masih kesal saat mengingat Elena menjadi menantu perempuan Sebastian dengan cara hampir menghancurkan seluruh keluarga dengan menggoyahkan perusahaan.
Mengenai ucapan Marrie sebelumnya mengenai Elena, dia tidak bisa mengatakan percaya atau tidak percaya.
Ucapan Marrie bisa benar dan bisa salah. Ketika mendengar penjelasan dokter, dia yakin Elena tidak sedang berpura-pura dan apa yang dikatakan Marrie bisa saja kebohongan.
Namun, ketika mengingat tabiat Elena yang selalu menipunya dengan berbagai cara, membuat dia tidak sepenuhnya bisa mempercayai apa yang terjadi kepada istrinya.
Marco mendengus sinis menatap punggung Elena dengan tajam."Kita lihat saja nanti. Apa kau sedang bersandiwara atau tidak. Jika kau mempermainkan aku lagi, tidak akan ada ampun bagimu, Elena!" batinnya.
Elena yang sedang tertidur seketika merasakan hawa dingin pada tubuhnya. Dia kembali menarik selimut yang sempat turun sebatas dada akibat dirinya yang bergerak, kini menarik selimut sampai menutupi lehernya.
