Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. BASTIAN PISCESO

Silvi duduk di belakang Arlyn dengan tenangnya, sepeda motor yang dibawa Arlyn melaju dengan santai.

"Lyn," panggil Silvi dari balik maskernya. "Arlyn! Arlyna Virgolin sayang."

"Apa?" Yang dipanggil melihat ke samping sebentar.

"Kita mampir sebentar ke Toko Roti Daisi," jawab Silvi.

"Ngapain ke Toko Roti?"

"Ke toko roti, tentu saja untuk beli roti, Arlyna. Masa beli material! Bodoh banget sih!" jawab Silvi kesal.

Arlyn bukannya sakit hati dikatain bodoh, malah tersenyum dibalik masker putihnya. "Toko rotinya di mana?"

"Itu! Itu di depan, Toko Roti Daisi!" Tunjuk Silvi ke sebuah bangunan yang terlihat unik, berbeda dari bangunan lainnya.

Arlyn memperlambat sepeda motornya dan berhenti tepat di depan Toko Roti bercat putih. "Yang ini?"

"Iya betul." Silvi langsung turun dan melepas helmnya. "Kamu mau ikut masuk atau tunggu di sini?"

"Tunggu di sini saja, tapi jangan lama! Beliin juga aku roti coklat."

"Ok, Nona Arlyn!" Silvi segera pergi setelah memberikan helmnya pada Arlyn yang tidak turun dari sepeda motornya.

Cuaca panas dari terik matahari membuat Arlyn melepas helm yang dipakainya. "Gerah banget, aku bisa mandi keringat kalau begini," gumamnya sendiri.

Pandangan Arlyn mengedar ke sekeliling, melihat orang-orang yang berlalu lalang, ada juga pedagang asongan sedang sibuk menawarkan dagangannya.

Menit ke menit telah berlalu, tapi Silvi belum ke luar juga. Entah sudah berapa ratus kali Arlyn melihat ke arah pintu Toko Roti Daisi, tapi yang ditunggu tak kunjung nongol.

"Lama banget si Silvi! Apa dia ketiduran di dalam?" gumam Arlyn melihat jam hello Kitty kesayangan yang melingkar di tangannya.

Lama ditunggu Silvi tak kunjung ke luar, Arlyn akhirnya memutuskan untuk menyusul Silvi. Setelah menaruh helm dan memastikan sepeda motornya aman, Arlyn melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko.

"Arlyn," panggil Silvi sedang duduk dengan manisnya di sudut ruangan.

Arlyn langsung datang mendekat. "Malah duduk manis di sini. Aku di luar kering kerontang kayak ikan asin dijemur!"

"He-he. Roti yang aku pesan masih dipanggang," jawab Silvi menarik kursi disebelahnya "Duduk sini."

"What?! Jadi, dari tadi kamu nungguin roti yang masih dipanggang?!" tanya Arlyna dengan suara keras sehingga membuat beberapa pelayan toko melihat ke arah mereka berdua.

"Iya, Arlyna. He-he." Silvi garuk-garuk kepala melihat ekspresi wajah Arlyn kesal. "Sorry Arlyn."

Arlyn menghela napas, mau marah juga percuma, nanti yang ada malah jadi tontonan para pelayan toko.

Pintu toko tiba-tiba dibuka dari luar, masuk seorang pria dengan postur tubuh tinggi bersama wanita yang lebih tua darinya.

Silvi menyenggol lengan Arlyn. "Lihat pria bertopi yang baru masuk itu."

Arlyn sedang menunduk melihat layar ponselnya, ada panggilan masuk dari Mamanya. "Aku mau angkat telepon sebentar." Bergegas Arlyn menjauh dari Silvi yang selalu kepo.

Pria bertopi terlihat mengedarkan pandangannya melihat ke seluruh ruangan yang didesain klasik, sesekali bicara dengan wanita tua yang ada di depannya.

Arlyn selesai menelepon, langsung duduk kembali di sebelah Silvi.

"Siapa yang telepon?" tanya Silvi tanpa mengalihkan pandangannya dari pria bertopi.

"Nyokap," jawab Arlyn melihat Silvi. "Lihat siapa sih?! Matamu sampai tidak berkedip."

"Tuh lihat," bisik Silvi menunjuk dengan matanya. "Menurutmu, pria bertopi itu ganteng atau tidak?"

Arlyn langsung melihat ke depan. "Yang mana? Pria bertopi ada dua, topi hitam atau putih?"

"Kamu ini!" Silvi kesal. "Pria bertopi hitam! Kalau yang satu lagi, itu pelayan toko! Dasar tulalit. Ngapain aku tanya pelayan toko?!"

"Oh, pria tinggi itu." Mendadak seluruh aliran darah Arlyn berdesir ketika iris matanya beradu dengan iris mata yang sedang diperhatikannya.

"Iya, menurutmu dia ganteng atau tidak?" tanya Silvi. Tidak tahu, jika Arlyn sedang membenahi jantungnya yang mendadak berdetak kencang.

Tidak jauh berbeda dengan pria yang sedang diperhatikan Arlyn, jantungnya juga berdetak dengan kencang seakan mau meloncat ke luar. "Ya Tuhan, kenapa dengan jantungku? Apa aku sedang terkena serangan jantung?"

Melihat Arlyn hanya diam membisu, Silvi kembali menyenggol lengannya. "Arlyn! Kenapa sih?!"

"Eh .. I.. iya, iya apa? Kamu tanya apa tadi?" tanya Arlyn gugup membenahi hatinya yang tidak karuan.

"Kamu kenapa?" tanya Silvi heran melihat kegugupan Arlyn. "Kamu sakit?"

"Sa .. sakit? Aku? Tidak ... tidak. Aku baik-baik saja," jawab Arlyn semakin gugup.

Silvi mengernyitkan alisnya. Mau bertanya, tapi seorang pelayan toko datang mendekat dan langsung memberikan semua pesanan roti punya Silvi.

Setelah selesai membayar semua rotinya, Silvi segera menarik tangan Arlyn ke luar dari toko. Jantung Arlyn semakin berdetak kencang ketika melewati pria bertopi hitam yang sedang melihat dirinya.

"Ada apa denganmu?" tanya Silvi setelah mereka sudah berada di atas sepeda motor yang sedang melaju.

"Ada apa, apanya?" tanya Arlyn bingung.

"Kamu menjadi aneh di toko roti tadi," jawab Silvi. "Kayak orang yang kerasukan."

"Hah?! Jangan ngada-ngada!" Bantah Arlyn. Padahal apa yang dikatakan Silvi memang benar, dirinya seperti sedang kerasukan sesuatu yang tidak dipahaminya, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang.

Tiba di depan halaman rumahnya, Arlyn langsung masuk membuka pintu pagar. Sementara Silvi melanjutkan perjalanannya yang masih jauh.

"Sudah pulang?" tanya Mama begitu melihat putrinya baru saja masuk lewat pintu utama.

"Iya," jawab Arlyn langsung pergi begitu saja melewati Mama.

"Kenapa dengan anak itu?" gumam Mama heran melihat Arlyn tidak seperti biasanya. "Apa dia sakit?"

Arlyn melempar tasnya ke atas kasur kemudian membuka sepatu sneaker putih yang dari pagi dengan setia menemani kakinya. "Gerah sekali, aku mau mandi."

.....

Di tempat lain, di dalam rumah yang banyak ditumbuhi tanaman hias di dalam pot. Pria bertopi baru saja sampai.

"Bi, bibi!" Panggilnya pada asisten rumah tangganya.

"Iya Tuan." Bibi datang dengan celemek yang masih terpasang.

"Simpan ini Bi."

Semua barang belanjaan yang ada dibeberapa kantung langsung Bibi bawa ke belakang.

"Kamu sudah pulang, Tian?" Oma baru ke luar dari kamarnya.

"Iya Oma."

"Mommy kamu mana?" tanya Oma melihat Tian hanya sendirian.

"Mommy tadi langsung ke salon, jadi aku pulang sendirian. Malas banget harus nungguin Mommy di salon."

"Terus nanti pulangnya bagaimana?" tanya Oma khawatir.

Tian mendekati Oma. "Mommy itu sudah besar Oma, bahkan bukan besar lagi, tapi sudah dewasa banget, masa sampai pulang saja tidak tahu harus bagaimana?"

"Eh, jangan salah. Mommy kamu itu tidak pernah pergi kemana-mana sendirian, dia selalu diantar sopir. Kalau kamu tinggalkan sendirian di salon, nanti dia tidak tahu arah jalan pulang."

Tian percaya tidak percaya dengan apa yang Omanya ucapkan. "Masa sih Mommy tidak tahu arah jalan pulang? Jangan ngarang Oma."

"Apa gunanya Oma ngarang? Mommy kamu itu selalu pergi dengan sopir."

Tian tiba-tiba tersenyum. "Gampang, kita telepon Mommy. Nanti aku jemput kalau sudah selesai. Oma bikin aku jadi tegang saja."

Oma mengambil sesuatu dari saku bajunya. "Ini ponsel Mommy kamu ketinggalan, Bastian Pisceso!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel