Arinda yang agresif
Pagi hari.
Tepat ketika hari masih gelap, Rendy yang berniat ke kamar mandi segera terdiam sesaat setelah membuka pintu kamar tidur.
Melihat kamar tidur yang telah berubah sejak terakhir kali melihatnya, Rendy merasa sedikit terkejut, dan menggelengkan kepalanya.
"Menyusun berbagai macam lilin yang entah darimana dia dapatkan sebelum tidur, apakah wanita ini memang memiliki hobi semacam ini?"
Rendy, yang sedang membawa satu toples berisikan bubuk seperti bumbu kembali menggelengkan kepalanya saat menyaksikan Bella yang sedang tertidur di tempat tidur.
Menempatkan toples yang dia bawa di meja kamar, Rendy mengambil selimut yang sudah ada dilantai, dan menutupi tubuh Bella.
Kemudahan melihat wajah Bella yang sedang tertidur, Rendy kembali bergumam, "Bukankah aku sudah bilang sejak dulu bahwa ini tidak mungkin?"
Rendy tampak sedikit tak berdaya dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya sendiri.
Sementara diluar gedung hotel, kendaraan polisi dengan seorang wanita didalamnya sudah berhenti dan terparkir disana.
Arinda, yang saat ini ada didalam mobil, dan sendirian tampak berulang kali melihat antara jam di tangannya, dan gedung hotel di depannya.
"Sudah lebih dari dua jam aku menunggu disini, dan masih tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Apakah dia masih tidur?"
Wajahnya tampak bingung dan ragu-ragu, apalagi saat mengingat pesan-pesan yang hampir seperti aturan dari komisaris Burhan.
Tapi ketika Arinda menyaksikan sudah jam 05:15 di tangannya, dia bergumam kesal, "Disuruh datang jam 03:00 pagi, tapi dia tidur, ini sangat sia-sia. Bajingan itu pasti tidak akan bangun sampai jam sembilan siang. Sedangkan saat ini masih jam 5 pagi."
"Menyebalkan! Apakah aku harus menunggunya sampai siang? Hanya untuk menemui bajingan sepertinya? Berapa lama lagi aku harus menunggu?!"
Arinda menggigit bibirnya sambil meremas roda kemudi dan mendengus, "Baiklah.... Anggap saja kamu beruntung memiliki waktu satu 45 menit lagi dariku. Tapi jika masih tidak muncul, aku bersumpah akan memborgol dan menyeretmu keluar!"
Arinda sudah memutuskan dan mencoba untuk bersabar menunggu.
Tapi, ketika waktu terus berjalan dan jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 05:59, Arinda tidak tahan lagi.
"Sialan!"
Arinda tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan segera mengambil semua peralatannya, termasuk pistol dan borgol.
Keluar dari mobil, dan melihat bangunan didepannya, Arinda kembali mendengus dan berjalan pintu masuk hotel dengan langkah terburu-buru.
Sesampainya di kamar 45 setelah beberapa waktu dengan diiringi pandangan bertanya-tanya dari penghuni hotel, Arinda segera menggedor pintu.
"Dok... dok... dok...."
"Siapapun yang ada didalam, cepat buka pintunya!" Suara Arinda terdengar keras, dan tidak sabar.
Saat seseorang mendengarnya, dia pasti akan segera berpikir bahwa Arinda sedang melakukan razia, atau penangkapan dari tersangka terduga.
Untungnya di lantai empat telah di kosongkan, sehingga tidak ada yang mendengar teriakan Arinda.
Sebentar!
Sepertinya ada orang di kamar 45, dan suara dari seorang pria dengan nada malas terdengar, "Pintunya tidak terkunci."
"Tidak terkunci?" Arinda sedikit tak terduga dan malu saat mendengar suara itu.
Tapi itu hanya sesaat sebelum mengulurkan tangannya dan memegang gagang pintu.
"Brak!"
Dengan suara pintu yang dibuka secara keras, dan pada akhirnya menabrak dinding kamar, Arinda dengan cekatan segera masuk kedalam.
"Polisi! Siapapun disana, angkat tanganmu!" Berteriak seperti ini, Arinda sudah menodongkan pistol di tangannya, dan wajahnya terlihat sangat serius.
Hanya saja, saat menyaksikan siapa yang ada di dalam sana, Arinda segera terdiam.
Rendy, yang saat ini sedang duduk di ruang tamu, dan memegang sendok di tangannya tampak sedang sarapan tiba-tiba berhenti dan melirik ke arahnya.
Ekpresi pria itu tampak malas dan tidak peduli, bahkan jika Arinda sedang menodongkan pistol, Rendy benar-benar menghiraukannya
Melanjutkan apa ya telah dia lakukan, Rendy memasukkan sendok berisi daging di tangannya. Lalu mengunyahnya beberapa saat dan menelannya.
Entah telah berapa lama sampai akhirnya dia meminum air putih dan membersihkan mulutnya, Rendy baru melihat ke arah Arinda.
Menyaksikan wanita muda dengan seragam polisi dan sedang menodongkan senjata ke arahnya dengan tampilan yang serius disana, Rendy dengan lemah bertanya, "Ini masih petang dan aku sedang sarapan. Apa yang kamu lakukan berteriak seperti itu di pagi hari?"
"A...."
Arinda terdiam. Dia tidak bisa menjawab dan hanya bisa mengeluarkan satu huruf "a" dengan bibirnya yang sedikit terbuka.
Kata terkejut mungkin kurang tepat, karena dia benar-benar tidak mengharapkan kejadian semacam ini.
Pada awalnya, dia berpikir bahwa bajingan yang dilihatnya kemarin mungkin sedang bersiap-siap dengan kedatangannya, atau setidaknya membawa sesuatu untuk membela dirinya.
Arinda berpikir seperti itu karena dia hanya diminta untuk mendatangi bajingan ini, tanpa tahu apa maksud dan tujuannya.
Mengingat semua kejadian di kantor polisi semalam, Arinda juga tidak salah jika berjaga-jaga saat masuk kedalam kamar hotel.
Hanya saja, situasi macam apa ini?
Untungnya fokus Arinda segera kembali normal, dan dengan dingin kembali berteriak, "Angkat tanganmu!"
"Hehehe...." Rendy tiba-tiba terkekeh dan membuat tubuh Arinda tegang.
Arinda tahu dan sadar bahwa pria ini pasti bajingan yang tidak akan tunduk pada hukum begitu saja.
Mengingat penyerangan sebelumnya, dia pasti akan menolak perintahnya.
Tapi Arinda juga sudah bersiap-siap.
Jika bajingan ini membuat gerakan yang mencurigakan, Arinda tidak akan ragu untuk menarik pelatuk pistol di tangannya.
Kewaspadaan Arinda segera dimulai, karena Rendy disana mulai menggerakkan tangannya.
"Jangan bergerak! Angkat tanganmu dan menghadap ke di lantai!" Arinda kembali berteriak.
Entah karena takut dengan ancaman Arinda atau apapun itu, Rendy tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahnya.
Tapi ekpresinya masih malas, tidak peduli dan dengan aneh bertanya, "Aku ingin membersihkan piring setelah makan, apakah itu berbahaya?"
Membersihkan piring?
Arinda kembali terkejut dengan kata-kata Rendy. Tapi, saat dia kembali melihatnya, pria itu memang sedang mengambil piring di atas meja dan berdiri.
"Kamu..." Kejutan Arinda segera menghilang saat melihat Rendy disana berdiri.
"Berhenti! Jangan bergerak! Kembali!"
Seperti orang tuli, Rendy mengabaikan teriakan Arinda dan sudah berjalan kearah dapur.
"Kubilang berhenti dan berbalik!" Arinda kali ini berteriak lebih keras.
Sayangnya Rendy telah menjadi tuli. Dia tidak ingin merespon atau sekedar melihatnya..
"Sialan." Arinda bergumam dalam hatinya dan menggigit bibirnya.
"Aku hitung sampai tiga, jika kau masih tidak berbalik, jangan salahkan aku jika kejam!!" Kata-kata terakhir akhirnya keluar dari bibir Arinda.
Sayangnya, Rendy disana sudah benar-benar menjadi tuli, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jika mendengar ancaman Arinda.
"1... 2... 3..."
"Dor!" Suara tembakan setelah hitungan Arinda berakhir tiba-tiba terdengar dan akhirnya membuat Rendy berhenti.
Berhentinya Rendy juga secara tak langsung membuat suasana ruangan menjadi tegang.
"Aduuhhh!"
Dalam ketegangan, suara wanita selain dari Arinda yang terdengar tiba-tiba itu segera menghentikan ketegangan yang sedang terjadi.
Kemudian, dari sebuah pintu kamar yang terbuka, wanita itu kembali terdengar, "Ada apa sih, Tuan? Ribut-ribut di pagi hari?"
Bella keluar dari kamar tidur, dan tampak masih mengantuk sambil menggosok kedua matanya.
Namun, dia segera berhenti dan membuka matanya lebar-lebar saat melihat Arinda disisi lain.
"Kamu?"
"Kamu?"
Dua wanita itu sama-sama terkejut saat saling bertatap muka.
Terutama Arinda yang sangat-sangat terkejut dengan apa yang dia lihat, dan pikirkan.
