Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Empat

Empat

Lima belas menit telah berlalu, tapi Rima masih belum juga mendapatkan angkutan umum yang akan membawanya pulang. Berdiri di pinggir jalan dengan baju yang tak nyaman benar-benar hal yang buruk.

Sebenarnya ia bisa saja memesan taksi atau ojek online. Namun, ponselnya sudah mati kehabisan daya. Tadi siang, sepulang dari kampus ia lupa mengisinya. Akhirnya, inilah yang terjadi. Ia harus pasrah menunggu hingga angkutan umum lewat di depannya.

Sepatu hak tinggi yang ia pakai semakin memperburuk keadaan. Setelah seharian berdiri, kini ia masih dipaksa berdiri. Dari semua kesialannya hari ini, hal yang paling buruk adalah kilat tampak menyambar di atas sana. Semoga saja ia mendapatkan angkutan sebelum hujan deras mengguyurnya.

Sayang sekali sepertinya harapan itu tak terkabul. Bersamaan dengan angin yang berhembus kencang, rintik hujan akhirnya turun perlahan membasahi jalan beraspal di depannya.

Rima mendesah, mulai cemas. Hari sudah semakin larut. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan angka setengah sebelas. Tepat saat hujan benar-benar turun dengan deras, sebuah mobil sport berhenti di hadapan Rima. Sedetik kemudian kaca depan mobil itu terbuka perlahan.

“Ayo, cepat masuk!” Pria dalam mobil itu berteriak agar suaranya tak terkalahkan derasnya hujan.

Rima ternganga. Untuk apa lagi pria itu kembali menemuinya? Ia jelas tak akan mau masuk ke kandang singa. Segera, Rima menggelengkan kepalanya untuk menunjukkan penolakan.

Pria itu tampak berdecak. Kaca mobil itu tertutup kembali. Rima mengembuskan napas lega.

Akan tetapi, kelegaan itu tak berlangsung lama. Pintu mobil sport itu terbuka dan sang pengemudi menyeberangi derasnya hujan demi bisa menyeret tubuh Rima. Rima yang ketakutan awalnya memberontak saat pria itu meraih tangannya. Namun, tenaga seorang pria jelas tak bisa Rima tandingi. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat pria itu menutup pintu mobilnya setelah Rima duduk di jok empuknya.

Beberapa saat kemudian, mobil akhirnya bergerak perlahan di tengah derasnya hujan. Tak ada yang bicara, tak ada basa-basi dan sejenisnya. Rima enggan melakukan itu. Lagi pula, untuk apa? Ia sama sekali tak ingin berhubungan dengan pria di sebelahnya lagi. Mengingat masa lalu, hanya rasa sakit yang terasa.

Tak berapa lama, lampu lalu lintas di depan mereka berubah merah. Si Arogan itu pun menghentikan laju mobilnya. Diliriknya sekilas Rima yang tampak menggigil kedinginan. Pasti karena seragam kerjanya yang sedikit basah itu. Ditambah lagi, tinggi rok yang dipakai wanita itu saat ini. Lengkaplah sudah penyebab kedinginannya. Benar-benar mengerikan.

Pria itu berdecak. Segera ia menoleh ke belakang kursi kemudinya, lalu mengambil jaket. Dilemparkannya jaket itu ke paha Rima yang terbuka.

Rima kaget, tapi sejurus kemudian ia tersadar. Pria itu tak mau melihat Rima memamerkan anggota tubuhnya di depan pria manapun—termasuk dirinya. Ya, hal yang sama yang pernah pria itu lakukan dulu.

“Berhentilah dari pekerjaanmu itu. Kamu bisa saja mendapat masalah kalau tetap keras kepala seperti saat ini. Memangnya kurang murah hati apa pria itu kepadamu? Aku tahu uang bulanan kamu sudah cukup banyak. Apa lagi yang kurang? Jangan-jangan, kamu sengaja tetap bekerja seperti ini supaya bisa mendapatkan pria kaya seperti yang dilakukan ibumu dulu?”

Rima tak menggubris ucapan menyakitkan pria itu. Ucapan itu tetap berlanjut.

“Bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat ke kamu? Bagaimana kalau yang kamu temui di area parkir tadi bukan aku? Kalau berandalan, misalnya? Mana tahu kamu akan diperkosa bergilir beramai-ramai?” lanjut pria itu sinis.

“Bagus, lanjutkan saja, keluarkan isi hati kamu. Aku akan mendengarkan dengan senang hati,” jawab Rima pelan. Ia sudah terbiasa menghadapi hal-hal semacam ini. Tak ada gunanya ia menyangkal atau meladeni ucapan itu.

Rupanya ucapan Rima semakin menyulut emosi pria itu. Begitu lampu lalu lintas berubah hijau, pria itu memacu mobilnya serampangan. Hanya beberapa saat dari sana, ia membelokkan kendaraannya ke sebuah jalan yang lebih sepi.

Mobil itu berhenti.

Napas pria itu tampak naik turun menahan emosi. Namun, Rima tak peduli. Ia enggan menolehkan kepala ke samping, bahkan untuk bertanya kenapa pria itu menghentikan mobilnya.

“Dari semua orang, kamu harusnya sadar, akulah yang paling tersakiti di sini. Aku, Rim. Kamu masih bisa tersenyum, tertawa setelah semua hal gila ini. Aku? Demi Tuhan, kenapa harus kamu yang jadi anak pria itu?”

Air mata Rima seketika meluncur. Ya, yang dikatakan pria itu benar, kecuali di bagian hanya pria itu yang tersakiti. Rima tentu saja tersakiti dengan kenyataan itu. Sejak kecil ia sudah tersakiti. Namun, semua itu tak sebanding saat ia mengetahui kenyataan jika pria di sampingnya ini adalah saudaranya.

Semua itu terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Dunianya terasa runtuh. Dambaan akan sandaran hidup yang sempurna, lenyap seketika.

“Kamu gak tahu apa yang aku rasakan, Mas. Kamu nggak akan paham.” Rima berucap pelan, dan kemudian mengarahkan pandangan terlukanya pada pria rupawan yang menatapnya dengan nanar itu.

“Selama tiga tahun ini aku berusaha menata hatiku. Aku mencoba berdamai dengan kenyataan itu. Pulanglah, Mas. Sudahi saja semua ini. Sudah tiga tahun kamu seperti ini. Tata hatimu lagi. Banyak wanita yang menunggu kamu di luar sana. Kamu sudah dewasa, Mas. Kamu sudah cukup waktu untuk menikah, berumah tangga. Jangan siksa diri kamu sendiri dengan terus seperti ini,” ucap Rima sembari menatap pria itu dengan sayu.

Pria itu menggelengkan kepalanya berulang-ulang, tak ingin mengiyakan apa yang Rima minta. Detik berikutnya telapak tangan Rima terasa hangat. Pria itu tengah menggenggam jemarinya erat.

Tiba-tiba pria itu berucap, “Ayo, kita pergi dari sini, Rim. Pergi sejauh-jauhnya tanpa ada orang lain yang akan menemukan kita.”

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel