Pustaka
Bahasa Indonesia

Attention

159.0K · Tamat
Gita Hadianty
85
Bab
18.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jangan macam-macam dengan atasan satu ini, dia bisa membaca pikiran lawan bicaranya bahkan apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya dalam hati. Dia atasan yang akan membuat bawahannya disiplin bukan main, capek bukan main dan mengelus dada berulang-ulang karena kekejamannya. Membuat bawahannya mati kutu karena kalimatnya "Jangan macam-macam dengan saya baik dibelakang maupun didalam pikiran dan hati karena bahaya ketika saya tau anda sedang mengumpat mengenai saya". Dan satu, lagi atasan ini wajib diwaspadai karena dia bisa mematahkan hati siapapun. Lebih parahnya, gadis yang berstatus magang di kantornya salah satu gadis yang hobi mengumpat dan tergolong gadis manja, tapi juga gadis cantik yang bisa dia patahkan hatinya kapanpun dia mau. Bagaimana cerita mereka? bisa langsung dilihat. Selamat membaca

RomansaSweetPresdirMenyedihkanWanita CantikDewasaBaper

Bab 1

Matahari sudah sangat terik, namun gadis satu itu masih bergelung nyaman dibawah selimutnya hingga satu suara membuatnya langsung terbangun dan loncat dari ranjang. Suara yang sangat menyeramkan, bahkan lebih seram dari Suzana.

"Bi Rosa jangan ngadaiin pagelaran hantu di kamar aku dong. Please." Corina menutup kupingnya, sedangkan asisten rumah tangga yang ada dirumahnya itu tersenyum sangat lebar. Bi Rosa dengan segala keanehan dan juga keunikannya, namun dia adalah asisten rumah tangga yang gesit dan selalu membereskan semua pekerjaannya dengan baik.

"Ya ampun neng udah kayak konser Krisdayanti gini malah dibilang pagelaran hantu. Ini perintah dari ibu negara tau Neng Corina." Balas Bi Rosa

Mamah nyiksa banget bangunin anaknya, keluh Corina dalam hati.

"Ya udah aku sekarang udah mau mandi kok, Bi Rossa keluar aja oke?." Rayu Corina agar Bi Rosa segera keluar dari kamarnya.

"Tapi bener langsung mandi ya neng, gak tidur lagi loh soalnya ini udah jam tujuh."

Corina langsung membelalakkan matanya karena dia mengira sekarang ini masih jam enam. Selain karena kamarnya yang masih gelap karena cahaya matahari tidak dapat menembus gordennya, Corina juga merasa alarmnya tidak berbunyi.

"Jam tujuh?. Aduh kenapa baru bangunin?." Corina langsung turun dari ranjangnya dan berlari secepat kilat ke kamar mandi dengan panik. Sementara Bi Rossa yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala, menurutnya anak majikannya ini memang ajaib. Dia selalu gegabah, ceroboh dan tidak disiplin, tapi walaupun begitu Corina adalah anak gadis yang baik. Menurut Bi Rossa sikap Corina yang ajaib itu sebab dia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya dan juga dua kakak laki-lakinya. Corina adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya di keluarga Wiguna.

"Bi Rossa ih keluar, aku mau siap-siap."

Bi Rosa melongo. Tidak sampai lima menit sepertinya, tapi Corina sudah keluar lagi dari kamar mandi. "Ya ampun neng cepet banget mandinya. Mandinya gimana itu neng?."

"Darurat Bi Rossa. Jam delapan aku harus udah nyampe di kantor tempat aku magang." Jawab Corina. Bi Rossa kembali menggeleng-gelengkan kepalanya lalu keluar dari kamar Corina yang seperti kapal pecah.

Tepat setelah Bi Rossa keluar Corina langsung mengeluarkan baju-bajunya untuk dipilih secara brutal. Hampir semua baju yang ada dilemarinya dia keluarkan, hingga akhirnya pilihannya jatuh ke dress putih dan blazer putih dengan sepatu hak tinggi 10 cm berwarna senada.

"Hello Georgeus." Ucap Corina kepada dirinya sendiri dihadapan cermin panjang setelah selesai berdandan. Corina memang gadis yang selalu mementingkan penampilannya di berbagai situasi dan selalu percaya diri.

**

"Hallo Beautiful," sapa Corina pada mamahnya yang kini sedang mengoleskan roti dengan mentega dan selai cokelat kesukaan Corina. Mamah Corina ini memang ibu-ibu berumur empat puluh tahunan, tapi masih tampak sangat cantik dan muda. Corina selalu iseng bertanya pada ibunya kenapa bisa menikah dengan papahnya yang kelewat 'biasa saja'?. Mamahnya berulang kali selalu menjawab kalau dia sangat mencintai papahnya yang kelewat biasa saja itu. Menurut mamahnya, papahnya mempunyai sikap yang tidak dipunya oleh pria lain dan Corina suatu saat nanti akan mengerti kalau sudah merasakan yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta itu tulus dan apa adanya, begitu kata mamahnya.

"Hallo Princess, sarapan dulu ya baru berangkat." Mamahnya tersenyum dengan manis pada anak gadisnya itu.

"Aduh mah beneran deh aku udah telat. Aku harus sampei ke kantor jam delapan. Ini kan hari pertama aku magang. Aku gak sarapan ya hari ini?." Tanya Corina dengan ekspresi memelas semanis mungkin.

"Kebiasaan deh, mepet. Ya udah bawa aja rotinya. Papah juga tadi pagi bekel roti kok."

"Aw... papah hello kitty bawa bekel roti ke kantor. Makin so sweet aja deh makin tua." Ledek Corina yang membuat pipi mamahnya bersemu merah.

"Kebiasaan deh sama papahnya sendiri bilang gitu. Makanya inget pesen mamah cari pasangan itu harus bener-bener tepat jangan sampai salah pilih karena dia itu yang bakal nemenin kamu seumur hidup." Ceramah mamahnya sambil memasukkan roti yang tadi disiapkannya ke dalam tempat.

"Aduh mamahku sayang udah ya ceramah pagi tentang jodohnya, nanti lagi aja kalau ada Ka Cello. Udah telat banget nih. Bye beautiful." Corina segera mengambil bekal roti yang disiapkan mamahnya kemudian pergi sambil lari-lari setelah menyambar kunci mobil miliknya.

Cello adalah kakak keduanya yang sudah bekerja, tapi belum menikah ataupun mempunyai pacar. Dia tinggal terpisah di sebuah apartemen. Sedangkan kakak pertamanya yang bernama Calais yang biasa dipanggil Cal sudah menikah dan tinggal di Bandung karena bekerja disana dan menikah dengan orang Bandung.

**

Suasana kantor sudah penuh dengan pegawai yang akan apel pagi. Kantor yang lebih banyak didominasi oleh pegawai laki-laki itu seakan terpana untuk sesaat saat melihat Corina yang masuk ke kantor dengan berlari-lari. Corina bertanya pada salah satu pegawai yang sedang asyik memperhatikannya, "mas mau tanya apel paginya belum mulai kan ya?." Tanya Corina namun yang ditanya hanya menatap Corina tanpa mengedip sehinga Corina melambai-lambaikan tangannya dihadapan pegawai itu. "Mas.. Halo..."

"Oh ya maaf mba, gimana mba?." Corina menghela napas, dia sudah capek berlari-lari ditambah sekarang dibuat kesal karena harus bertanya dengan pertanyaan yang sama.

Kamu harus sabar, apalah kamu Corina yang hanya anak magang disini.

Corina terlebih dahulu menarik nafasnya dalam-dalam lalu bertanya dengan senyuman yang semanis mungkin dia buat, "apa apel paginya sudah dimulai mas?." Tanya Corina lagi dengan semanis mungkin.

"Oh baru mau mulai ko. Silahkan ikut baris. Mari saya antar."

"Terima kasih." Corina mengikuti pegawai tadi yang sudah lebih dulu berjalan.

Saat akan masuk barisan Corina terkejut melihat teman satu kuliahnya yang juga magang di tempat yang sama dengannya sudah ikut baris dengan posisi siap. Dia benar-benar terlambat, pikirnya. Corina merutuki dirinya sendiri yang kalau sudah tidur seperti orang pingsan. Belum selesai memikirkan keterlambatannya, Corina menemukan hal yang lebih mengejutkan juga membuat darah Corina berhenti seketika. Semua pegawai perempuan disini memakai sepatu pantopel, tidak ada yang memakai sepatu hak tinggi. Kemeja teman-teman yang magang sama sepertinya juga berwarna putih dan dilengkapi dengan papan nama.

Mampus. Salah kostum nih kayaknya. Aduh Corina tau bakal magang dikantor kayak gini kenapa dandan kayak mau ke mall sih?. Cerocos Corina dalam hati.

Akhirnya Corina pasrah saja dan memasuki barisannya dengan lemas. Dia hanya bisa berharap kalau hari ini adalah hari keberuntungannya, tapi tampaknya harapan Corina itu langsung pupus seketika karena ketika dia baru saja berdiri di barisannya seorang pria yang ada disampingnya mengeluarkan suara yang terdengar mengerikan. Bahkan ketika mendengarnya Corina yakin seyakin-seyakinnya kalau suara Bi Rossa yang selama ini dianggapnya menyeramkan kalah seramnya dengan suara pria itu. Suaranya sangat dingin dan tidak ramah. "Kamu tau kan kalau ini kantor bukan mall?."

Corina menoleh dengan hati-hati. "Ahm anu.., mas. Saya... saya..." Jawabnya gelagapan. Corina mendadak tidak bisa berpikir. Matanya mencoba meminta pertolongan pada pegawai yang tadi mengantarnya, tapi pegawai tadi juga terlihat sama takutnya.

Pegawai yang sering ketemu dia aja takut. Gimana kabarnya aku?. Sayang banget deh, dia sebenernya ganteng tapi killer. Aduh ganteng-ganteng Hitler. Bicara Corina dalam hati.

"Gak usah jawab sekarang. Lem aja mulut kamu terus baris yang bener." Balas pria menakutkan itu. "Oh ya saya memang killer jadi lebih baik kamu siapin jawaban yang tepat buat pertanyaan barusan di ruangan saya nanti karena perlu kamu tau saya ini atasan dan pengawas kamu mulai hari ini, mahasiswa magang." Corina merasa dunianya runtuh hancur berkeping-keping seperti kerupuk yang diremukkan di atas gado-gado. Bagaimana bisa pria ini tau apa yang ada dipikirannya?, terlebih lagi kenapa harus laki-laki seperti Hitler ini yang jadi atasan dan pembimbingnya?.

Dan satu bisikan terdengar ditelinga Corina.

"Selamat datang Corina di dunia penjajahan Jepang." Bisik Angga sangat pelan.

Angga merupakan teman Corina yang sudah baris disamping kirinya dan didepannya juga ada Tasya yang merupakan teman Corina yang canggih luar biasa. Ya, luar biasa bikin Corina bingung.

"Halo Corina. Udah ini mau ke mall ya Cor?." Corina memijat pelipisnya. Corina merasa tidak seharusnya dia bertemu dengan Tasya sekarang ini.

"Udah ya Tasya sayang sebentar lagi apel paginya dimulai. Kita lihat kedepan aja ya." Tasya hanya mengangguk-ngangguk dengan senyuman yang lebar dan kembali melihat kedepan. Corina memang kurang beruntung satu tempat magang dengan Tasya yang akan membuatnya pusing tujuh kelilingi dan juga Angga si sang primadona kampus yang sudah dari awal kuliah selalu mengejar Corina. Ditambah pembimbingnya yang sangat galak.

Corina sudah bisa membaca hidupnya beberapa bulan kedepan tidak akan mudah.

**

"Na tungguin dong," Tasya berusaha berlari menyamakan langkah Corina yang memakai hak tinggi ketika apel pagi baru saja selesai. "Na tau gak daritadi lo diliatin sama orang-orang sini. Ya kan secara lo cantik, terus pegawai disini banyaknya laki-laki. Baju lo juga beda sendiri. Lo sih mau ke mall pake bajunya dari sini. Kan kita mau magang dulu."

"Corina pasti gak baca kertas yang dibagiin kemarin atau dia ceroboh seperti biasanya. Gue sih tebak kertas yang isinya aturan magang itu di ilangin sama dia." Timpal Angga yang kini ikut berjalan disamping Corina.

Corina membuang nafasnya besar-besar. Ini baru dua jam dia magang, tapi banyak hal yang membuatnya menghela nafas. Corina memang orang yang sangat ceroboh bisa menghilangkan kertas sepenting itu. "Iya gue lupa taruh dimana. Gue kira itu cuma peraturan yang basic aja. Aduh gimana dong?, mana pembimbing gue serem lagi." Keluh Corina seraya melihat peta kantor dan mencari dimana tempatnya bekerja.

Angga dengan sok pahlawan menghalangi jalan Corina. "Gini ya Corina sayang gue kasih tau lo."

"Gak usah pake sayang deh." Corina melotot tajam pada Angga. Sementara Angga yang punya sifat selengean dan tengil hanya tersenyum lebar bak iklan pasta gigi.

"Galak banget.".... "Gini Na, jadi dari yang gue denger nih tentang pembimbing lo yang namanya Pak Raffa itu. Katanya dia pembimbing yang paling galak diantara semua pembimbing, paling perfectsionis dan super disiplin. Lo harus hati-hati sama dia. Nah selain itu dia juga gitu-gitu playboy Na. Jangan sampai deh lo terbuai, berabe nantinya kalau lo patah hati." Ucap Angga dengan bangga karena mengetahui semua pengawas yang bertanggung jawab atas mereka bertiga. Maklum Angga banyak bertanya sana-sini setelah mengetahui nama-nama pembimbingnya. Dia juga banyak kenalan dimana-mana.

Corina yang mendengar informasi dari Angga cukup terkejut. Pasalnya, Corina memiliki kebiasaan dan sifat yang berbanding terbalik dengan pembimbing yang bernama Raffa itu. "Kalau masalah dia playboy sih gue gak takut. Gue kan bukan cewek gampangan. Gue juga gak minat sama buaya darat. Yang gue takutin itu galaknya. Lo kan tau gue ini lelet sama cerobohnya kayak apa?." Tasya dan Angga langsung mengangguk menyetujui.

Dih aku gak akan pernah suka kali sama mas-mas type kaya gitu, ngapain mesti hati-hati segala?. Angga juga yang ganteng sama playboy gitu gue gak pernah tertarik sedikitpun, batin Corina.

"Aneh ya biasanya kan yang dingin, perfectsionis sama disiplin itu bukan cowok playboy." Tasya bersuara yang diiyakan Corina dalam hatinya.

Memang jarang sih cowo yang pendiem, nyebelin gitu playboy. Tapi emang ada ya cewek yang mau sama cowok kayak gitu?. Ganteng sih, tapi kalau kelakuan minus apa gunanya.

"Sok tau banget. Emang pernah pacaran sama cowok kaya gitu Sya?." Tanya Angga sambil menyenggol bahu Tasya. Tasya yang memiliki wajah polos dan lugu itu hanya tersenyum sambil menggeleng.

"Enggak pernah, tau dari novel aja."

"Ehem..." Deheman suara berat yang menyeramkan mendadak menggema di gendang telinga Corina dan dengan takut-takut Corina berbalik.

Mampus Hitler ada disini

"Kalian disini buat magang kan?. Kenapa malah ngobrol?. Kamu yang saltum ke ruangan saya." Titah pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka bertiga.

"Saltum?." Ulang Corina dan Tasya.

"Iya, kamu yang pake dress putih Avenue ....." Raffa memperhatikan Corina dari atas ke bawah. "Hak tinggi 10 cm dan tas putih Gucci. Sekarang ke ruangan saya," sambung Raffa kemudian pergi dengan angkuh meninggalkan Angga, Tasya dan Corina yang diam membatu.

Gila ini mas-mas bener-bener playboy kalau bukan mana mungkin coba dia hapal sedetail itu tentang fashion perempuan. Pasti dia udah berapa kali belanjain cewek.

"Mas ganteng itu punya sampingan butik kali ya?, sampai tau detail gitu merk baju sama tas Corina." Suara Tasya membuat Corina semakin menghela nafas dan akhirnya meninggalkan kedua temennya untuk mengikuti Raffa.

**

Ketika sudah sampai di depan ruangan Raffa, Corina mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskan nafasnya perlahan. Corina bersiap untuk berhubungan kerja dengan Raffa untuk empat bulan kedepan.

"Masuk," suara yang terasa horror bagi Corina seketika membuat bulu kuduknya berdiri. "Kamu sampai kapan mau diam dipintu dan terus lihatin meja saya aja?." Lanjut Raffa. Mata Corina melotot karena mendegarnya. Akhirnya karena tidak punya pilihan Corina memberanikan diri untuk masuk ke ruangan Raffa dan melihat Raffa yang tampak tidak berekspresi juga dingin. Tapi di sisi lain Corina mengakui juga kalau setelah dilihat-lihat Raffa atasannya ini punya aura memikat dengan wajahnya yang ganteng itu.

Gila ini Hitler ternyata bener playboy, gue percaya sama loe Ga. Corina yang hobi menyerocos pada dirinya sendiri kembali bersuara dalam hati.

"Kalau saya Hitler, lalu kamu siapa?. Eva Braun?." Dan rasanya Corina ingin mengubur dirinya sekarang dalam-dalam agar pria dihadapannya ini tidak dapat melihatnya lagi.

Mendadak Corina merasa aneh, setelah di pikir-pikir lagi kenapa daritadi pembimbingnya ini seperti dapat membaca pikirannya.

"Ehmm, siapa yang bilang kalau Bapak Hitler?. Saya daritadi diem, enggak bilang apa-apa." Tanya balik Corina setenang mungkin. Bahkan Corina memasang wajah sok polos dan tidak merasa bersalah. Padahal jantunnya sudah berdegup sangat kencang karena takut.

"Sudahlah, kita bahas yang penting saja." Corina menghela nafasnya panjang dan berbicara dengan batinnya sendiri, tadi siapa yang membicarakan hal itu?, lalu tiba-tiba siapa juga yang merasa obrolan itu tidak penting?. Ingin sekali rasanya Corina menggorok leher manusia yang ada di depannya ini.

"Maju kamu," titah Raffa. Corina was-was, dia maju satu langkah dengan ragu lalu Raffa menyuruhnya maju satu langkah lagi dan akhirnya Corina ada di depan meja Raffa. "Kamu tau kalau kamu salah kostum?."

"Tau, maaf salah pak."

"Baik karena ini hari pertama kamu maka saya beri keringanan. Kamu tidak perlu berganti baju karena masih terbilang sopan, tapi saya minta kamu ganti sepatu hak tinggi 10 cm yang kamu pakai sekarang dengan sepatu hak tinggi 5 cm. Seakarang juga. Silahkan keluar."

Perintah Raffa membuat Corina terkejut. Dia takut salah mendengar. "Apa pak?."

Mata Raffa yang sudah melihat dokumen menjadi melihat Corina lagi dengan tajam. "Kurang jelas atau kurang berat hukuman dari saya?."

"Kurang ringan." Jawab Corina pelan.

"Apa kamu bilang?." Tanya Corina dengan mata yang lebih melotot.

Buru-buru Corina menggeleng karena takut. "Engga jadi pak. Oke saya akan ganti sekarang. Permisi."

Corina segera berbalik menuju pintu keluar ruangan Raffa, namun tepat saat Corina akan membuka pintu suara Raffa terdengar kembali. "Kamu keluar begitu saja tanpa memperkenalkan diri?. Kamu tau siapa nama yang akan jadi pembimbing kamu beberapa bulan ini?." Kalimat yang keluar dari mulut Raffa membuat Corina membatu. Corina benar-benar tidak ingat tadi Angga menyebutkan siapa nama pembimbingnya ini. Yang Corina ingat hanya kalau pembimbingnya playboy dan galak.

Beda halnya dengan Raffa, dia kesal minta ampun pada perempuan yang ada dihadapannya sekarang ini. Memang cantik, namun membuat emosinya naik turun karena mengatainya Hitler. Jangan heran, Raffa memang mempunyai kemampuan dapat membaca isi pikiran seseorang jadi dia akan selalu tau apa yang dipikirkan oleh orang yang ada dihadapannya.

"Perkenalkan Pak nama saya Corina Adelia Sastra." Kata Corina mengulurkan tangannya, namun tangannya hanya disambut oleh angin. Sementara Raffa menampilkan senyum jahatnya membuat Corina mengumpat lagi dalam hatinya

Dasar kurang asem, kurang pedes, kurang buah

"Ini masih pagi dan dipikiran kamu sekarang rujak?." Corina melongo untuk kesekian kalinya. Mencoba mencerna kenapa laki-laki dihadapannya ini aneh sekali.

Jangan-jangan dia alien

"Raffa Adijaya dan saya bukan alien. Silahkan keluar, saya sibuk."

Corina yang sudah pusing langsung berbalik dan mengatur nafasnya. Dia mencoba meredakan kekesalannya yang sudah berada di ubun-ubun dan sepertinya sebentar lagi akan meledak

**

Keluar dari ruangan Raffa, Corina berjalan sembari menghentakkan kakinya dengan kesal. Selain karena kejudesan Raffa, dia juga merasa sebal karena harus mengganti sepatu hak tingginya. Corina pikir apa tidak bisa hari ini saja Raffa, pembimbingnya itu memberikan keringanan dengan membiarkan ia memakai sepatunya yang sekarang?. Kan ribet menurutnya.

"Corina, kenapa sih?," tanya temannya yang tiba-tiba sudah ada disampingnya. Corina semakin memajukan bibirnya. Bagaimana tidak?, dia sudah pusing karena Raffa, sekarang teman yang bertanya padanya ini adalah orang yang suka kelewat "susah mencerna" omongan lawan bicaranya dan dia saat ini sedang tidak mood untuk membuat emosinya naik level lagi.

"Tasya, dengerin gue ya. Gue lagi kesel, jadi jangan ajak ngobrol gue dulu." Corina hanya menoleh sesaat pada Tasya dan kembali fokus ke jalan yang ada didepannya.

"Ya gue juga tau loe lagi kesel Corina. Makanya kan gue nanya kenapa?." Tanya Tasya dengan polos membuat Corina kesal dan menghembuskan nafasnya kasar.

Corina sendiri sangat heran kenapa temannya yang satu ini selalu telat jika mencerna obrolan lawan bicaranya, tapi kalau untuk masalah akademik dia ke bilang genius. Corina pikir, mungkin keanehan Tasya ini adalah salah satu keajaiban dunia. Bisa jadi keajaiban dunia yang kedelapan.

"Pokoknya gue lagi kesel karena pembimbing gue. Udah ah, gue duluan ya. Bye beib." Corina lebih baik menghindari satu mahluk seperti Tasya untuk sekarang daripada nanti dia mencakar tembok karena saking frustasi dan kesalnya.

Ketika sampai kantin, suara Raffa terdengar kembali olehnya. Spontan, Corina langsung diam seperti patung. "Seingat saya, saya menyuruh kamu itu untuk pulang dan mengganti sepatu. Kenapa kamu malah pergi ke kantin?. Apa perintah saya kurang jelas?."

Mendengar sindiran Raffa, Corina terus menyerocos dalam hatinya karena sebal. Kalau bukan karena sedang magang di kantor ini dan orang itu adalah pembimbingnya Corina sangat ingin mencincang dan memasukannya ke dalam mesin penggiling baso. Baso itu jauh lebih enak daripada pembimbing dihadapannya ini.

Corin mencoba menggunakan otaknya untuk menjawab sindiran Raffa. "Ehm.... Pak Rafa, saya kesini mau menelepon orang rumah biar dibawakan sepatunya." Kilah Corina pura-pura mengeluarkan ponselnya. Raffa dengan sepasang mata elangnya mengintai dari samping.

Shit, ini piranha gak ada kerjaan apa?. Ngeliatin gue terus.

Batin Corina terus saja berbicara karena dia tidak bisa bicara ketika berhadapan dengan Raffa. Corina menjadi seperti orang sariawan padahal aslinya dia selalu berbicara seperti truk gandeng.

"Apakah dengan memandangi ponsel itu saja bisa langsung terhubung ke telepon rumah kamu?. Kalau memang iya ponsel kamu bisa begitu kasih tau saya dimana kamu membelinya karena saya sangat tertarik." ... "Oh ya satu lagi, sekarang saya piranha?. Bukannya tadi kamu bilang saya mirip Hitler ya?. Jadi saya ini piranha atau Hitler?." Sindir Rafa pada Corina yang langsung pucat pasi.

"Ehm...., maaf pak saya cuman lagi berpikir. Saya harus hubungin siapa. Saya gak julukin bapak piranha atau Hitler kok. Kapan saya ngomong begitu?." Bohong Corina dengan tangannya yang sudah berkeringat. Dia sangat takut dan gugup.

"Kamu jangan membohongi saya. Saya tau kalau kamu sekarang ini sedang bicara dalam hati untuk mengumpati saya." Corina benar-benar menegang dengan kalimat Raffa. Di penglihatan Corina sekarang Raffa menjadi terlihat seperti pesulap yang bisa tiba-tiba datang dan beberapa kali membaca pikirannya. Corina merasa benar-benar harus waspada.

"Saya kasih kamu waktu.... " Raffa melihat jam di tangannya dan Corina mulai waswas dengan waktu yang akan diberikan oleh pembimbingnya itu. "Sepuluh menit saya kira cukup untuk kamu mengganti sepatu." Dan kini wajah Corina seperti kehilangan darah. Dia melongo melihat pembimbingnya. "Pak Raffa, apa itu gak terlalu sebentar?. Ini kan Jakarta. Rumah saya juga...."

"Oke waktu kamu dimulai dari sekarang..." Raffa tidak menghiraukannya. Dia malah berbalik dengan wajah kejamnya dan mulai melangkah tegap penuh wibawa. Corina yang ada di belakangnya mengikuti dengan susah payah.

"Pak Raffa tolong perbolehkan saya memakai sepatu ini satu hari saja. Saya janji...."

"45 detik waktu kamu sudah berjalan." Potong Raffa yang membuat Corina semakin sebal dan harus terus menahan emosinya.

"Pak Raffa...."

"Lihat, itulah alasannya saya minta kamu ganti sepatu. Masalahnya kamu jadi lelet." Corina langsung menghentikan langkahnya dan melongo lagi untuk kedua kalinya. Dia merasa aneh, dia disini akan magang menjadi asisten staf keuangan bukan menjadi atlet lari atau pramusaji yang harus cepat kesana kemari membawakan pesanan. Jadi apa hubungannya dengan dia tidak dapat cepat kesana kemari?.

Bukannya staf keuangan cuma bakalan duduk di kursi aja?. Menghitung dan sesekali keluar jika ada perlu?. Corina menarik nafasnya panjang. Cobaannya hari ini terasa sangat berat baginya.

Tenang Corina tenang, Corina terus menyemangati dirinya sendiri.

"Sembilan menit lagi saya tunggu kamu di ruangan lengkap dengan sepatu yang sudah kamu ganti." Perintah Raffa tidak ada koma langsung titik. Corina spontan menghentak-hentakkan kakinya. "Kamu disini memang bukan akan menjadi atlet lari atau pramusaji, tapi kamu disini juga tidak akan menjadi model. Jadi berdandalah sepantasnya." Lanjut Raffa kemudian benar-benar pergi meninggalkan Corina.

**