Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Kemenangannya

Bab 3 Kemenangannya

Ketika keduanya sedang berbicara, Bibi Liu yang mengurus segala sesuatunya memasuki pintu halaman, dia mengambil dua orang pelayan, wajah ketiganya penuh dengan raut gembira, "Hei, NonaLexie sudah bangun, kebetulan sekali, orang-orangnya sudah datang, sedang menunggu di aula depan. "

Lexie mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum, tidak mempedulikan Bibi Liu, melangkahkan kakinya ke aula depan.

"Nona, tunggu, aku akan memayungimu, hari ini salju turun dengan sangat deras." Winny dengan cepat mengikuti.

Langkah kaki Lexie terhenti, mendongak menatap salju yang beterbangan, mendorong payung yang dibuka oleh Winny, "Sudahlah, tidak usah dipayungi, salju ini tidak dingin."

Salju yang lebih dingin pun tidak melebihi dinginnya suasana hatinya yang dingin dan menusuk tulang saat ini.

Lexie hari ini mengenakan gaun berwarna merah yang meriah hari ini, dengan terbungkus jubah suede yang diambilnya dari Victor tadi malam, sosok kecil itu tampak begitu kesepian di tengah salju yang berterbangan di langit.

Winny menatap ekspresi Lexie yang datar, tidak bisa menahan kesedihannya, menggertakkan giginya, membuang payung itu kemudian mengejarnya.

"Lexie sudah datang, kemari dan temui Thomas Chen, hari ini Thomas sendiri yang datang untuk melamarmu."

Istri Ayahnya, Claudia Chen, ketika melihat Lexie muncul di pintu, segera berdiri dengan ramah dan menyambutnya, tatapan keibuan itu membuat Lexie merinding.

Lexie berdiri diam tidak bergerak, hanya mendongak menatap pria yang sedang duduk di posisi utama, Peter Qin, jenderal yang ditempatkan di Kota Awan, yang merupakan Ayahnya.

"Ternyata ini Lexie, ayo jangan berdiri di pintu, saljunya turun dengan deras, cepatlah masuk." Yang duduk di sebelah kiri Peter adalah seorang pria tua, yang umurnya terlihat lebih tua dari Peter.

Raut wajah Lexie tidak berubah, dapat dilihat dengan jelas tatapan gairah yang ada di dalam mata Thomas itu.

Tatapan gairah seperti itu, Lexie sudah sering melihatnya, sejak dia beranjak dewasa, setiap kali seorang pria melihatnya, maka akan menunjukkan pandangan mata seperti itu, tidak mengherankan, ini dikarenakan tubuhnya yang sangat molek, Lexie sendiri juga tidak bisa menahan diri untuk takjub ketika dia mandi.

"Thomas sudah berkata, mengapa kamu masih diam?" Peter melihatnya berdiri diam tidak bergerak, wajahnya mengeras.

Suasana itu sedikit canggung, Lexie tersenyum tipis, kemudian dia mengangkat gaunnya, berjalan masuk ke dalam aula, setiap melangkah, itu terlihat sangat anggun.

Lexie berjalan melewati Claudia, berjalan langsung ke depan Thomas, kemudian Lexie tersenyum, tidak berbicara, hanya dengan perlahan mengangkat bagian lengan bajunya, memperlihatkan lengan putih yang lembut.

Di atas lengannya yang halus itu, sangat bersih.

Tapi itu cukup untuk mengejutkan orang yang melihatnya.

Dalam masyarakat patriarki ini, ketika seorang wanita dilahirkan, dia akan diberikan sebuah tanda merah di lengannya, jadi bagi gadis yang masih perawan maka sudah pasti memiliki tanda ini.

Lengan Lexie itu bersih, tanda merah itu sudah tidak ada lagi!

"Kamu, kamu!" Claudia yang pertama kali bereaksi, dia bergegas meraih lengan Lexie dan melihatnya berulang kali, tapi apa daya, tanda merah itu benar-benar sudah hilang.

Raut wajah tua milik Thomas itu juga tidak baik, berdiri dan menunjuk ke arah Peter dengan jarinya, ingin mengatakan sesuatu tapi pada akhirnya tidak mengatakannya, pada akhirnya dia hanya bisa pergi.

"Dasar tidak tahu malu! Berlutut!" Peter marah, mengangkat tangannya ingin memberikan tamparan di wajah Lexie.

Peter adalah seorang Jenderal, tamparan itu membuat pipi Lexie seketika memerah dan bengkak serta meninggalkan bekas lima sidik jari.

"Aku sudah hampir dijual pada orang tua yang sudah hampir mati, untuk apa aku masih memiliki malu?"

Lexie tersenyum, memuntahkan darah di mulutnya, mengangkat tangannya menyentuh darah yang tersisa di sudut bibirnya, menatap wajah Peter yang sangat marah itu tanpa takut.

Lexie ingin mengingat wajah ini, demi keperawanannya yang dikorbankan, dan juga demi anak perempuan yang dibunuh dengan tangan Peter sendiri beberapa tahun yang lalu.

Peter sangat marah hingga dia tidak bisa berbicara, Claudia bergegas menghampiri, "Gadis sial, apa maksudmu dengan perkataan ini? Kita ini keluarga Jendral, apa perlu menjual putri untuk memenuhi hidup? Aku dan Ayahmu ini bermaksud baik ingin menemukan pasangan yang cocok untukmu, tidak masalah jika kamu tidak tahu diri, tapi bagaimana bisa mempermalukan kami seperti ini?"

"Pasangan yang cocok?" Lexie mencibir, "Kakak ketiga dua tahun lebih tua dariku, masih belum menikah sampai sekarang, pasangan yang begitu baik ini, mengapa kamu tidak menyuruh Kakak ketiga saja yang menikah?"

"Apa identitas Shinta bisa dibandingkan denganmu yang merupakan seorang anak selir?" Ketika Putrinya dibawa-bawa, Claudia akhirnya marah.

Ya, Lexie adalah anak selir, jadi, nyawanya bukanlah nyawa, nyawanya hanyalah beban yang merepotkan bagi Jenderal Peter.

Lexie tertawa pelan, wajahnya yang putih, ditambah dengan senyum cerah, tampilan itu benar-benar sangat cantik.

Peter masih berada dalam amarah, tangannya telah diulurkan untuk menggapai pedang, pedang itu sudah keluar dari sarungnya, hanya dengan sekali tebas sudah dapat mengambil nyawa putrinya yang pemberontak ini!

"Kamu ingin membunuhku, kenapa kamu tidak bertanya siapa yang mengambil keperawananku?" Lexie melepaskan jubah di tubuhnya dan melemparkannya ke hadapan Ayahnya.

Jubah bulu rubah, jarang ada di dunia, terutama dengan warna hitam murni seperti ini.

Desas-desusnya, Kaisar sebelumnya pernah memberi Raja Victor sebuah jubah, dan juga merupakan jubah berbulu rubah yang hitam murni, ditambah dengan karakter Victor yang sangat aneh dan brutal, jika merupakan benda miliknya maka dia tidak akan membiarkan orang lain menyentuh seujung jaripun.

Oleh karena itu, jadi untuk menghindari masalah dengannya, para pejabat di Kota Phoenix tidak ada yang berani mengenakan jubah berbulu rubah dalam sepuluh tahun terakhir ini.

"Ra, Raja Victor ..." Peter memegang jubah itu, wajahnya menggelap suram.

Ketika Claudia mendengar kata Raja Victor dia juga takut, untuk sesaat pandangan matanya ketika menatap Lexie berubah menjadi ketakutan.

Kekuasaan Raja Victor itu sangat besar, bahkan jika Kaisar bertemu dengannya pun juga harus bersikap sopan, Peter hanyalah seorang Jenderal, jangan bicarakan bertemu muka dengan Raja Victor, bahkan jika Raja Victor hanya menjentikkan jarinya saja itu sudah cukup untuk memberikan masalah baginya.

"Sudahlah!" Peter melempar pedang panjangnya, melambaikan tangannya pada Claudia yang berada di sebelahnya dan berkata, "Cari orang untuk mengirimnya ke rumah di pinggiran kota, jangan biarkan dia kembali ke kediaman ini seumur hidupnya."

Satu kalimat, sudah menentukan hidup dan mati Lexie.

Di dunia kekuasaan kekaisaran dan supremasi patriarkal ini, wanita begitu tidak ada artinya.

Pada saat itu, salju di luar pintu bertambah lebat.

Tidak ada yang melihat, Lexie yang menundukkan kepalanya itu tersenyum dengan sangat puas.

Dia menang!

Dia mengambil tindakan berbahaya, kehilangan keperawanannya, dan nyawanya juga hampir melayang, ini semua bukankah demi meninggalkan kediaman yang telah memerangkapnya selama 3 tahun ini?

.

Di gerbang kota, ratusan prajurit dengan tandu yang mewah dengan perlahan berjalan ke luar kota, para prajurit yang menjaga kota dengan hormat berjalan mundur dan memberi jalan di kedua sisi, tidak ada yang berani bertanya.

Setelah di luar gerbang, terdengar suara malas dari dalam kereta, "Morgan, apa sudah menemukan wanita itu?"

Morgan mengendarai kuda hitam, kulit kepalanya sedikit kebas, "Menjawab pertanyaan Yang Mulia, sudah mencari di rumah bordil yang berada di Kota Awan, tapi tidak menemukan jejaknya, dan lagi mucikari di rumah bordil itu juga sudah tidak dapat lagi menahan siksaan dan mati di penjara."

"Menghilang seperti ini, menurutmu, apa ini adalah tindakannya yang disengaja atau dia benar-benar mengagumiku?" Suara Victor terdengar santai, tidak bisa mendengar emosinya.

Morgan merasa canggung untuk sementara waktu, tidak berani menjawab, kemarin ketika dia memberi komentar mengenai wanita itu, hampir saja dikirim ke perbatasan oleh Yang Mulia-nya ini, sekarang, jika yang berhubungan dengan wanita itu, bagaimanapun dia tidak berani mengatakan lebih banyak.

Victor tampaknya memahami pikirannya, suaranya lebih jelas dan jernih, "Morgan, wanita itu, hanyalah mainan saja, mengikutiku begitu lama, apa kamu merasa aku akan mengirim bawahanku ke perbatasan hanya demi sebuah mainan?"

"Tidak." Morgan menghela nafas lega, tapi masih belum berani menjawab pertanyaan yang baru saja Victor ajukan.

Orang di dalam tandu melihat Morgan yang tidak menjawabnya untuk waktu yang lama, dia tidak marah, malah dengan berkata dengan bercanda, "Tapi aku sudah lama tidak menemui mainan yang seperti ini, jadi, aku akan memberimu waktu satu bulan untuk membawanya menemuiku, jika tidak, kamu akan benar-benar pergi ke perbatasan utara untuk menggantikan Rony."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel