Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Brody

Bab 2 Brody

22 tahun kemudian...

Mentari bersinar dengan cerahnya diawal hari Senin kali ini bertemankan taburan awan-awan kecil yang bergerak perlahan mengikuti hembusan sang angin.

Cuaca hari ini begitu cerah, terlalu sayang untuk dihabiskan hanya dengan berbaring dirumah.

Tepat pada hari ini, semua siswa Sekolah Menengah Pertama diseluruh Indonesia menerima surat kelulusannya didampingi orang tua atau wali masing-masing —tak terkecuali Brody, siswa paling bandel disekolahnya.

Sudah menjadi rahasia umum lagi jika putera tunggal dari pemilik toko furniture jati terbesar di kota Semarang itu sering bertingkah semaunya sendiri. Tak jarang, dia melawan guru, tidak mematuhi peraturan, meninggalkan sekolah saat masih jam pelajaran bahkan sampai bertengkar dengan siswa lain —baik dilingkungan sekolah dengan teman satu sekolah atau bahkan dengan siswa dari sekolah lain.

Tetapi, sekolah tidak memiliki pilihan lain selain tetap meluluskan anak badung itu.

Jika Brody tidak lulus, maka dia akan dianggap sebagai aib bagi sekolahnya yang memang terkenal sangat disiplin dan termahsyur tersebut.

Bisa-bisa, citra mereka sebagai sekolah berakreditasi amat baik tercoreng.

Kepala sekolah gila hormat yang memimpin sekolah itu tentu saja tidak mau nama baiknya ternodai.

Didampingi oleh Ibunya, Brody berangkat ke sekolah menggunakan mobil sedan yang dikemudikan oleh supir pribadi sang Ayah.

Jarak antara rumah mereka dan sekolah memang cukup jauh, jika menggunakan mobil dengan kondisi jalan lancar biasanya mereka akan tiba dalam dua puluh menitan atau bisa lebih sesuai situasi kondisi.

"Ibu, ngapain sih kita berangkatnya jam segini? Acaranya kan baru dimulai jam delapan nanti,"

protes Brody dengan nada malas.

Brody rajin? Kalau kata Ayahnya, itu pertanda bahwa kiamat sudah semakin dekat saking mustahilnya anak itu bisa berubah.

Sekarang masih pukul tujuh lewat lima belas menit, pikir Brody, harusnya dia masih bisa tidur dengan nyenyak sambil mendengkur dikamarnya.

"Demi kedisplinan. Ibu tidak mau kita jadi terlambat karena kemalasan kamu yang sudah mendarah daging itu. Cepat atau lambat kamu itu harus berubah, apa tak capek bikin malu orang tua terus?"

sahut sang Ibu tenang tanpa mengalihkan atensinya kepada sang putera yang tengah mencebikkan bibir ranumnya.

Brody mendecak, "Terus supaya apa kita datang pagi-pagi? Memangnya Ibu mau suruh aku bersihin sekolahan?"

Ibu tersenyum jahil, "Boleh juga. Hitung-hitung kamu minta maaf sama semua gurumu atas semua kenakalanmu selama menempuh pendidikan disana, kan kamu banyak menyusahkan mereka."

Brody merengut kesal mendengar penuturan Ibunya. Mana mungkin dia mau besih-bersih di sekolah?

Bersih-bersih kamarnya sendiri saja nyaris tidak pernah. Ya, Brody memang semalas itu.

Tak lama kemudian, mobil sedan hitam yang mereka tumpangi berhenti didepan gerbang utama sekolah Brody.

Sekolah dengan model arsitektur kuno khas Eropa abad pertengahan tersebut telah menyapa indera pengelihatan ketiganya.

Tergopoh-gopoh, sang supir membukakan pintu untuk Nyonya serta Tuan mudanya itu.

"Kabari kalau sudah selesai, Nyonya, supaya bisa langsung saya jemput."

Pria paruh baya itu mengulas senyum hangat.

Ibu mengangguk pelan, senyuman tipis merekah dibibir tipisnya kemudian, "Iya, Pak Asep. Terima kasih."

***

"Kamu ini gimana sih, Sisca? Masa iya jadi anak perempuan bodoh banget? Kalau begini caranya kamu gak bakalan bisa masuk SMA negeri!"

Papa Sisca menghempaskan amplop berisi surat kelulusan puterinya itu ke atas meja kaca di hadapannya dengan emosi yang sudah tak tertahankan lagi.

Air muka pria itu tampak begitu kacau akibat tersulut emosi.

Beliau terlihat sangat suram, tertutupi oleh berbagai energi negatif yang keluar bersama segala amarahnya.

Pria itu merasa telah gagal mendidik anaknya hingga anak semata wayangnya itu tumbuh menjadi gadis brutal yang sulit diatur.

Sisca memandang Papanya dengan mata berkaca-kaca, "Papa tuh selalu saja menyalahkan aku tanpa mau memahami perasaan aku."

"Apanya yang harus Papa pahami? Papa sudah memberikan apapun yang kamu mau, uang, pakaian mahal, segalanya, Sisca! Tapi kenapa kamu tak bisa menuruti permintaan Papa?"

Atensi Papa terpusat pada anaknya yang tengah menangis tersedu-sedu dilantai,

"Apakah sesusah itu untuk menjadi anak yang pandai?"

"Cukup, Papa!" sergah Sisca disela tangisnya,

"Jangan paksa aku lagi. Kalaupun Papa tidak mau membiayai pendidikan aku selanjutnya, tak apa. Biar saja aku cuma lulus SMP."

Tangisan Sisca makin terdengar pilu.

Kini sudah tidak ada lagi sang Mama yang akan selalu membelanya setiap ia dimarahi Papanya seperti sekarang.

Sudah tidak ada lagi sosok Mama yang mengajari Sisca dengan sabar, tidak ada lagi.

Mama sudah dipanggil Tuhan untuk selama-lamanya membuat Sisca merasa ada bagian yang hilang dari dirinya.

Tak ayal, hal itu membuat prestasi Sisca yang tadinya cukup baik di sekolah menjadi turun drastis. Rasanya, gadis belia itu tidak lagi memiliki semangat hidup seperti saat Mama masih ada.

Percuma hidup bergelimang harta namun tidak mendapat cukup kasih sayang dari orang tua.

Itulah yang ada dalam pikiran Sisca.

Mama sudah tiada, Papa yang gila kerja —hanya akan pulang beberapa kali dalam seminggu.

Segala kebutuhan Sisca hanya diperhatikan oleh Asisten rumah tangga yang hanya sekedar menjalankan tugasnya, bukan menyayangi Sisca dengan tulus.

Tidak jarang Sisca memergoki mereka yang bertugas melayaninya mengumpatinya dari belakang dengan kata-kata yang tidak pantas.

"Sudahlah, kamu masuk ke kamar sana," perintah Papa dengan nada dingin.

Lutut Sisca yang sejak tadi terasa lemas dipaksanya untuk bangkit guna menuruti perintah mutlak dari Papanya.

Dia tidak mau beradu argumen lagi dengan Papa, sudah cukup. Sisca sudah merasa lelah dengan semua ini.

Meskipun langkahnya lunglai, Sisca tetap beringsut menuju kamarnya dengan pikiran yang melayang kemana-mana.

***

Sepasang obsidian sekelam sayap gagak itu memandang tidak percaya kearah dua buah bangunan tua yang dipisahkan sebuah lorong dengan pohon beringin tua nan rimbun dihadapannya.

Dia akan sekolah disini?

Hei, yang benar saja!

Dia sudah merasa cukup muak bersekolah dibawah naungan gedung tua khas zaman penjajahan Belanda seperti ini.

Brody jadi bingung apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuanya hingga keduanya memutuskan untuk mengirim Brody ke sini di tahun pelajaran baru nanti?

Apa sudah tidak ada sekolah lain?

Brody menggeleng samar, merasa tak habis pikir.

Tapi apa boleh buat?

Setidaknya dia harus tetap lulus SMA kan?

Brody lantas memandang rekannya yang sedang memandang pohon beringin tua itu dengan sorot serius. Memangnya ada apa dengan pohon itu?

"Rudi," Brody menoleh kesisi kanan tubuhnya,

"Kau sekolah di mana nanti?"

Remaja beralis tebal itu mengangkat kedua bahunya. "Aku? Tentu saja mengikuti sistem zonasi. Mau tidak mau, aku jadi sekolah disebuah sekolah swasta yang kecil dengan fasilitas seadanya."

"Itu artinya orang tuaku memasukkan aku kesini karena sistem zonasi itu?" Brody mengernyit,

"Kenapa ada peraturan tak masuk akal seperti itu sih? Bikin susah saja."

Rudi mendengus geli, "Hei, dengar, harusnya kau bersyukur karena adanya sistem zonasi. Kalau kau tetap bisa bersekolah ditempat pilihanmu yang sudah hampir ke luar kota itu, mana mungkin kau bisa sampai sekolah tepat waktu, yang ada kau baru akan sampai disekolah sesudah bel istirahat atau malah setelah bel pulang ya? Haha."

"Kau ini! Jangan mengada-ada ya!"

"Aku kan bicara sesuai fakta," Rudi terkekeh kecil melihat Brody yang sudah mulai tersulut emosinya,

"Kau kan hampir tidak pernah sampai sekolah tepat waktu, selalu saja telat. Mana ada kalimat tepat waktu didalam kamus hidupmu."

"Haha, sial. Sudah ah, kembali ke basecamp yuk? Katanya anak-anak lain sudah kumpul di Cafe biasanya."

"Oke, yuk. Biar aku yang bawa motor ya, kalau kau yang bawa aku bisa mati muda," canda Rudi diselingi tawa.

"Rud, Ibumu waktu hamil kau ngidam apa sih sampai-sampai anaknya menjengkelkan sepertimu?"

"Entah, rujak beling mungkin? atau bisa juga sambel terasi pakai lalap percon betawi?"

Tawa keduanya kembali menguar kencang.

Rudi meraih stang motor sport milik Brody dengan kedua tangan kokohnya kemudian tancap gas meninggalkan lokasi.

Tanpa mereka sadari, sebenarnya ada sosok yang memperhatikan segala gerak-gerik mereka selama berada didepan dua bangunan tua bernuansa hijau daun itu dengan mata penuh kilatan benci yang begitu kentara.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel