Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Pindah Rumah

Bab 14 Pindah Rumah

Xin berusaha meyakinkan Laila bahwa kepergian Angin ataupun keadaan Hujan bukanlah karena kesalahan Laila.

“Mom, saat aku merawatnya selama enam bulan di Korea. Saat kami hanya berdua, Angin selalu mengatakan padaku bahwa ia sangat ingin pulang bersama kalian. Dia ingin melihat kampung halaman ibunya yang tak pernah mereka jejak. Apapun yang ia lakukan, semua karena dia sangat mencintai Mom. Mungkin pada akhirnya dia tidak bisa mengalah pada cintanya untuk Jani. Tetapi, dua tahun terakhir adalah masa yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Mom tidak perlu merasa bersalah atas kepergian Angin ataupun keadaan Hujan sekarang,” pungkas Xin, Laila membiarkannya memeluk bahunya erat.

Wanita itu memejamkan mata, membiarkan beberapa butir air mata mengalir ke pipinya yang halus dan mulai keriput. “Mommy sudah mencoba, Xin. Tapi setiap melihat Hujan yang terpuruk, rasanya Mommy kembali mengingat, bagaimana dulu Mommy-lah yang menentang hubungan mereka,’ ujar Laila tak mampu menahan tangisnya.

“Mommy tahu, Angin sangat mencintai Jani. Dia hanya berusaha menahannya karena keinginan Mommy. Kalau saja dulu Mommy bisa menahan keinginan untuk pulang, pasti mereka akan baik-baik saja sampai sekarang,” bahu Laila terguncang karena tangisnya. Xin mengeratkan pelukan di bahunya.

“Mom, Hujan dan Naina butuh Mommy. Lupakan semua tentang apa yang terjadi di masa lalu. Sebentar lagi Mom akan jadi nenek, mereka pasti akan membutuhkan nenek yang ceria nanti,” ujar Xin sedikit tertawa.

Laila ikut tertawa kecil seraya mengusap air matanya. “Ah, kamu hanya mengingatkan Mommy kalau Mommy sudah makin tua,” sungutnya. Ia memandang ke sekeliling kamar.

“Kau belum selesai bersiap? Mommy bantu ya,” ujarnya seraya bangkit. Xin hanya mengangguk.

“Tidak banyak Mom,” ujarnya ketika Laila melongok ke dalam lemari. “Jagalah Jani dengan baik. Mommy tahu, hanya kamu yang ia percaya sekarang,” ujarnya ketika semua pakaian Xin sudah terlipat rapi dalam koper. “Lagipula kenapa tidak menggunakan rumah keluargamu?”

Rumah keluarga angkat Xin sudah lama kosong, karena kedua orang tuanya sudah meninggal saat Xin masih menempuh pendidikannya. Pria itu menggeleng. “Di sana tidak nyaman Mom, Jani tidak akan menyukainya. Lagipula, jaraknya cukup jauh dengan sekolah Sky,” elak Xin. Ia tidak ingin Laila tahu bahwa rumah itu sudah disulap Xin menjadi markas rahasianya sebagai hacker.

Mereka turun ke ruang tamu, di mana semua orang sudah menunggu. Carl menatap istrinya yang turun dengan menggandeng lengan Xin. ‘Pasti merindukan Angin lagi,’ batinnya pedih. Sejak kepergian Angin beberapa tahun terakhir, Laila menjadi jauh lebih dekat dengan Xin dan Dave. Ia sering membicarakan mereka, semata hanya untuk mengobati kerinduannya pada Angin.

“Sudah siap?” Xin mengajukan pertanyaan itu khusus pada Jani. Wanita itu mengangguk dan menoleh pada ibunya.

Asyriah memeluk anaknya dengan air mata berderai. Mereka sudah tidak bertemu selama dua tahun dan sekarang baru beberapa hari, Jani sudah harus meninggalkannya kembali. Jika bukan karena kondisi psikologis Jani yang tidak stabil, Asyriah tidak akan melepasnya.

“Ibu akan sering datang,” ujarnya ketika merasakan genggaman Jani sangat erat di jari-jarinya. Ia juga memahami, Jani berat untuk pergi.

“Maafkan Jani, Bu,” lirihnya setengah terisak.

“Mommy akan sangat merindukan kamu, Sayang,” Laila memeluknya erat. Mencengkeram punggung Jani agar isaknya tidak membuat air mata Jani turut luruh. “Maafkan Mommy, Nak.”

“Jani yang minta maaf, Mom.” Laila menangkup pipi Jani dalam kedua tangannya. Memberinya banyak ciuman penuh haru di sana. “Sayang, jaga cucu Mommy baik-baik,” pintanya.

Naina melerai mereka sebelum tangis keduanya meledak. “Jani, aku pasti akan sangat merindukanmu.” Air matanya yang sudah berderai sejak Jani turun, Dave yang berdiri di belakang istrinya memeluk bahu Naina.

“Dia tidak pergi sejauh itu,” ujarnya, berusaha membuat suasana sedikit lebih riang. “Dan kita akan mengunjunginya setiap akhir pekan.”

“Jangan mengganggu,” Naina menoleh sewot pada suaminya. Dave menyeringai geli. “Dasar bule nyasar usil,” sungut Naina berlanjut, membuat tawa Jani terlepas.

“Sepertinya aku sudah merusak kebahagiaan kalian,” ujar Jani, tiba-tiba dengan nada sendu.

“Bicara apa!” sentak Naina. “Kau adalah bagian dari kebahagiaan itu,” sergahnya kesal.

Usai sesi berpamitan, Xin menuntun Jani keluar sementara Sky dengan riang melompat masuk ke mobil. “Kita akan kemana?” tanyanya dengan wajah semringah. “Pulang?”

Pertanyaan sederhana Sky membuat perut Jani seperti melilit. Mereka belum memberitahu Sky tentang kematian Angin. Saat menghadiri pemakaman, Sky hanya tahu bahwa itu teman Uncle Xin. Tidak lebih.

“Kita belum bisa pulang,” ujar Jani lembut. Ia masuk ke mobil, duduk di bangku penumpang di bagian depan. Membiarkan Sky menguasai sendiri bangku belakang.

Xin menutup pintu untuknya setelah memastikan Jani memasang sabuk pengamannya. Wanita itu sedikit menahan nafas ketika Xin menunduk untuk membantunya memasang sabuk pengaman. ‘Sejak kapan ia punya bulu mata yang begitu lentik?’ batin Jani saat memperhatikan Xin yang tengah fokus pada sabuknya.

“Ibu titip Hujan ya, Nak. Ibu percaya padamu,” ujar Asyriah saat Xin telah menutup pintu untuk Jani. Matanya terlihat sangat gelisah, Xin memeluknya sebentar.

“Ibu jangan khawatir, saat kembali nanti dia sudah jadi Jani Ibu lagi,” janjinya. ‘Sekalipun mungkin akan sangat sulit bagiku untuk membuatnya seperti itu lagi,’ batin Xin.

“Kalau Ibu ingin datang, kabari Xin. Aku akan menjemput atau meminta seseorang menjemput Ibu,” ujar Xin sebelum masuk ke mobil. Asyriah hanya mengangguk dan melambai ketika kendaraan yang dikemudikan Xin menjauh dari halaman rumahnya.

“Dia akan baik-baik saja,” ujar Laila, memeluk bahu kakaknya yang terguncang oleh isak.

“Kenapa begitu sulit untuknya bahagia Lail?” isak Asyriah. “Apa yang sudah kulakukan sampai anakku begitu menderita?”

Apa yang bisa dijawab Laila? Jika kesedihan Jani sejatinya berasal dari putra Laila? Seluruh duka Jani, berpusat pada Angin. ‘Ah, Angin. Mengapa kau tidak bisa melihat air matanya?’ keluh Laila.

Carl mengajak semua orang kembali ke rumah. “Dave, tinggallah bersama Naina di sini untuk sementara. Ibu kalian butuh teman,” ujarnya begitu mereka masuk. Laila membawa Asyriah kembali ke kamarnya.

Naina hanya mengangguk menyetujui permintaan ayahnya, karena ia tahu Dave punya rencana yang sama.

Sementara itu, di perjalanan Jani menatap Xin yang fokus pada jalan di hadapan mereka. “Bisakah kau jelaskan padaku kenapa kita harus pergi dari rumah Ibu?”

“Yakin kau merasa tenang di sana?” Xin mengembalikan pertanyaannya pada Jani. Jani berpaling ketika mata elang Xin menatapnya seperti X-Ray.

“Ibu akan datang kapan saja kau atau Ibu menginginkan. Aku hanya ingin kau punya suasana baru,” ujar Xin kemudian. Jani mengangguk kecil.

Xin menggenggam jari-jari Jani yang sekarang sedikit lebih gemuk dari biasanya. Tersenyum ketika membawa jari-jari itu mendekati wajahnya. “Hei, kau selama ini ternyata malas berolah raga? Lihat jari-jarimu mulai sedikit membuncit,” ujarnya usil. Jani menarik tangannya dengan bibir meruncing.

“Semua wanita hamil memang begitu. Makanya cepat cari istri, biar kau tahu,” sungut Jani. Bibirnya komat kamit melontarkan makian untuk Xin yang hanya disambut dengan tawa olehnya. Setidaknya ia berhasil membuat Jani keluar dari ruang kecil lamunannya.

“Tenang saja, aku akan mencari istri jika sudah waktunya,” ujar Xin. ‘Aku hanya akan menikah jika kau sudah bahagia, Hu,’ ia membatin seraya mengerling Jani yang kebetulan juga tengah mencuri pandang padanya.

“Jangan nanti kau bicara pada semua orang kalau aku yang membuatmu terlambat menikah,” ujar Jani. Xin terkekeh. “Padahal itu karena kau yang terlalu gila kerja.” Tawa Xin memenuhi mobil, membuat Sky yang tadinya sibuk dengan pesawat kecilnya menoleh heran.

“Xin,” panggil Jani dengan nada serius. Xin menoleh dengan satu alisnya terangkat beberapa mili.

“Di sekitarmu pasti banyak wanita yang cantik. Cobalah memulai hubungan dengan salah satu dari mereka, agar kau tidak sendirian selamanya.”

Xin mengeluh atas permintaan itu. “Aku terlalu sibuk, Jan,” elaknya.

“Cobalah untuk memikirkan hidupmu juga, jangan hanya sibuk mencari uang. Memangnya siapa yang bisa menghabiskan uangmu kalau kau tidak menikah?”

“Ada kau dan Sky, juga dia,” Xin mengulurkan tangan untuk mengusap perut runcing Jani. Gerakan lembut yang membuat bayinya menggeliat pelan.

*Bersambung*

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel