Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#5. KOPI JAHE

Dari samping rumah Andrio terdengar kerekan timba di sumur bu Jadi ditingkat celoteh beberapa perempuan tengah mencuci pakaian.

Ada empat keluarga yang mampang mengambil air di sumur bu Hadi. Dulu keluarga Andrio juga numpang ambil untuk kebutuhan sehari hari sebelum pasang PDAM.

Bu Hadi sendiri membuka usaha laundry dibantu dua orang keponakannya. Mungkin berkahnya orang banyak sumur bu Hadi tidak pernah kering meski pun kemarau panjang, sementara sumur lain mengering.

Andrio menggeliat dan bangun merasa angin masuk lewat jendela mengusap betisnya. Andrio berpikir pasti Dimas yang membuka jendela.

Semilir angin pagi membawa aroma segar bunga melati yang ditanam ibu di dampingi depan rumah. Entah sudah berapa tahun tanaman bunga tersebut tumbuh di situ sementara tanaman bunga lain seperti anyelir dan lainnya sudah mati.

Dulu ayah protes, tanam bunga melati kok di depan rumah. Bunga melati kan identik dengan hal hal yang berbau mistik bahkan ada yang menghubungkannya dengan kematian.

Andrio duduk di kursi menyeruput kopi yang ditaruh Dimas di meja. Begitu menyeruput kopi Andrio terperanjat karena cita rasa kopi

yang diseduh Dimas sama seperti cita rasa kopi di rumah Ines setiap kali ia kesana.

"Dimas....! "seru Andrio.

Dimas tergopoh gopoh masuk kamar kakaknya, ia sudah mengenakan seragam sekolah. Ini hari pertama ia masuk sekolah sejak ibunya meninggal.

" Apa mas? "

"Kamu dapat dari mana kopi ini? " tanya Andrio.

Dimas terperangah melihat kopi di meja kakaknya.

"Bukan saya yang membuat, kopi mas Andrio saya taruh di meja makan. "

Mereka berdua saling pandang.

"Aneh, cita rasa kopi ini sama seperti kopi dirumah Ines. Coba kamu cicipi. "

Dimas mencicipi kopi dimeja Andrio.

"ibu tidak pernah beli kopi seperti ini. Kalau beli kopi paling satu dua dan santet untuk tamu atau lek Min. "

Mereka kembali saling pandang berjalan dengan pikiran masing masing.

"Jangan jangan arwah ibu yang membuatkan kopi, katanya orang yang baru meninggal arwahnya masih ada di sekitar rumah selama empat puluh hari, " kata Domas.

"Kalau memang arwah ibu yang membuatkan, kenapa kopi jahe seperti yang ada di rumah Ines bukan teh tubruk seperti biasa ibu buat untuk kita? " tanya Andrio.

Mereka sama sama bingung. Tiba tiba dari luar terdengar suara Gatel memanggil, Dimas pamitan berangkat ke sekolah. Sebetulnya ia masih ingin membahas soal kopi tersebut tapi tidak ada waktu lagi.

Beberapa saat setelah Dimas berangkat, mbok Mangun datang. Menyapu teras bekas makanan ringan Andrio dan Dimas malam tadi, kemudian membuka korden.

Saat mbok Mangun hendak ke dapur, Andrio menahannya diambang pintu kamar.

"Sebentar mbok saya mau tanya sesuatu, " kata Andrio.

Mbok Mangun duduk berseberangan dengan Andrio di meja makan.

"Kalau mau bikin teh, bikin aja dulu, kita ngobrol sambil minum, * ujar Andrio.

Mbok Mangun bangkit, ke dapur menyeduh teh.

" Kamu sudah buat kopi? " tanya mbok Mangun dari dapur.

"Sudah mbok, Dimas tadi yang membuatkan sebelum saya bangun! " seru Andrio.

"Anak itu memang rajin, tau kerjaan, " gumam mbok Mangun.

"Apa mbok!? " seru Andrio mendengar gumaman mbok Mangun.

"Nggak apa apa. Tangan mbok kesiram air panas, eh... air panas. "

mbok Mangun mulai latahnya.

"Liat mbok, melepuh nggak? " tanya Andrio setelah mbok Mangun kembali duduk.

"Nggak..... becanda An, " kata mbok Mangun sambil cengengesan.

Setelah menyeruput teh tubruk nya beberapa kali, mbok Mangun mendesak Andrio apa yang mau dibicarakan.

Andrio cerita kejadian aneh pagi tadi tentang kopi jahe tersebut, kemudian ia bangkit masuk kamar mengambil kopi jahe yang dimaksud.

Mbok Mangun mencicipi kopi itu dengan senduk teh. Dahinya mengkerut, cita rasa kopi jahe tersebut aneh. Mnok Mangun sependapat dengan Dimas bahwa arwah orang yang baru meninggal masih berada di dalam rumah.

"Sebaiknya kamu bikin sesajen untuk arwah ibumu seperti ibumu dulu bikin sesajen saat nenek dan kakek serta ayahmu meninggal," usul Mbok Mangun.

"Sesajennya apa saja mbok? "

"Beli.aja di pasar, bilang bunga untuk sajen."

"Nanti habis mandi saya beli. "

"Kalau sesajen untuk arwah ibumu nggak usah pake rokok, " lanjut mbok Mangun.

Andrio baru ingat, dulu saat ibunya buat sesajen untuk kakek dan ayahnya, selalu saja ditaruh beberapa batang rokpk diatas daun sirih. Kalau sesaji ayah dulu rokoknya gudang garam, rokok yang biasa diisap setiap hari. kakek, rokoknya jarum 76.

"Satu lagi mbok, kenapa mendiang ibu memajang lagi foto Ines, padahal sebelum ke Jakarta sudah saya lepas dan ditaruh diatas almari,? " tanya Andrio sebelum mandi.

Mbok Mangun tidak langsung. menjawab, matanya berkedip kedip seakan akan tengah mempertimbangkan sesuatu.

"Dua hari setelah kamu. berangkat ke Jakarta, Ines datang menemui ibumu. Sembari nangis sesenggukan di pangkuan ibumu ia mengaku bersalah telah membuat keputusan itu. Menurut pengakuan Ines, ia membuat keputusan itu karena didesak orang tuanya. Ines menyesal, ia mau menyusulmu ke Jakarta tapi dicegah ibumu karena ibumu sendiri belum tau dimana kamu tinggal. Ponsel kamu juga tidak bisa dihubungi. Ines berjanji akan datang lagi bila ibumu sudah dapat kabar dari kamu, tapi sampai sekarang ia tidak pernah muncul lagi. "

Andrio terpukul. Ia menyesal dengan gegabah pergi ke Jakarta dan mematikan ponselnya. Andai saja ia bersabar sebentar saja tanya tidak akan begini jadinya. Andrio juga menyesal tidak segera pulang saat dikabari Dimas kalau ibu sakit, andai ia pulang dan sempat bertemu ibunya lain lagi ceritanya. Andrio yakin ibunya pasti menyimpan sesuatu karena kedekatannya dengan Ines. Sekarang semua sudah terjadi.

"Sudahlah An, nggak usah mikirin Ines lagi. Mungkin dia sudah punya pacar lagi seperti harapan orang tuanya. Sekarang kan ada Sarah, jadi tidak perlu lagi memikirkan Ines. Mbok yakin Sarah suka sama kamu."

"Tapi kami belum ada komitmen apa apa mbok. "

"Nggak perlu komitmen komitmen segala kalau akhirnya ingkar seperti Ines."

Andrio menyeringai, ia paham mbok Mangun sengaja mengalihkan pembicaraan tentang Ines.

"Sudah mandi sana terus ke pasar," kata mbok Mangun dengan nada memerintah.

Andrio berlalu ke kamar mandi, mbok Mangun melanjutkan pekerjaannya.

*****

Sebenarnya Andrio sudah mulai melupakan Ines, setelah mbok Mangun cerita tentang pertemuan Ines dan ibunya, pikiran Andrio kembali terusik. Andrio tidak berpikir soal Ines yang mencabut keputusannya kemudian hendak menyusulnya ke Jakarta, Andrio berpikir apa yang Ines bicarakan dengan ibu sehingga ibu memajang kembali foto itu.

"Beli apa mas kok malah melamun? " tanya mbah Joyo, pedagang bunga.

"E.... anu mbah. Mau beli bunga untuk sesajen, " jawab Andrio terbatas bata.

Mbah Joyo menjumput bunga mawar, melati dan kantil, selanjutnya sirih, gambir dan kapur dibungkus lain.

"Berapa mbah? " tanya Andrio.

"Sepuluh ribu. "

Andrio membayar dengan uang dua puluhan dan tidak minta kembali mungkin ia melihat mbah Joyo sudah renta masih bersemangat jualan.

"Terimakasih mas, mudahan berkah."

"Amin.... "

Di depan pasar Andrio bertemu om Darmaji, adik angkat ayahnya.

"Beli apa An? "

Andrio menunjukkan bunga untuk sesajen arwah ibunya malam nanti.

"Kamu tau agama nggak, tanya Gus Nan sana apa hukumnya buat sesajen, "kata om Darmaji dengan nada menghakimi.

Andrio hanya mengangguk kemudian berlalu. Dalam hati ia menggerutu melihat sikap omnya yang arogan.

*****

Lewat tengah hari, beberapa saat setelah makan siang, Andrio rebahan di sofa ruang tegah. Saat itu mbok Mangun sudah pulang.

Tiba tiba dari luar terdengar seseorang memanggil namanya.

Melihat siapa yang datang, Andrio gembira. Mereka berjabat tangan erat.

"Dari mana tau saya pulang? " tanya Andrio.

"Dari Gendis, " jawab Iqbal.

Gendis adalah adik Iqbal. Kebetulan ia satu kelas dengan Domas. Mungkin Dimas yang cerita pada Gendis kalau kakaknya pulang.

"Maaf, aku tidak bisa datang saat ibu meninggal. Saat itu aku mendaki gunung Rinjani. Gendis yang chat aku kalau ibu meninggal, " ujar Iqbal dengan nada sedih penuh penyesalan.

"Aku paham. Kamu masih aktif di TMS 7? "

"Masih."

TMS 7 atau top mountain 7 adalah mapala di kampus Iqbal dan Ines.

Pada pendakian pertama ke gunung Lawu, Andrio mendampingi Ines.

"Pagi tadi aku mengalami kejadian aneh," kata Andrio sengaja mengalihkan perhatian agar tidak membicarakan Ines.

"Kejadian apa?"

Andrio cerita tantang kopi jahe yang tersedia di meja kamarnya. Entah siapa yang membuatnya, yang pasti cita rasa kopi itu sama seperti yang Ines suguhkan dirumahnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel