Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Kebahagiaan yang Tertunda

Bab 3 Kebahagiaan yang Tertunda

Cengiran lebar menghiasi wajah rupawan milik Brody malam itu.

Barang tentu dia merasa sangat bahagia urgent sebab Filia —gadis yang telah diincarnya untuk dijadikan pacar olehnya menerima ajakan makan malam dari Brody.

Filia merupakan gadis cantik dengan perangai lemah lembut, kalau sudah begini pria mana yang tidak akan bertekuk lutut?

Rambutnya berwarna kecokelatan alami, wajahnya tirus dilengkapi sepasang lesung pipi kecil dikedua sudut bibir merah muda miliknya.

Tubuh Filia juga ramping serta dibalut kulit putih yang begitu mulus, tentu saja membuat Brody jadi mabuk kepayang karenanya.

“Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Wah, sudah sama kayak orang gila yang suka muncul diujung gang itu.” Rudi bergidik ngeri melihat kelakuan aneh sahabatnya itu.

Brody melangkah kegirangan menuju sofa tempat Rudi tengah duduk santai,

“Nih liat!” Brody menyodorkan ponselnya yang menampilkan room chat dengan Filia kepada Rudi dengan wajah sumringah.

Pandangan Rudi menilisik dengan seksama layar ponsel mahal keluaran terbaru itu.

Dia hanya takut temannya itu berhalusinasi mengingat Brody memang sering berhalusinasi beberapa bulan belakangan karena tergila-gila dengan gadis dari sekolah lain.

Alis Rudi menekuk tak percaya, “Ini serius? Bohongan ya? Mana mungkin Filia mau,”

“Iya, itu asli tahu, aku tidak bohong! Aku sama Filia mau jalan-jalan sekalian makan malam didekat rumahnya dia,” terang Brody antusias.

Senyumnya penuh, menampilkan jajaran gigi putihnya yang rapi.

Rudi mendengus,

“Ya sudah, kalau gitu sana siap-siap. Kasihan nanti Filia kelamaan menunggu kau si biang telat,”

“Oke, oke. Aku siap-siap ya, eh, tapi aku bingung mau pakai baju apa buat ketemuan sama Filia!” Brody berseru heboh membuat Rudi merotasikan bola matanya, malas melihat tingkah Brody yang menurutnya terlalu memalukan.

Rudi merasa agak sebal dengan tingkah Brody yang suka berlebihan.

“Pakai baju renang coba supaya kamu kelihatan lebih keren,” ledek Rudi.

Brody mendecak, “Lah? Gak pakai baju dong? Ngarang aja kau ini,”

“Lagian ....” Rudi mendengus geli,

“Kalian Cuma mau makan malam sama jalan-jalan, bukannya mau nikahan.”

Brody menghela pendek.

Kaki jenjangnya lantas beringsut menuju kamarnya bermaksud menemukan pakaian yang cocok untuk acara kencan dadakannya dengan Filia.

Setidaknya Brody tidak mau tampil dihadapan Filia hanya dengan tubuh berbalut baju kaus dan celana jeans sobek-sobek seperti penampilannya sehari-hari, dia mana mau membangun kesan yang jelek dihadapan gadis pujaannya.

Dia ingin menghilangkan kesan urakan serta preman yang selama ini melekat pada dirinya dihadapan Filia.

Dibantu Rudi, Brody mengeluarkan semua isi lemarinya, memindahkannya diatas kasur berukuran king size miliknya hendak memilih mana yang sekiranya cocok untuk dipakai.

Dalam sekejap kamar Brody menjelma menjadi ruangan berantakan layaknya kapal pecah.

Baju, sepatu, kaos kaki hingga pakaian dalam milik Brody tercecer di segala penjuru kamar, tak terkecuali sudut-sudut ruangan.

Kamar bertema maskulin itu terlihat sangat kacau.

Hah, nampaknya usaha mereka akan sia-sia.

Bukannya segera bersiap, keduanya malah sibuk berdebat mengenai padu-padan warna yang paling cocok.

Brody yang keras kepala berdebat dengan Rudi yang tidak mau mengalah, ya, urg dibayangkan apa yang akan terjadi?

“Hah, sudahlah, lupakan saja! Yang ada Filia ilfeel kalau begini caranya. Aku harus bergegas menjemputnya.”

Brody berseru frustasi, menyugar helaian rambut hitam lebatnya ke belakang menggunakan jemari panjang nan kokoh miliknya.

“Telat, Boy. Kalian janjian jam setengah delapan dan sekarang sudah mau jam setengah sembilan? Aku yakin pasti Filia sudah mengganti pakaian rapinya dengan piyama!”

Rudi tertawa terbahak-bahak,

“Filia pasti kecewa berat tuh,”

Brody melotot kesal, “Gara-gara kau!”

“Kok aku?” Rudi mencebik, memandang Brody dengan tatapan tidak peduli,

“Siapa suruh dandan sampai satu tahun begini?

“Halah, kampret kau ini, Rudi. Bukannya membantu kencanku kau malah membuatnya jadi kacau balau.”

Rudi nyengir, menangkat kedua bahunya acuh, “Bukan salahku, kau sendiri ya pilih baju sampai berjam-jam jadi selamat menikmati kencan romantisnya Brody Antariksa!”

“Sialan!”

Dan ya, akhirnya sesi pilih-pilih baju untuk kencan berakhir dengan adegan baku hantam antara Brody dan Rudi.

Keduanya tidak peduli akan kamar Brody yang sudah kacau balau.

***

“Papa ke mana? Kenapa tidak kelihatan?”

Sisca mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruang makan, kosong tanpa kehadiran sang Papa.

Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

“Di kantor, Nona. Beliau dari semalam tidak pulang katanya sedang banyak urusan menyangkut client dari luar negeri.”

Jawab Mbok Ijah, kepala pelayan di rumah ini dengan santun.

Wanita sepuh itu mengulas senyum hangat menutup penuturannya.

Sisca menghela tipis. Kecewa.

Papa selalu sibuk, sibuk dan sibuk.

Kalau begini terus bagaimana caranya hubungan mereka membaik?

Sejak bertengkar tempo hari, keduanya seperti enggan saling menyapa.

Sepasang Ayah dan anak itu sama-sama mengedepankan egonya masing-masing, miris.

Sejujurnya Sisca iri pada teman-temannya yang memiliki Ayah yang ramah nan hangat, ia ingin memiliki orang tua yang demikian.

Sisca hanya menginginkan kehadiran Papanya, tidak lebih.

Bukan seperti yang ada dalam pikiran Papa selama ini —tentang harta, pakaian mahal dan segala macam hal berbau materi lainnya.

“Ya sudah kalau begitu, terima kasih, Mbok.”

Sisca menyahut setelah beberapa saat berlalu.

“Mau sarapan apa, Non? Biar Mbok siapkan,”

tawar Mbok Ijah ramah.

“Roti bakar saja, Mbok. Minumnya susu cokelat ya, kalau sudah bawa ke kamarku, aku mau sarapan di kamar.”

Mbok Ijah mengangguk takzim, “Iya, Non, ditunggu ya.”

“Aku ke kamar ya, Mbok, sekalian nungguin sarapannya. Terima kasih.”

Kaki jenjang Sisca kemudian beringsut menuju kamar. Kondisi gadis itu sangat tidak baik; rambutnya berantakan, tubuhnya hanya dibalut piyama lusuh, belum lagi kantung matanya yang terlihat membengkak dan menghitam.

Wajahnya pun pucat seperti mayat hidup yang dibangkitkan dari kubur.

Belakangan dia memang banyak menangis.

Ada terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Dia berjalan perlahan dengan pikiran melayang kemana-mana. Sisca rindu Mamanya.

Pergi ke makam setelah sarapan dan mandi mungkin ide yang bagus, begitu pikirnya.

Derik pintu terdengar samar tatkala Sisca mengayunkan kenop pintu kamarnya.

Tangan kurusnya mendorong daun pintu berwarna biru muda itu perlahan hingga terbuka dengan sempurna.

Aroma khas sea salt menguar, menyapa indera penciumannya setelah Sisca memasuki ruangan pribadinya tersebut.

Kamar bernuansa biru langit itu selalu menjadi tempat ternyaman bagi Sisca sejak dulu.

Ruangan itu cukup besar, dilengkapi dengan berbagai hiasan khas Galaxy serta tata surya.

Disini, dia urg menjadi dirinya sendiri, terbebas dari berbagai macam peraturan menyusahkan yang dibuat oleh Papa maupun sekolah.

Sisca duduk diujung kiri kasurnya, menghadap langsung ke jendela kaca besar yang menampilkan panorama kota Semarang dari ketinggian.

Kamar Sisca memang terletak di lantai 2, dia suka melihat pemandangan dari tempat tinggi sejak dulu.

Ketika dia duduk dikelas 2 Sekolah Dasar, Papa dengan senang hati mewujudkan kamar impiannya ini.

“Ma, aku kangen. Pingin banget ketemu sama Mama seperti dulu.” gumam Sisca.

Diraihnya figura kecil diatas nakas berisi foto terakhirnya bersama Papa dan Mama.

Sisca memandangnya sendu.

“Sepertinya lebih baik aku tidak usah lanjut sekolah ya, Ma. Aku lelah dengan semua tekanan yang Papa berikan padaku sejak Mama pergi, aku tak sanggup.”

Gadis itu tersenyum sendu dengan air mata yang sudah menggenang di sepasang netra cokelat terang cantik miliknya.

Wajah beraksen oriental miliknya tertutup ekspresi murung. Bibirnya melengkung kebawah, sudah bersiap untuk menangis.

Alisnya dan hidungnya pun sudah memerah.

Dua-tiga menit berlalu.

Tangisnya turun jua.

Pertahanannya sudah runtuh, hatinya remuk-seremuk-remuknya.

Sisca tak mampu lagi membendung kerinduannya kepada sang Mama.

“Aku ingin susul Mama rasanya. Hidup di bawah tekanan Papa seperti ini rasanya sakit sekali, Ma.”

Sisca mengadu kepada figura minimalis putih digenggamannya.

Air matanya berderai deras, menggambarkan betapa menderitanya anak itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel