Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4 ALASAN

Belinda membuka kelopak matanya dan mendapati mama mertuanya sedang duduk di kursi dan mengupas kulit jeruk.

“Kamu sudah bangun? Mama sudah menengok bayimu. Kenapa kamu tidak mengabari Mama?”

“Linda tidak ingin merepotkan Mama,” jawabnya lirih.

“Mama sudah tahu semuanya, Nak. Tetapi, Mama kecewa karena mengetahui dari orang lain, bukan dari mulut menantu Mama sendiri. Tolong hargai Mama, ceritakan apa yang terjadi sebetulnya?” Mala menggeser kursinya lebih mendekat pada ranjang dan mengulurkan segelas air kepada menantunya yang sudah hendak menitikkan air mata.

Perhatian yang diberikan mama mertuanya bagi Belinda adalah satu-satunya kasih sayang yang ia rasakan selama ini. Orang tua yang tidak pernah mencintainya dan selalu mengeksploitasi dirinya membuat ia merasa tertekan. Belinda dulu berharap, dengan menerima kenyataan dijodohkan dengan pria tampan yang menjadi atasannya di kantor akan membawa ia pada kehidupan yang lebih baik. Dicintai dan dihargai, tetapi kenyataannya adalah neraka kedua yang ia rasakan.

Gio langsung menuju ke lantai tempat istrinya dirawat bersama dengan anaknya. Setelah memastikan di bagian informasi. Dadanya berdentam keras dengan napas yang nyaris putus karena berita yang ia dapatkan barusan. Bayi perempuan, sial memang. Ia sangat kecewa. Pasalnya bayi yang sangat ia dan keluarga besarnya idam-idamkan adalah bayi berjenis kelamin laki-laki. Tangannya sudah mencapai hendel dan berhenti saat mendengarkan suara sang mama. Gio juga mengingat bagaimana mereka dahulu bisa bersama.

Empat tahun yang lalu

Semua berawal sejak hari pertama Belinda mengucapkan kemauannya untuk dipersunting oleh Gio Zaron. Tidak ada lagi bos yang hangat dan baik serta ramah. Sikap Gio berubah sepenuhnya.

Belinda sedang menyeduh teh untuk mengatasi kram di perut yang ia rasakan sejak kemarin pulang dari kediaman Zaron. Tatapan dingin Gio semalam bertolak belakang dengan perjodohan yang disetujui oleh pria itu. Bahkan Tasia ada di sana. Bilang saja Belinda jahat, merebut Gio dari Tasia. Ia sangat tahu dirinya bersalah menyetujui semua ini. Ia tahu, akan terjerumus pada lingkaran setan yang ia setujui demi terhindar dari lingkaran lainnya. Harapan indah musnah saat mendapati tatapan terluka dari Tasia yang sangat apik disembunyikan wanita cantik tersebut. Namun, tidak demikian dengan Gio yang menatapnya dengan sangat memusuhi, tetapi berlaku sangat manis saat bertatap muka dengan orang tua Belinda.

Gio mencium Tasia yang menangis di dalam dekapan tubuhnya. Gio paham betul apa yang terjadi pada Tasia, tak lain juga karena kesalahan dirinya yang mengulur waktu memperkenalkan wanita itu kepada orang tuanya. Sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi, bukan hanya karena permintaan mamanya, tetapi juga karena keinginan sang kakek yang menginginkan dirinya untuk menikahi Belinda. Gio juga tidak habis pikir dari mana orang tua dan juga kakeknya mengenali wanita itu. Gio bahkan tidak pernah melirik wanita pendiam berpenampilan sederhana yang bekerja pada bagian keuangan tersebut.

Semua diluar perkiraan. Ia berpikir jika akan dinikahkan dengan salah satu kolega kakeknya yang tentu saja memiliki segala kemewahan seperti kekeluarganya. Namun, yang terjadi adalah kebalikannya. Gio bahkan hanya mendapatkan bagian sebagai direktur cabang salah satu perusahaan yang baru berkembang. Alih-alih duduk di jajaran kursi kepemimpinan di kantor pusat.

Gio teringat dengan perkataan sang mama semalam. “Mama tidak mau tahu kamu harus baik dengan Belinda. Dia sudah banyak menderita.”

“Dan, sekarang kebahagiaannya harus menjadi tanggung jawab Gio, begitu? Bukankah kebahagiaan tercipta karena pola pikiran masing-masing individu?”

"Sudah, diam kamu. Jangan banyak teori. Turuti saja apa yang Mama bilang. Dia wanita terbaik untukmu."

Gio mendesah pasrah dan mengajak Tasia yang tadi ikut pulang ke rumah dengan alasan mengambil berkas agar tidak dicurigai oleh kedua orang tua Gio. Padahal kenyataan yang sebenarnya Tasia bersikeras menemani Gio untuk bertemu muka dengan wanita yang telah dijodohkan.

“Aku tidak terima semuanya ini. Kamu milikku,” kata Tasia di sela tangisannya.

“Aku tetap milikmu, Sayang.”

Tasia mendekap Gio semakin keras hingga Gio merasakan air mata Tasia menembus lapisan kemeja yang ia kenakan.

“Aku harus mengikuti kemauan orang tuaku. Semua juga demi kebaikan kita. Aku akan segera menceraikannya, setelah dia bisa memberikan cucu untuk keluarga kami. Kamu tahu betul aku hanyalah anak tunggal, sementara saudara sepupuku sangat banyak. Mama sangat khawatir jika tidak bisa memberikan kakekku cicit secepatnya seperti yang dilakukan oleh sepupu-sepupuku lainnya.”

Tasia menegakkan tubuhnya seraya melerai pelukan dan mengusap air matanya. “Baiklah, aku akan membetulkan riasanku dahulu. Mamamu nanti akan datang untuk makan siang denganmu.”

Gio merasakan kelegaan jika wanita yang ia cintai ini mau mengerti dan berhenti menangis. Melihat air mata Tasia membuat Gio merasa bersalah juga.

“Baiklah, kamu merapikan diri dulu. Aku akan keluar sebentar ada yang harus aku bicarakan dengan wanita murahan itu.”

Tasia mengangguk dengan cepat. “Jangan sampai kamu jatuh cinta dengannya. Aku mohon.” Kembali Tasia menitikkan air mata.

Gio mencium kedua kelopak mata Tasia dengan lembut. “Tidak akan, Sayang. Hanya ada kamu di hatiku selamanya.”

Gio kini berada di lantai lima tempat dimana divisi keuangan berada. Ia mengedarkan pandangan pada kubikel-kubikel yang berjejer rapi. Namun, tak ia dapati sosok pengganggu ketentraman hidupnya itu saat ini.

Apakah dia tidak masuk kerja? Baru saja menerima perjodohan, gaya sudah seperti ratu.

“Pak Gio. Kok bisa sampai di sini?” tanya Inggrit tergagap. Tak menyangka jika direktur mereka sampai berada pada lantai tempatnya bekerja.

“Memangnya kenapa? Toh, ini masih kantorku, bukan?” jawab Gio dengan ketus dan dingin. Sungguh ia menahan kejengkelan karena tidak menemukan wajah Belinda sampai detik ini.

“Iya sih, terserah Bapak. Semua milik Bapak,” jawab Inggrit dengan jujur.

Gio hendak menanyakan keberadaan Belinda, tetapi ia urungkan saat melihat sosok itu berbelok dari toilet menuju ruang pantry. Gio tersenyum miring dan matanya memperhatikan pergerakan wanita itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Inggrit dengan ramah.

“Tidak perlu. Kembalilah ke bilikmu dan jangan ngerumpi,” ujar Gio dingin tanpa menoleh pada Inggrit dan berjalan lurus menuju pantry.

Inggrit mengerutkan dahinya menatap keheranan kepada bosnya yang berjalan menuju pantry tersebut. Ia melangkah hendak mengikuti sang atasan, tetapi diurungkan. Ia tidak akan mengambil resiko untuk menguping kali ini. Mungkin saja sang atasan sedang sidak langsung kebersihan pantry setiap divisi dan mungkin saja berkenan menambahkan microwave agar ia bisa membuat sandwichnya di sini. Alih-alih membeli di kantin kantor.

“Seharusnya kamu tidak menerima perjodohan itu,” ucap Gio seraya mencengkram lengan atas Belinda di ruang pantry.

“Saya tidak enak kepada kebaikan orang tua, Bapak,” jawab Belinda tanpa berani jujur mengungkap alasan yang sebenarnya. Ia terkejut, atasannya bisa menemukan dirinya di sini. Belinda lantas mendongak ke arah cctv. Apakah sang atasan menemukan dirinya dari pantauan cctv?

“Hanya karena uang 200 juta yang diberikan mamaku dan kamu mau dinikahi olehku? Murahan sekali, bukan? Iya, kamu murahan Belinda Amania. Seharusnya juga Mama tidak perlu memberikan uang sebanyak itu kepadamu. Aku pikir kamu bukan wanita matre, ternyata kamu tidak berbeda jauh dengan banyak wanita di luar sana.”

Belinda menggeleng keras. “Sa ... ya, bukan wanita seperti itu. Semua saya lakukan karena saya butuh biaya untuk mengobati Ayah.”

“Alah. Ayahmu itu sudah stadium empat, Belinda. Usianya sudah tidak akan lama lagi,” jawab Gio tanpa sungkan atau takut melukai hati Belinda.

Belinda menitikkan air mata, sakit hati dengan perkataan Gio. Walaupun sepanjang yang ia tahu ayahnya yang memiliki kanker lidah dan selalu terbaring di ranjang tidak pernah menaruh rasa sayang kepadanya. Ia mencintai ayahnya dengan tulus. Bagaimanapun tanpa beliau, Belinda tentu tidak akan ada di dunia ini, bukan?

“Jangan berkata begitu tentang Ayah,” balasnya seraya meringis kala merasakan cengkraman Gio yang mengeras. Andaikata ia sudah renta pasti tulangnya akan hancur dalam genggaman pria gagah di depannya saat ini.

“Terima kenyataan dan bangunlah. Hidupmu bersamaku, aku pastikan tidak akan baik-baik saja. Sebelum pernikahan berlangsung, lebih baik kamu pergi dari kota ini. Tetapi, sebelumnya kembalikan dulu uang mama dengan bunga 25% dalam waktu satu bulan.”

Belinda membulatkan matanya dan wajahnya terasa tidak teraliri oleh darah saat ini. Dalam waktu satu bulan harus mengumpulkan uang sebanyak 250 juta? Dari mana ia akan memperolehnya? Apakah menjual keperawanannya bisa dihargai sebanyak itu? Pikiran penuh keputusasaannya berkelana sangat liar saat ini.

“Bagaimana bisa saya mendapatkan uang sebanyak itu?” cicitnya.

“Aku tidak peduli. Kamu sudah menghancurkan masa depanku dengan masuk kedalam hidupku. Jadi, terimalah konsekuensinya.” Gio lantas melepaskan cengkraman tangannya dan berlalu dari sana.

Meninggalkan Belinda yang merasa sendi kakinya melemas dan ia terduduk di lantai pantry dengan air mata berlinang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel