Bab 3: Mimpi Buruk dari Nikmat
Sepekan berlalu setelah peristiwa Salma dan Zahari serta Salma ditolong oleh Hikayat. Satu kali dia bolos dari kelas Zahari yang ada di hari setelah Hikayat menolongnya. Salma bahkan tidak ke kampus untuk bimbingan setelah bimbingan terakhir dengan Prof Zach, padahal seharusnya setidaknya dia menemui Bu Mary. Salma takut bertemu Zahari.
“Hoeeek!”
Salma sudah kehilangan hitungan berapa kali dia muntah pagi ini. Biasanya, dia tidak pernah sampai seperti ini kalau merasa mual. Bahkan, sate yang dimakan oleh wanita itu sepertinya sudah semua dia muntahkan.
“Kenapa perutku nggak enak banget sih?” keluh Salma setelah rasa mual itu berkurang. Apakah sate yang dia makan sudah kadaluarsa? Salma yakin sate yang dia makan aman karena itu sate langganannya.
“Hoeeek!”
Salma benar-benar merasa lemas sekarang. Prof Zach bilang bahwa dia akan mengadakan bimbingan hari ini. Salma harus datang.
“Aku alergi bimbingan kah? Sakit mulu menjelang bimbingan,” keluh Salma.
“Hoeeek!”
Rasanya lemas. Salma mengembuskan napas berat. Bagaimana dia bisa bimbingan sekarang?
“Aku rasa aku harus-” Salma terdiam. Dia menyadari sesuatu. Perlahan, wanita itu menghimpun tenaga untuk berjalan mengambil ponselnya.
“Aku haid seharusnya sekitar pekan ini kan?” gumam Salma melihat tanggal. Salma teringat pergumulannya dengan Zahari. Dia memiliki firasat tidak nyaman.
“Apa mungkin ... aku hamil?” celetuk Salma. Dengan cepat Salma menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ‘kan hanya dari satu hari permainan mereka sudah terjadi pembuahan?
“Tenang Salma, tenang. Kamu overthinking,” ucap Salma mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia belum telat haid. Mual ini kebetulan. Hanya kebetulan saja dia mual.
Salma mengembuskan napas berat. Pikiran wanita itu terus berkecamuk dengan kemungkinan dirinya hamil. Dia belum siap. Dia tidak siap. Jangankan untuk anaknya, untuk dirinya sendiri saja dia sudah kesulitan sampai menekan biaya seminimal mungkin.
“Apa aku harus buang biaya untuk menenangkan diriku saja?” gumam Salma mempertimbangkan untuk memberi test-pack. Salma mempertimbangkan apakah oke mengorbankan tabungannya yang kritis untuk menenangkan dirinya dari prasangka yang berkecamuk dari pikirannya.
Setelah pergelutan panjang di benaknya, Salma memutuskan dia akan mengecek. Untungnya, di apartemen dia tinggal ada apotek. Meskipun harganya lumayan, Salma perlu ketenangan yang pasti bahwa tidak terjadi apapun dari tindakannya sepekan silam.
Keputusan Salma sangat salah.
“Aku hamil.” Hanya dua kata itu keluar dari mulut Salma. Dia tidak siap. Dia tidak menduga kekhawatirannya berubah menjadi nyata.
“Ini salah ‘kan?” gumam Salma pelan. Dia mencoba dua kali, dan hasilnya sama.
“Aku hamil. Aku benar-benar hamil.” Salma terhenyak. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Kegilaannya demi bisa memastikan mata kuliah yang dia mengulang berkali-kali berakhir dengan kondisi ini.
Rasanya, Salma ingin membuang segera apa yang ada di dalam rahimnya. Hanya saja, kala pikiran itu muncul di benaknya, dia terbayang seandainya dirinya diperlakukan demikian sewaktu lahir dulu. Dia tidak mampu.
“Bagaimana aku menghadapi Mas Zahari?” ucap Salma bingung. Dia tidak memperhitungkan sejauh ini.
“Salma bodoh! Sekarang lihat apa yang kamu hasilkan!” maki Salma seraya memukul kepalanya sendiri. Wanita itu merasa kehidupannya hancur. Baru sekali dia melakukan itu akibat nekat, sekarang dia hamil.
“Tenang Salma,” ucap Salma kepada dirinya sendiri. Dia harus bisa menenangkan diri.
“Aku tidur dulu dan coba lagi setelah itu,” ucap Salma pada akhirnya. Wanita itu bergegas tidur setelahnya.
***
“Aku benar-benar hamil,” balas Salma dengan nada pasrah kala dia mengecek pasca tidur. Dia tidak bermimpi ataupun berhalusinasi. Dia benar-benar hamil. Benih Zahari ada di dalam rahimnya.
“Aku harus menyembunyikan ini dari semuanya, termasuk keluargaku sendiri,” gumam Salma kepada dirinya sendiri. Ayah dan ibunya mungkin sudah memandang dia sebelah mata karena telat lulus, tetapi dia tidak ingin berakhir dicoret dari kartu keluarga.
“Aku tetap harus ke kampus dan merahasiakan semuanya. Mungkin juga ... berharap Mas Zahari mau menerima anak ini,” ucap Salma pada akhirnya. Wanita itu harus tetap menyelesaikan pendidikannya. Dia harus selesai semester ini, sehingga setidaknya dia tidak akan overtime dan mengalami dropout.
***
“Sudah sehat, Mba Salma?” tanya Hikayat saat wanita itu tiba di kampus keesokan harinya. Salma menganggukkan kepalanya. Hikayat terlihat peduli, atau mungkin dia yang tidak terlalu memperhatikan adik tingkatnya.
“Sudah sehat, Hikayat. Aku mau bimbingan ke Bu Mary dulu,” ucap Salma. Wanita itu memutuskan dia harus menghadapi Zahari jika bertemu, apapun yang terjadi. Dia tidak tahu apakah dia bisa mengatakan bahwa dia membawa benih pria itu di hadapannya, tetapi dia harus mencoba.
“Ah, Bu Mary hari ini katanya nggak masuk. Ada urusan keluar kota,” komentar Hikayat memberitahu Salma, “Saya seharusnya bertemu beliau terkait penelitian dosen tadi pagi jadi tahu.”
“Ah begitu ya,” desah Salma kecewa. Hikayat menganggukkan kepalanya.
“Beliau bilang mendadak sih,” komentar Hikayat lagi. Salma hanya mengembuskan napas berat.
“Makasih Hikayat infonya,” ucap Salma pada akhirnya. Hikayat menganggukkan kepala dan berlalu. Salma memutuskan untuk mengecek sekretariat untuk mendapatkan informasi sidang progress.
***
“Untuk sidang progress kapan ya?” tanya Salma kepada staf jurusan yang sedang sibuk mengetik.
“Dua pekan lagi, Mba Salma,” jawabnya, “pengumpulan berkas untuk sidang maksimal Kamis pekan depan.”
Salma mengembuskan napas lega. Dia setidaknya masih memiliki satu pekan menghadapi Bu Mary. Dia perlu memberitahu dosen pembimbing keduanya terkait perubahan yang disetujui Prof Zach.
“Salma?” Suara yang Salma belum sepenuhnya siap masuk ke telinganya. Dia melihat ke arah sumber suara dan melihat Zahari di sana.
“Iya, Pak?” tanya Salma kepada Zahari. Hampir saja Salma kecolongan memanggil ‘Mas’ seperti waktu pergumulan mereka. Sangat berbahaya jika dia kecolongan.
“Kamu absen pekan lalu. Ada apa?” tanya Zahari datar. Salma ingin memutar bola matanya malas. Kehormatannya masih sakit di hari kedua setelah pergumulan itu.
“Saya tidak enak badan,” jawab Salma dengan jujur. Zahari menaikkan sebelah alisnya sebelum menyadari maksud kalimat Salma. Hanya saja, kalimat itu membuat Zahari merasakan sesuatu yang janggal. Hanya saja, pria itu berpikir bagaimana menyuarakan kejanggalan itu.
“Saya dengan dari Prof Zach bahwa Anda hadir hari sebelumnya untuk konsul?” tanya Zahari lagi. Salma menganggukkan kepalanya.
“Benar Pak. Saya konsul hari itu karena saya masih cukup fit,” jawab Salma dengan jujur.
“Saya ingin bicara denganmu sekarang di ruangan saya,” titah Zahari. Salma terkejut mendengarnya, tetapi memutuskan untuk mengikuti permintaan Zahari. Wanita itu belum siap untuk mengatakan bahwa rahimnya mengandung benih Zahari.
“Ah, foto itu tidak ada terakhir saya di sini,” komentar Salma melihat sebuah foto Zahari dengan seorang wanita asing kala mereka sudah menutup ruangan Zahari. Wanita itu tampaknya sekitar usia Salma.
“Foto tunangan saya,” jawab Zahari datar. Kalimat itu membuat dunia Salma rasanya mau runtuh. Zahari sudah bertunangan, sementara rahim Salma mengandung benih dosennya itu. Salma berusaha tidak menunjukkan emosinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Salma langsung ke poin pembicaraan. Zahari mengembuskan napasnya. Pria itu lalu mengamati foto tunangannya lalu menatap ke arah Salma.
“Yang dibawa Hikayat hari itu adalah kamu ‘kan?” tanya Zahari langsung ke poin. Salma menaikkan alisnya seraya memiringkan kepalanya ke kiri.
“Maksud bapak?” tanya Salma setelah menetralkan ekspresinya.
“Kenapa kamu nggak minta bantuan saya? Toh kamu jadi sulit bergerak karena saya,” tanya Zahari balik. Salma diam sejenak, bingung ingin mengatakan apa.
“Saya masih mencerna tindakan saya sendiri,” ucap Salma pada akhirnya. Zahari menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Salma.
“Lah, kan kamu yang goda saya,” komentar Zahari kepada Salma, “Kok malah kamu mencerna ulang dan kabur?” tanya Zahari. Salma jujur bingung ingin berkata apa. Dia merasa Zahari seakan menyudutkannya di sini.
“Terlepas dari itu, kita punya kesepakatan. Saya akui kamu untuk seorang perawan bermain bagus. Milikmu juga enak. Hanya saja, kamu tahu saya sudah punya tunangan, jadi cukup sekali itu saja,” ucap Zahari kepada Salma. Salma hanya menganggukkan kepalanya.
“Nilai A,” komentar Salma mengingatkan dosennya. Zahari hanya menganggukkan kepalanya.
“Nilai A. UAS saya adalah presentasi di ruangan saya. Kamu tidak perlu ikut presentasi itu. Cukup kumpulkan saja pekerjaanmu semester kemarin. Soal absen, kamu tahu saya tidak peduli mahasiswa absen banyak asal mengumpul semua tugas,” komentar Zahari lagi. Salma menganggukkan kepalanya.
“Apa ada yang ingin ditanyakan? Kalau tidak ada saya ada kelas setelah ini,” tanya Zahari kepada Salma. Salma sebenarnya ingin menanyakan terkait kehamilannya dan apakah Zahari mau menerima anak dari rahimnya. Hanya saja, pertanyaan itu tercekat di tenggorokan Salma.
“Tidak ada, Pak Zahari,” ucap Salma pada akhirnya. Salma hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Wanita itu pun pamit keluar dari ruangan Zahari.
