Kubantu Hisap
“Kamu!” kaget Edward kala melihat Jenara di mansion Zeline, tempat ia melakukan perjodohan.
Tatapan Edward langsung turun ke bawah, melihat kaos Jenara basah.
Jenara dengan cepat berlari untuk kembali ke kamarnya, di mana hal itu langsung diikuti oleh Edward.
“Kenapa bapak ikut kemari? Cepat keluar sebelum papa saya tahu,” usir Jenara yang terkejut kala Edward mengikutinya masuk ke dalam kamar.
Edward malah menutup pintu kamar Jenara, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang kamar Jenara.
“Jadi ini rumah kamu,” gumam Edward seraya manggut- manggut dengan santai.
Jenara yang baru paham sontak membelalakkan kedua matanya dengan terkejut, “Tunggu, jadi bapak calon suami kakak saya?” tanya Jenara dengan mata yang terbelalak.
Edward menatap santai Jenara seraya bertanya, “Zeline kakakmu?” Jenara menggelengkan kepalanya pelan.
“Saudari tiri,” jelas Jenara.
Edward hanya manggut- manggut, menghempaskan pantatnya di tepi ranjang.
“Apalagi, cepat keluar sebelum mereka cari bapak,” kata Jenara mengusir Edward.
“Kamu berani usir gurumu?” tanya Edward menggunakan jurus andalan.
Jenara langsung diam, “Tapi ini kamar saya, bapak ada di rumah saya, jadi saya tuan rumahnya, tidak baik jika masuk ke dalam kamar tuan rumah tanpa seizinnya.”
Edward manggut- manggut dengan paham dan berkata dengan santai, “ASI mu keluar.”
Jenara melotot dan langsung menyilangkan tangannya di depan dada.
“Cepat bapak keluar sebelum saya berteriak,” kata Jenara mengancam membuat Edward tersenyum dengan penuh kemenangan.
“Enak dong kalau kamu teriak, papamu bakal salah paham terus perjodohanku digagalkan, kemungkinan kamu bisa jadi pengganti Zeline untuk sebagai istriku,” kata Edward dengan entengnya.
Jenara membelalakkan kedua matanya tidak percaya dengan pikiran gila gurunya ini.
“Saya mohon bapak keluar,” kata Jenara dengan sopan.
Edward langsung beranjak dari tepi ranjang dan mendekati Jenara.
“Bukankah kamu butuh bantuan saya, saya bisa membantumu untuk menghisap ASImu,” kata Edward menawarkan diri.
Jenara langsung mundur menghindari Edward, “Tidak terima kasih, saya bisa sendiri.”
Edward melangkah mendekati Jenara, “Kamu yakin? Bagaimana jika guru dan teman- temanmu tahu jika tadi siang kamu meminta saya untuk menghisahmppp.” Jenara langsung membungkam mulut Edward yang ember tersebut.
“Bisa tolong kecilkan suara bapak? Jika papa saya tahu, bukan hanya bapak yang dibunuh, tapi saya juga,” Edward tersenyum, menyingkirkan tangan Jenara dari mulutnya seraya merunduk dan berkata, “Karena itu, biarkan saya membantumu.”
Edward langsung mendorong Jenara ke ranjang dan menindihnya, “Jangan pak, saya bisa lakukan ini sendiri.”
Edward langsung menyibak kaos Jenara, melepas pengait branya dan mulai menghisap ASI Jenara.
“Akhhh pak,” lenguh Jenara panjang seraya membusungkan dadanya.
Edward menghisap kuat ASI Jenara, sesekali ia meremasnya dengan kuat.
Jenara menggelinjang tidak karuan sembari meremas rambut Edward, memejamkan matanya dengan erat menikmati sensasi nikmat dari hisapan dingin mulut Edward.
“Pak akhhhh, enghh sudah akhhh,” desah Jenara sembari mendongakkan kepalanya dengan kaki yang menggelinjang bergerak gelisah tak karuan.
Edward menghentikan hisapannya, menatap Jenara yang memejamkan mata menikmati hisapannya.
“Bagaimana, lebih baik hisapan saya apa pumping kamu?” tanya Edward dengan sengaja menggoda Jenara.
Jenara langsung membuka kedua matanya, mendorong tubuh Edward ke samping dan segera bangun memperbaiki pakaiannya.
Jenara menelan salivanya dengan malu, bahkan tidak sanggup menatap mata Edward.
“Kamu bohong terkait pumping yang kamu katakan?” tanya Edward seraya bangun dari baringnya.
Jenara langsung menoleh menatap Edward, “Tidak, saya tidak bohong.” Jenara lalu menunjukkan kulkas di sudut ruangan kamarnya.
Di mana kulkas itu menyimpan penuh ASInya.
“Kebetulan pumping saya ada di lantai bawah, tadi habis saya cuci lupa bawa ke kamar, papa bilang saya tidak boleh turun sebelum keluarga bapak pulang,” kata Jenara menjelaskan agar Edward tidak salah paham terhadap dirinya.
Edward hanya manggut- manggut dan bertanya, “Kenapa begitu? Bukankah kamu juga bagian dari mereka?” tanya Edward dengan heran.
Jenara duduk di sofa dengan helaan napas yang berat, “Karena kedatangan mama dan saudari tiri saya papa saya berubah menjadi seperti itu. Saya kehilangan sosok ayah karena kehadiran mereka.”
Edward langsung berubah iba pada Jenara.
“Mama kamu di mana?” tanya Edward dengan lancang.
Jenara tersenyum dengan pilu dan menjawab, “Baru satu tahun kemarin meninggal karena sakit.”
Edward manggut- manggut pelan dan beranjak dari ranjang menghampiri Jenara.
Edward berjongkok di depan Jenara, memegang tangannya dengan erat, “Kamu tidak sendiri, ada saya di sini.”
Jenara langsung menarik tangannya, menatap Edward dengan sedikit canggung.
“Mereka pasti sedang menunggu bapak,” kata Jenara mengalihkan topik pembicaraan yang ada.
Edward langsung beranjak dari jongkoknya dan mengacak- acak rambut Jenara seraya berkata, “Kamu bisa panggil saya kapanpun untuk menghabiskan semua ASI ini.” godanya sebelum keluar dari kamar Jenara.
Jenara membuka mulutnya tidak percaya dengan ucapan Edward barusan.
“Apa dia sungguh seorang guru? Dia sungguh mesum dan gila,” gumam Jenara dengan heran.
Jenara langsung beranjak dari sofa untuk ganti baju dan masih bergumam, “Dan andai Mora tahu, aku penasaran, apa dia masih mengidolakannya atau tidak jika tahu sikap guru pujaan hatinya sangat mesum dan menggelikan.”
***
Keesokan paginya, Edward sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Tampak Salamos dan Yala berkumpul di meja makans seraya mengobrol santai.
“Pagi pa pagi ma,” sapa Edward dengan suasana hati yang begitu baik sekali.
“Pagi sayang,” sapa Yala begitu juga dengan Salamos.
Edward duduk dengan senyum yang lebar membuat orang tuanya menatapnya dengan penuh selidik dan penasaran.
“Ada apa dengan bibirmu? Tidak bisa tertutup rapat?” tanya Yala dengan tengil.
Edward malah melengkungkan senyumnya semakin lebar.
“Menurut papa dan mama, andai Edward menikah dengan wanita yang lebih muda dari Edward, kira- kira papa sama mama setuju enggak?” tanya Edward ingin tahu jawaban orang tuanya.
Yala langsung duduk di kursinya, menatap putranya penuh selidik, “Kau menemukan tambatan hatimu atau sedang menanyakan tentang Zeline?” tanya Yala dengan penasaran.
Edward tidak berhenti tersenyum membuat Salamos geram melihatnya.
“Tidak, ini hanya andaikan saja Edward menikah dengan gadis SMA, kira- kira papa sama mama bakalan setuju enggak?” tanya Edward dengan rasa penasarannya yang tinggi.
Salamos dan Yala dengan kompak menghela napas dengan kompak membuat senyum Edward langsung pudar.
“Jangan mengatakan sesuatu untuk membuat kita menggagalkan perjodohanmu dengan Zeline, keputusan kita sudah bulat dan alasanmu sudah basi, jadi kami tidak akan tertipu daya dengan akal licikmu yang berpura- pura menemukan cinta sejati pada gadis SMA atau muridmu sendiri, kami sudah basi untuk kau bohongi,” kata Yala yang mana pertanyaan Edward tersebut sudah berulang kali dipertanyakan setiap kali ia selesai dijodohkan dengan wanita pilihan Yala.
Karena itu mereka tidak lagi percaya dengan ucapan putranya itu.
Itu hanya akan membuat mereka naik darah dan menjadi kakek nenek gemeteran yang baru bisa membopong cucunya.
Edward berdecak pelan kala mendengar ucapan mamanya.
