Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tiga

Tiga

“Kamu nggak mau ikut aku ke indekos?” tanya Faira saat mereka berpisah di depan gerbang kampus setelah seharian menjalani dua mata kuliah.

Rima mengedikkan bahunya cuek.

“Kamu, kan, masih nanti sore masuk kerja. Main-main bentar, yuk.” Faira teguh dengan keinginannya.

“Nggak ah, besok-besok aja. Lagi pula kamu pasti didatangi si om.”

“Sekarang masih siang, dia masih kerja kali.” Faira bersungut sebal.

“Kalau tau kamu sudah di indekos, pasti sebentar lagi dia meluncur, atau sopirnya bakal datang jemput kamu,” jawab Rima sok tahu. Tapi, dia memang sudah hafal kebiasaan Rangga, kekasih Faira. Pria itu menurut Rima terlalu posesif. Yah, mau bagaimana lagi? Punya kekasih secantik dan sebaik Faira memang harus siaga kapan saja. Banyak pria yang tertarik kepadanya.

“Kamu kebanyakan berkhayal.”

“Beneran, deh, sebentar lagi dia pasti hubungi kamu. Dia, kan, sudah hafal jadwal kamu.”

Perkataan Rima terbukti. Baru ia saja menutup mulut, suara panggilan masuk terdengar dari ponsel Faira. Gadis cantik itu segera merogoh tas slempangnya. Setelah menemukan benda yang dicarinya, Faira menerima panggilan itu.

Rima mengamati Faira. Raut bahagia jelas tercetak di wajah gadis itu. Wajahnya semakin bersinar kala gadis itu mengulas senyum bahagia mendengarkan suara pria di seberang sana.

Rima tak ingat, kapan terakhir kali ia berekspresi sebahagia itu?

Atau, memang tak pernah?

Rima menarik napas berat. Cukup, ia tak boleh membandingkan kehidupan Faira dengan dirinya terus menerus.

“Gimana? Benar, kan, aku bilang. Pasti si om telpon. Bilang apa dia?” Rima yakin tebakannya benar begitu Faira menutup panggilan ponselnya.

“Sebentar lagi sopir jemput aku ke hotel. Dia mungkin akan lembur sampai malam makanya aku yang disuruh ke sana.” Faira menjelaskan. Bukan hendak bersenang-senang, Rangga menyuruh Faira ke hotel karena memang itulah pekerjaannya. Duda itu adalah seorang pemilik jaringan hotel di Malang dan Batu. Kebetulan ia berkantor di salah satu hotelnya di Malang.

“Huh, check in, nih. Awas ada biji kecambahnya di sini, ya,” sambut Rima sambil menyentuh perut datar Faira.

“Lambe-mu, Rim, minta disleding dari lantai lima Gedung F, ya?” Faira mendengkus sebal.

“Yah, gimana lagi? Jangan salahin aku kalau punya pikiran jelek. Secara, si om tuh pria dewasa, duda pula. Masa kalau kalian lagi ngedate cuma pegang-pegangan tangan aja? Pasti nggak akan cukup. Impossible banget, deh. Pasti, tuh, bibir si om udah piknik ke mana-mana. Apalagi kalian nge-date-nya di hotel. Duh, lama-lama si biji kecambah bakalan segede kecebong. Akhirnya dia punya tangan dan kaki, deh. Habis itu—AW!” Sebuah cubitan yang cukup pedih Rima rasakan di pahanya. Gadis itu menjerit seketika.

“Kamu kotor banget isi otaknya. Yuk, ke minimarket depan,” Faira menunjuk sebuah minimarket dua puluh empat jam di depan mereka, “kita cari cairan disinfektan biar otak dan mulut kamu bersih seketika.”

Rima hanya mengerucutkan mulutnya.“Ya udah sana, kamu balik dulu. Titip salam, ya, buat si om.”

“Aku tungguin kamu sampai dapat angkutan. Kamu naik angkot, kan?”

“Iya. Kalau naik ojek, males banget. Panas kayak gini.”

Tak lama kemudian sebuah angkutan umum lewat di depan mereka. Rima segera menghentikan kendaraan itu dan berpamitan pada Faira. Siang ini ia akan pulang ke rumah terlebih dahulu. Setelah mandi dan berganti seragam kerjanya, barulah ia berangkat bekerja.

Rima bekerja di sebuah pusat perbelanjaan sebagai salah satu SPG. Sebelumnya ia juga pernah bekerja sebagai guide di salah satu bioskop di sana. Namun, jam kerjanya yang panjang membuatnya tak bisa beradaptasi dengan jadwal kuliahnya.Untungnya saat ini Rima sudah hampir menyelesaikan semester tujuhnya. Semester depan ia hanya perlu menyelesaikan skripsinya sehingga tak terlalu memusingkan jadwal kuliah lagi.

***

Hampir pukul sepuluh malam, Rima keluar dari pintu khusus karyawan di lantai dasar yang terhubung dengan area parkir. Hal yang sangat jarang dia lakukan. Begitu jam buka mal berakhir, Rima biasanya segera menuju ke ruang ganti karyawan. Setelah meletakkan ibu jarinya di mesin absensi, ia langsung pulang ke rumah. Namun, kali ini berbeda. Ia masih harus menyelesaikan beberapa hal di ruangan atasannya, termasuk membahas masalah jadwal kerjanya. Rima bersyukur ia masih mendapatkan kesempatan bekerja sambil kuliah. Atasannya memberikan jadwal yang fleksibel sehingga ia bisa kuliah dengan tenang.

Saat tiba di lantai dasar, suasana sepi. Tadi yang tersisa hanya dia dan atasannya yang sedang mengatur jadwal. Sekarang pasti wanita itu sudah pulang. Inilah akibat jika Rima mampir dulu ke toilet setelah berbincang lama dengan atasannya.

Beberapa lampu di hadapan Rima masih menyala meskipun mobil di area parkir lantai dasar itu tinggal beberapa. Suasana yang sepi saat Rima mengamati sekeliling, mau tak mau membuatnya bergidik ngeri. Ia teringat dengan cerita teman-temannya tentang hantu pengganggu karyawan yang pulang sif malam.

Rima segera mempercepat langkahnya. Udara malam semakin membuatnya menggigil. Ditambah lagi, sialnya tadi siang ia lupa membawa jaket yang biasanya selalu dibawa.

Jaket mempunyai fungsi ganda bagi Rima. Saat naik angkutan umum atau juga ojek online, ia bisa menggunakan benda itu untuk menutupi paha dan betisnya.

Ya, seragam kerja Rima adalah rok pendek di atas lutut. Saat ia duduk, sudah pasti rok akan tertarik ke atas sehingga paha mulusnya akan terlihat. Kan tak nyaman jika hal itu terlihat oleh orang lain terutama lawan jenis.

Saat langkah kaki Rima berbelok ke pojok area parkir yang temaram, sebuah suara mengagetkannya. Refleks, Rima mundur perlahan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling area parkir, berusaha mencari-cari sumber suara. Siapa tahu ada petugas keamanan yang sedang berkeliling?

“Eh, si anak pelacur malam-malam masih keluyuran.” Seorang pria berperawakan tinggi keluar dari sebuah mobil yang terparkir.

Rima menarik napas berat. Seharian ini dia sudah cukup lelah. Haruskah ia meladeni pria di hadapannya ini? Sepertinya tak perlu. Akhirnya, Rima berusaha mengabaikannya, berjalan melewati pria itu tanpa sedikitpun mengeluarkan kata.

Namun, baru beberapa langkah, tubuh Rima ditarik kebelakang. Rupanya pria itu sudah menarik kasar tangannya demi mencegah Rima pergi dari hadapannya. Tubuh Rima menubruk dada bidang pria itu.

“Ternyata selain gak tahu malu, kamu juga gak punya telinga.” Pria itu berucap sinis di depan wajah Rima. Kesegaran parfum maskulinnya menyeruak dalam hidung Rima. Aroma yang begitu ia sukai.

“Jelas sekali kamu menurunkan sifat ibumu. Wanita murahan yang lebih memilih kenyamanan hidupnya daripada harga diri dan kehormatan,” tambah pria itu tanpa ampun. “Kamu sepertinya juga sudah mempelajari sifat-sifat licik ibumu. Pasti sebentar lagi kamu akan menjual diri kamu pada pria yang sanggup memberimu uang. Lihat saja, sudah semalam ini kamu masih berusaha mengundang hasrat laki-laki.” Pria itu mengamati penampilan Rima dengan sorot mengejek sambil mempertahankan tangan kirinya di tubuh Rima.

“Berapa hargamu kalau aku ingin menidurimu saat ini juga?”

Hilang sudah kesabaran Rima. Harga dirinya telah dipandang rendah, Rima tak bisa terima. Ditatapnya tajam pria di hadapannya itu.

“Semurah-murahnya aku, aku gak akan mau ditiduri saudaraku sendiri,” ucap Rima pelan tanpa bisa menahan lelehan yang turun di kedua pipinya.

Pria itu tampak terperangah. Rima segera meloloskan diri dari cengkeramannya yang seketika terasa lemah. Ia segera meninggalkan pria itu.

Semuanya berengsek. Ayahnya, ibunya, kenapa mereka hanya membawa kesakitan dalam hati Rima? Cinta buta mereka hanya membawa penderitaan untuknya.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel