Bab 2
Zara baru saja selesai menyertrika semua pakaian keluarga di rumah ini. Malam sudah larut, dan Zara masih berdiri di dekat dapur mengintip ke arah meja makan dimana Ayah, Ibu tiri dan ketiga saudara tirinya sedang menikmati makan malam mereka dengan lahap.
Zara menunduk mengusap perutnya yang berbunyi meminta di isi. Ia berdecak pelan melihat mereka makan dengan lahap dan begitu nikmat.
Zara beranjak dari duduknya di atas ranjang saat tak mendengar suara apapun di ruang makan. Ini saatnya ia makan, ia berlari kecil menuju meja makan dan tatapan cerianya langsung surut saat melihat semua makanan telah tandas tanpa sisa. Zara hanya bisa berdecak pelan dan mengusap perutnya yang semakin keroncongan.
"Kenapa hanya berdiri!" suara sinis itu terdengar di belakang telinganya membuat Zara menoleh dan mendapati Ayahnya di sana.
"Cepat bersihkan semua piring kotor dan meja makan itu! Dasar anak cacat yang pemalas!"
Zara menunduk lesu dengan segera ia mengusap sudut matanya yang berair. "Ya Allah, Zara gak nangis kok. Zara gak cengeng, Zara kuat. Jadi jangan hukum Ayah Zara, dia tidak bersalah. Dia hanya ingin Zara menjadi anak yang lebih rajin," gumamnya kembali tersenyum dan mulai membersihkan meja makan.
Masitoh mengusap sudut matanya dari balik pintu. Ia tau Zara kelaparan, tetapi anak itu tak pernah menyimpan dendam apapun. Dan malah mendoakan Ayahnya.
***
Keesokan harinya setelah melakukan solat subuh, Zara membersihkan seluruh rumah besar milik Abraham dengan kaki yang pincang. Ia sedikit kesulitan membawa ember dan mengepel tangga.
"Kak Alfa," gumam Zara saat ia berpapasan dengan Kakak sulungnya yang terlihat sudah rapi dengan seragam SMA nya.
"Dimana Mbok?" tanya Alfa dengan ekspresi datar.
"Mbok sedang memasak di belakang," ucap Zara.
"Lain kali jangan bawa ember ke tangga, kau bisa jatuh." Alfa mengambil ember di samping Zara dan membawanya ke lantai dasar. Alfa memang kakaknya yang paling baik dan perhatian padanya walau dia tak pernah tersenyum dan hanya menampilkan wajah datarnya.
"Terima kasih Kak," gumam Zara tersenyum merekah. Ia senang setiap kali Alfa mengajaknya berbicara walau singkat. Setidaknya ia masih di anggap keluarga di sini.
***
"Zara!!!" teriakan itu membuat Zara kaget dan sedikit berlari dari taman belakang yang sedang membersihkan taman.
"Iya Mesya," ucapnya dengan nafas terengah saat sudah sampai di hadapan gadis yang tengah berkacak pinggang itu.
"Kenapa sepatuku belum kau cuci!"
"Aduh!" Zara meringis saat Mesya melemparkan sepatu miliknya yang penuh tanah ke dada Zara hingga kotoran itu menempel di bajunya. "Maaf Mesya, tetapi kamu tidak memberitahuku untuk mencuci sepatumu."
"Kenapa harus selalu di suruh? Kau tidak memiliki inisiatif untuk mencucinya? itu sepatu kesukaanku dan mau ku pakai sekarang!" jeritnya. "Mom... Dad!!!" teriak Mesya.
"Ada apa sayang? Kenapa berteriak pagi-pagi?" tanya Abraham yang berjalan menuruni tangga.
"Dad, lihat sepatu Mesya kotor karena gak di cuciin sama Zara. Padahal sekarang mau Mesya pake," tangisnya mengadu pada Abraham.
Zara menundukkan kepalanya saat mendapatkan tatapan tajam penuh kebencian dari Abraham.
"Kenapa kau tidak mencucinya? darimana saja kau kemarin? Kau hanya bermalas-malasan saja di rumah!" bentak Abraham.
"Maaf Ayah, tetapi Zara kemarin membersihkan toilet. Dan Mesya tidak meminta Zara untuk mencucinya." Zara menundukkan kepalanya karena takut.
"Mesya sudah menyimpannya di tempat pencucian," rengek Mesya.
"Ada apa Meysa?" tanya Amanda menghampiri mereka.
"Mom, sepatu Mesya tidak di cuci," tangisnya. "Padahal Mesya mau pake."
"Hah, kau ini sungguh pemalas. Kemarin saja membersihkan toilet harus ku suruh dulu dan masih tidak bersih."
"Tapi Nyonya!"
"Diam!" bentak Abraham. "Ingat Anak pembawa sial! Kau di sini menumpang dan kau harus tau diri. Kau bukan puteri di sini!"
"Tapi Ay-"
Plak
Abraham menampar Zara dengan sangat keras. "Jangan membantah dan menjawabku! Sekarang bersihkan sepatu Mesya!"
Zara hanya bisa mengangguk dan memungut sepatu yang jatuh di lantai. Zara membawa sepatu itu ke tempat pencucian dan mencucinya. Ia sempat melihat Abraham menggendong Mesya dan menenangkan gadis yang menangis itu. Ada rasa iri di dalam hati Zara melihat pemandangan itu.
Ia belum pernah merasakan hangatnya pelukan dari Ayah kandungnya sendiri.
***
