Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3 KONTRAKSI

Dua bulan kemudian

Belinda berbaring miring seraya mengusap perutnya yang membuncit, sambil sesekali meringis menahan kontraksi yang mulai sering terjadi. Ia menatap jam weker yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Setelah beberapa kali mengatur napas, ia segera berusaha bangkit dari pembaringannya dan meraih tas yang sudah disiapkan.

Belinda menoleh pada sisi ranjang yang selalu kosong. Mendengkus panjang, ia segera menutup pintu kamarnya dan memastikan semuanya aman sebelum akhirnya pergi. Beruntung, taksi daring sudah menunggu di depan tak lama kemudian.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengirimkan pesan singkat kepada sang suami yang saat ini entah berada di mana.

Belinda:

“Mas, aku sudah menuju rumah sakit. Kemungkinan hari ini aku akan melahirkan. Jenguk anakmu jika kamu sudah ada waktu.”

Belinda melirik layar ponselnya sekali lagi sebelum menghubungi orang tuanya. Centang satu, bisa berarti banyak hal, bukan? Belinda tidak ingin suudzon apa pun yang terjadi kedepannya, ia harus siap dengan segala konsekuensi. Bagi keluarga suaminya, yang utama adalah keturunan yang ia hasilkan bagi mereka.

Belinda tidak jadi menghubungi ibunya melalui panggilan telepon, kontraksinya semakin menjadi dan dirinya hampir tiba di rumah sakit. Semuanya menjadi terlupakan karena fokusnya kepada sang janin. Belinda sudah merasakan basah pada bawah pantatnya. Ia panik melirik pada sopir taksi yang tampak sigap membawakan kemudi.

“Pak, maaf. Jok Bapak basah, sepertinya ketuban saya pecah, Pak,” kata Belinda dengan raut penuh penyesalan dan permintaan maaf.

Si sopir hanya melirik sekilas sebelum semakin cepat melajukan kendaraannya.

“Tidak apa, Bu. Wajarkan kalau ketuban pecah. Jok yang kotor masih bisa dibersihkan,” ujar sang sopir maklum.

Dalam hati Oza Parama, cukup geram. Suami mana yang begitu tega tidak ada bersama sang istri ketika hendak melahirkan. Terlebih tidak ada seorang pun yang menemani. Padahal, jika dilihat dari rumah yang mereka tinggali cukup berada. Sungguh ia sangat simpati kepada wanita muda ini, cantik dan terlihat sederhana. Wanita tegar, terlihat dari upayanya yang tidak mengeluh sedikit pun sedari tadi.

Oza membantu penumpangnya untuk duduk di kursi roda dan bersikeras membantunya sampai mendapatkan kamar.

“Anda tidak perlu melakukan ini, saya bisa melakukan sendiri. Saya bahkan belum membayar Anda. Saya tidak ingin berhutang budi,” kata Belinda seraya mengaduk isi tas mencari dompetnya.

Lengannya lantas ditahan oleh Oza. “Tidak apa, anggap saja ini bantuan dari sesama makhluk sosial.”

Belinda menggeleng. “Saya bahkan tidak mengenal Anda.”

“Kita tidak perlu saling mengenal dekat, untuk membantu sesama. Sudahlah sekarang lebih baik Anda berkonsentrasi dengan bayi dan diri Anda. Saya akan membantu semampu saya,” kata Oza seraya meremas bahu Belinda menyalurkan dukungan.

“Tapi, Pak?” protes Belinda.

“Adakah anggota keluarga yang bisa saya hubungi?” tanya Oza.

Belinda menggeleng saat Perawat membantunya berbaring di ranjang UGD.

“Kalau begitu saya akan temani Anda sampai melahirkan.”

Belinda menggeleng panik dan merasa tidak enak hati dengan perhatian berlebih orang asing di depannya itu. Namun, Belinda juga tidak kuasa mengalihkan perhatiannya dari pria yang ada di depannya itu, walau sedikit terhalang tirai dan lalu lalang para petugas medis, pria itu dengan santainya duduk di sana dan memberikan senyum tipis ke arah Belinda. Belinda yang kepergok memperhatikan pria itu, lantas memalingkan wajahnya yang tersipu. Rasanya tidak asing jika diamati lebih lama. Namun, Belinda tidak kunjung mengingat. Mungkin ia pernah bertatap muka di jalan.

Oza bersedekap seraya duduk tenang di bangku ruang tunggu. Kedua tangannya mengepal erat di balik raut wajahnya yang tampak sangat bersahabat. Ia sangat bersyukur bahwa dirinya yang mendapatkan penumpang dini hari ini. Padahal sejatinya ia hanya iseng membuang waktunya yang tak kunjung mengantuk dan menghilangkan kepenatan. Geram yang dirasakannya mendapati wanita itu tidak ada yang menemani di hari pentingnya ini.

Bagaimana jika sampai banyak hal buruk terjadi dan tidak ada satu orang pun yang tahu? Di mana para pekerja di rumahnya?

Oza menggeleng-gelengkan kepala seraya memijat pelan tengkuknya mengenyahkan segala pertanyaan itu. Ia akan mencari tahu nanti.

Oza masih menemani Belinda sampai wanita itu selesai diperiksa dan akhirnya bisa melahirkan dengan selamat dan di tempatkan di kamar. Oza menengok Belinda yang sedang tertidur nyenyak dan mengecup puncak kepala-nya dengan lembut. Andaikan ia tidak ada jadwal mengajar pagi ini, akan dengan senang hati ia menemani Belinda dan anaknya. Namun, Oza akan mengirim orang untuk memantau keadaan Belinda. Wanita cantik ini jelas tidak baik-baik saja, begitu juga dengan rumah tangganya.

Oza melangkahkan kaki keluar dari lobby rumah sakit, saat menangkap bayangan Gio yang menuju meja informasi. Ia lantas menggapai gawainya dan menghubungi sang ayah, Felix.

“Pa, aku sudah menemukan dia.”

“Kamu yakin itu dia?”

“Sangat yakin, wajah dan postur tubuhnya sama dengan Mama waktu masih muda ditambah lagi dengan tanda lahir di lehernya. Mereka bagaikan pinang dibelah dua.”

“Akhirnya. Bagus, Nak. Bagaimana keadaannya?” tanya Felix dengan suara khas orang bangun tidur.

“Tidak terlalu bagus, Pa. Satu yang pasti, ia sudah menikah dan pernikahannya tidak bahagia. Ngomong-ngomong, selamat, Pa. Papa baru saja mendapatkan cucu perempuan.”

“Terima kasih Tuhan. Oh, anakku yang malang. Bawa dia kembali, Nak. Bagaimanapun caranya.”

“Oh ya, Pa, dia menikah dengan Gio Zaron.”

“Bocah tengik itu? Pantas saja dia tidak bahagia,” geram Felix Alfedo.

“Aku akan membuat perhitungan dengannya,” tambah Felix.

“Jangan gegabah, Pa. Kita lakukan secara perlahan, yang terpenting saat ini sang putri akan kembali ke pelukan kita lagi.”

Oza menghela napas lega. Setidaknya proses persalinan Belinda lancar dan wanita yang dirinya cari sejak dua puluh tahun ini sudah ditemukan. Tugasnya sekarang adalah mencari orang yang dulu pernah menculik wanita itu. Ia sangat yakin jika Belinda masih berhubungan dengan mereka. Seorang Zaron tidak mungkin mempersunting wanita dari kalangan biasa saja. Hanya saja mendapati Belinda yang seorang diri di rumah tanpa terlihat satu orang pun yang menemani tak urung kembali membuat Oza berpikir. Sangat jelas Gio tidak mengurus adik angkatnya itu dengan baik.

Gio terbangun dan mematikan alarm pada gawainya. Menyingkirkan tangan lentik yang mendekap dadanya dengan erat dan kemudian bangkit berjalan menuju kamar mandi.

“Masih sangat pagi, kamu akan kembali?”

“Iya, perasaanku tidak enak.”

“Kalau begitu kembalilah berbaring dan aku akan melakukan sesuatu yang enak pada tubuhmu?” goda wanita bertubuh seksi tersebut.

“Tidak bisa, aku harus kembali.”

Tasia mendesah kecewa. Selalu seperti ini, kapan ia bisa memperoleh seluruh waktu pria tersebut. Hanya bisa mendekap tubuh gagah itu setiap malam saja tidaklah cukup. Ia ingin semuanya, waktu, tubuh, pikiran dan tentu saja materi yang berlimpah.

“Siapkan semua keperluan kita untuk ke Jepang dua hari lagi.”

“Sudah aku lakukan,” jawab Tasia seraya menyangga kepala dengan sebelah tangannya, tidur menyamping memperhatikan pria di depannya yang sedang memakai pakaiannya.

Tasia lantas bangkit dengan bertelanjang bulat dan membetulkan letak dasi prianya.

“Aku cukup baik, bukan? Aku tidak pernah meninggalkan jejak kepemilikan pada tubuhmu. Padahal kamu tahu aku sangat ingin sekali, supaya wanita bodoh itu tahu siapa pemilik hatimu yang sesungguhnya.”

“Dia tahu Sayang. Maka dari itu dia tidak pernah protes dengan diriku yang tidak pernah menghabiskan waktu di rumah,” kata Gio seraya mengusap lengan atas Tasia dan mencumbunya dengan mesra.

Gio lantas mengerutkan dahinya saat membaca pesan dari Belinda. Wanita itu melahirkan saat ini? Gio bahkan tidak tahu berapa usia kandungan Belinda, karena seingatnya satu minggu yang lalu wanita itu tampak masih lincah mengurus dirinya dan membersihkan rumah. Kandungan yang tidak begitu besar membuat Gio tidak terlalu memperhatikan hal itu, atau memang dia tidak pernah peduli dengan Belinda?

Gio mendesah, sebelum meraih tas kerjanya dan meraih mantel. Suhu di luar masih dingin sepagi ini ditambah dengan hujan yang masih mengguyur jalanan.

“Kamu tidak mau sarapan dulu. Morning sex mungkin?” goda Tasia mencoba mengulur waktu kepergian Gio.

Tasia sangat tidak suka jika pergi ke kantor sendirian, tanpa Gio di sisinya. Ia sudah terlalu biasa berada bersama dengan pria itu.

“Belinda melahirkan. Aku akan menengoknya terlebih dahulu. Kamu berangkatlah bekerja terlebih dahulu dan atur ulang jadwalku pagi ini, ya?” Gio meraih tengkuk Tasia yang merengut dan mengangguk ke arahnya.

Gio kembali memagutnya mesra sebelum sepenuhnya pergi dari rumah wanita itu. Gawainya kembali berbunyi satu pemberitahuan masuk. Foto Belinda yang diantarkan oleh seseorang ke rumah sakit kali ini menyita perhatian Gio.

“Untuk apa ada pria itu di sana? Apa mereka saling kenal?” gumam Gio pada dirinya sendiri.

Tanpa sadar Gio mengeratkan cengkraman jari jemarinya pada kemudi dan melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah sakit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel