Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Rumah Baru

Bab 15 Rumah Baru

“Sarapan, Sayang!” seru Xin bersemangat kepada Sky yang melompat riang begitu melihat asap tipis mengepul dari masakan di tangan Xin.

“Yey! Uncle jago jadi Chef!" puji Sky tulus diiringi cengiran lebar di wajah Xin. Apalagi ketika bocah manis itu menoleh pada Jani yang duduk di ruang tamu. “Mama pasti tidak bisa membuat yang seperti ini,” bisiknya pada Xin. Bisikan yang mengandung racun sangat banyak.

“Siapa dulu,” Xin menepuk dada dengan gaya angkuh khasnya.

Dari kejauhan, Jani yang memperhatikan tingkah keduanya hanya tertawa sembari menggeleng pelan. Berjalan dengan langkah penuh kehati-hatian, ibu hamil itu duduk bergabung bersama mereka. Xin tersenyum ketika Jani sampai di meja makan, sigap ia menarik kursi untuk Jani duduk dengan nyaman.

“Terima kasih, Xin,” gumam Jani setelah ia duduk, lalu menatap ke arah Sky yang sibuk dengan piring. “Jadi, sarapan kita pagi ini apa?” ia bertanya, lebih kepada Sky. Bocah itu berpaling sigap pada ibunya.

“Nasi goreng, Uncle Xin yang masak. Enaak,” ia mengacungkan dua jempol mungilnya untuk memuji Xin. Sky turun dari kursinya, mengambil piring. “Sky ambilkan untuk Mama ya,” ujarnya antusias.

Xin mengambil alih piring di tangan Sky karena khawatir benda itu jatuh dan menimpa kakinya. Jani tersenyum geli ketika ia melempar protes besar pada Xin saat piring di tangannya berpindah.

“Sky sayang, Uncle saja yang mengambilkan Mama. Piringnya berat, nanti bisa mengenai kakimu, Nak. Makanlah yang banyak setelah itu kita belajar,” sahut Jani penuh kasih sayang. Seketika Sky menekuk wajahnya, mengerling Xin dengan tidak suka seolah ia berusaha mencari penyelamat agar terhindar dari kata belajar.

Tetapi Xin bersikap seolah ia tidak mendengar kalimat Jani. "Belajar?" ulang Sky setelah ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan pembelaan dari Xin.

“Iya, Sayang,” jawab Jani tersenyum.

“Sebentar lagi Jagoan ini masuk sekolah, kan?” timpal Xin mengingatkan. Ia mengangkat Sky kembali ke kursinya setelah meletakkan sarapan untuk Jani.

“Sekolah? Yeay!” seru Sky antusias.

“Iya, karena itu mulai sekarang Sky harus rajin belajar,” anjur Jani penuh cinta.

Sky mengangguk kuat-kuat, seraya menatap Jani dengan antusias. “Mama, kalau sudah sekolah, berarti Sky sudah besarkan?” tanyanya. Jani mengangguk dengan pandangan heran.

“Lalu kapan Adik datang? Kata Papa, Adik akan datang dari perut Mama kalau Sky sudah besar. Sekarang Sky sudah besar kan?” cerocos bocah imut itu dengan sangat mengemaskan.

Tawa Xin meledak mendengar pertanyaan itu. “Tidak sabar ya,” kekehnya pada Sky yang mengangguk.

“Sky nanti mau ajak Adik main bola,” ungkapnya menikmati sarapannya.

“Tapi, Sky harus sayang sama Adik ya,’ ujar Jani mengingatkan.

“Sky pasti sayang Adik, Mama,” sahut Sky dengan wajah super yakin.

Senyum Jani dan Xin tersusun rapih, seolah baru saja mendaptkan jutaan bunga bahagia. Tentu saja, siapa yang tidak bahagia, saat anak mereka melakukan kebaikan. Sky yang pandai, seolah mampu memalingkan perhatian keduanya dari sarapan.

“Mama dan Uncle tidak makan?” tanya Sky, dua orang di depannya serentak menatap piring mereka dan sama-sama tertawa.

“Kau mengalihkan kami, Sayang,” ujar Xin.

Suasana hening saat mereka menikmti sarapan, membuat suara bel dari luar terdengar lebih kencang dari yang seharusnya. Xin meneguk minumannya dan bangkit. “Siapa pagi-pagi bertamu?” pikirnya seraya berjalan keluar.

Jani menatap punggung lebar sahabatnya itu menjauh, “Mungkin hanya tetangga, Xin,” tebaknya. “Mungkin mereka ingin menyapa.”

Xin menoleh dan tersenyum kecil. ‘Dia akhir-akhir ini banyak tersenyum,’ pikir Jani. Xin yang ia kenal sangat irit dengan senyum dan kata-kata. Dalam hati, Jani bersyukur Xin ada di sisinya dalam keadaan sekarang. Ia tahu, Xin banyak mengorbankan penting untuk tetap berada di sampingnya.

Suara yang cukup familiar terdengar riang dari ruang tamu, Jani melanjutkan makan dengan tenang. Ia sudah bisa menebak siapa yang datang dan merasa tidak harus peduli. Dalam hati hanya berharap tamu mereka pagi ini tidak membuat kesal Xin.

“Hai, Jagoan!” Harry muncul di ujung ruangan, tersenyum selebar tampah pada Sky yang menoleh riang.

Sejak kecil, Sky sangat dekat dengan Harry tetapi tinggal di Crimea selama beberapa tahun membuat kedekatan mereka renggang. Sky kecil hampir melupakan Un Un (panggilan khas Sky untuk Harry dulu) kesayangannya. Tersenyum ia terlihat sedikit heran dengan pria jangkung di hadapannya. Tetapi karena wajahnya yang mirip dengan orang yang ia ingat sebagai Papa Segara, tidak sulit bagi Sky untuk mengenalinya.

Dan lagi seminggu yang lalu ia melihat Harry di rumah neneknya, Asyriah. “Oh, Om Harry?” tebak Sky mengingat.

Tetapi wajah Harry terlihat sedikit kecewa, ia senang karena ternyata Sky bisa mengenalinya. “Kau melupakan panggilan kesayanganmu untuk Paman kesayanganmu ini?” tanya Harry seraya menggusal lembut rambut Sky. “Tapi terima kasih masih mengingatku, Sayang.”

Sky tersenyum dan mengangguk, ia menatap Harry dan kemudian berpindah menatap Xin. Sedikit heran melihat wajah pria itu ditekuk tujuh. “Om ikut sarapan,” ujar Sky, menawarkan piring pada Harry. Pria itu menatapnya dengan memuja. “Ah, kau makin manis saja,” pujinya.

Harry mulai asyik dengan Sky, tidak menyadari tatapan tajam Jani yang seperti X-ray seolah bisa menembus hingga ke jantungnya. Tetapi Harry bukan tidak menyadarinya, tatapan itu benar-benar menembus hingga ke jantungnya, membuat debaran yang selalu sama di sana. ‘Setelah sekian tahun ternyata aku masih mencintainya,’ keluh Harry dalam hati.

Ia sengaja berpura-pura tidak melihat tatapan Jani atau Xin. Pria itu berdiri di ambang pintu ruang makan dan menatap Harry kesal. Tangannya terlipat di depan dada, Xin bersandar angku di bingkai pintu. Tersentak ketika matanya menemukan mata Jani yang bertanya.

“Kau membiarkan dia masuk?” tanya Jani, beku. Suaranya tidak terlalu keras karena memang hanya dimaksudkan untuk Xin. Tetapi Harry yang duduk di meja makan tentu saja mendengarnya.

“Kau pikir dia bisa ditahan dengan apa? Dia sudah terbiasa menyusup ke mana saja,” sahut Xin sebal. Harry yang mendengar kalimat itu hanya tertawa kecil dan memilih berbincang riang dengan Sky.

“Sky, selesaikan sarapanmu Sayang. Kita harus belajar kan? Bahasa Indonesia-mu kurang fasih,” cetus Jani.

Tapi itu tidak bisa membuat Sky menjauh dari Harry. Tidak sulit bagi Harry untuk menjalin kedekatan lagi dengan Sky karena pada dasarnya anak itu memang sangat dekat dengannya. Apalagi dengan nama Segara Biru yang masih disandang Sky, baik Jani maupun Xin tidak bisa mengingkari secara hukum, Harry masih keluarga terdekat Sky.

Angin sengaja tidak mengubah status Sky secara hukum karena tidak ingin menghapus Segara dari kehidupan Jani dan Sky. Bagaimanapun Segara adalah awal dari kehidupan Sky.

Jani bangkit dan berjalan menuju halaman belakang. Sky menoleh pada ibunya dan mengangguk kuat. “Sky akan belajar, Mama,” ujarnya. Lalu menoleh pada Harry.

“Om, bisa mengerti bahasa Indonesia Sky?” tanyanya khawatir, tawa Harry meledak. Dengan gemas ia mengacak rambut tebal Sky.

“Tentu saja,” jawab Harry.

“Tapi Mama bilang Sky harus belajar lagi,” bocah itu memasang wajah super cemberut.

“Kalau begitu, kita akan belajar bersama,” sahut Harry, membuat wajah Sky berbinar seketika.

“Sungguh?”

“Tentu saja. Sekarang habiskan makananmu, Om akan menyusul Mama,” ujar Harry.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel