Pustaka
Bahasa Indonesia

A Bandit In love

7.0K · Ongoing
Herry Kurniawan
8
Bab
0
View
9.0
Rating

Ringkasan

Drama keluarga aksi-komedi tentang Sella, seorang waitress miskin yang terpaksa menjadi pencuri untuk biayai sekolah adiknya

RomansaDramabadboyPetualanganTeman Masa KecilBaik HatiSweet

bab 1 the descent

A BANDIT IN LOVE

BAB 1: THE DESCENT

ADEGAN 1: KEDAI KOPI KAMPUS - SIANG YANG PANAS

Matahari musim kemarau menyengat kaca jendela kedai kopi tua yang penuh debu. MARSELLA "SELLA" (24) dengan seragam waitress biru yang sudah pudar warnanya, membersihkan meja dengan gerakan lamban penuh beban. Setiap usapan kain di atas meja kayu seolah mencerminkan hidupnya yang semakin suram.

Dari balik jendela, matanya yang lelah mengikuti gerak mahasiswa-mahasiswa yang tertawa riang, buku-buku teks mereka terlihat begitu mahal dan tak terjangkau. Sebuah rasa getir menyelinap di hatinya, mengingatkan pada adiknya, LYDIA yang hanya bisa bermimpi mengenyam pendidikan yang lebih layak.

PEMILIK KEDAI (pria 50an, wajah lesu) mendekat dengan langkah berat, tangan menggenggam amplop tipis.

PEMILIK KEDAI

"Marsella... ini... gaji terakhirmu. (menunduk malu) Kedai terpaksa tutup bulan depan. Pemerintah menaikkan pajak UMKM lagi... dan... (suara bergetar) Bapak sudah jual motor tua untuk bayar gaji kalian minggu lalu."

Sella menerima amplop tipis itu, jari-jarinya yang kasar dan pecah-pecah akibat air deterjen menggenggam erat. Dia merasakan betapa ringannya amplop itu, seolah tak sebanding dengan peluh dan air mata yang telah dicurahkannya.

SELLA (suara bergetar penuh harap)

"Tapi, Pak Husein... adik saya... Lydia... dia masih butuh biaya uang pangkal SMK Desain... dia punya bakat menggambar yang luar biasa... (mata berkaca). Dan... dan tagihan rumah sakitnya belum lunas..."

PEMILIK KEDAI (memalingkan muka, merasa tak tega)

"Bapak tahu, Nak... Bapak benar-benar tahu. Tapi... (menghela napas) lihatlah keadaan kedai ini. Seminggu terakhir, penghasilan kita bahkan tak cukup bayar listrik."

Sella mengangguk pelan, air mata akhirnya menetes membasahi pipinya yang muram. Di sakunya, surat peringatan dari sekolah adiknya Lydia terasa membara, seolah menyayat-nyayat hatinya yang sudah terluka.

ADEGAN 2:

KONTRAKAN SELLA - MALAM YANG SUNYI

Kamar kontrakan 4x3 meter itu terasa semakin pengap malam ini. Sella duduk terdiam di lantai yang dingin, menatap foto Lydia (17) yang tersenyum polos di atas meja kayu lapuk. Lampu neon berkedip-kedip, menambah suasana suram dalam kamar yang nyaris tanpa perabotan layak itu.

*FLASHBACK - 3 MINGGU LALU:*

RUANG IGD RUMAH SAKIT - MALAM

Lydia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya pucat dan berkeringat dingin. Seorang DOKTER (40an) dengan wajah serius berbicara pada Sella yang berdiri gemetar.

DOKTER

"Mbak, adik Anda mengalami tifus berat disertai komplikasi anemia akut. (menunjuk hasil lab) Hb-nya hanya 7. Dia butuh rawat inap minimal 5 hari dan transfusi darah."

SELLA (dalam flashback, wajah panik)

"Transfusi darah? Berapa... berapa total biayanya, Dok?"

DOKTER (melihat chart)

"Estimasi sekitar 3 juta. DP 500 ribu sudah Anda bayar, sisanya harus dilunasi dalam 2 minggu setelah pulang. Kalau tidaaak… (berhenti sejenak) kami tidak bisa mengeluarkan surat keterangan sehat untuk sekolahnya.”

KEMBALI KE SAAT INI – KAMAR SELLA

SELLA (berbisik pada foto Lydia, suara parau)

"Aku janji, Dik... kakak akan tetap biayai sekolahmu. Biaya SMK, obat-obatanmu, semua... (menggenggam tangan) apapun yang terjadi..."

Ketukan pintu berirama tiga kali menggema di ruangan sunyi. HERY (24) berdiri di ambang pintu dengan dua bungkus nasi Padang di tangan. Wajahnya yang biasanya ceria dan penuh senyum kini keriput penuh awan.

HERY (suara rendah, serius)

"Fred ada di bawah tuh Sel. Dia... dia punya tawaran lagi. (mengangkat bungkusan) Nih, makan dulu. Aku tahu kamu suka sayur nangka sama rendangnya."

Sella tidak menoleh, masih terpaku pada foto Lydia.

SELLA (tanpa menengok, suara hampa)

"Kita sudah bersumpah, Ry. Setelah kejadian terakhir di apartemen Royal... tidak akan lagi. Aku masih mimpi buruk sampai sekarang."

*FLASHBACK - 6 BULAN LALU - "KEJADIAN TERAKHIR":*

APARTEMEN MEWAH ROYAL – MALAM

Mereka bertiga bersembunyi di balik tirait tebal. Hery duduk di lantai dengan laptop di pangkuannya, jari-jarinya menari cepat di keyboard.

HERY (dalam flashback, via earpiece, suara tegang)

“Sistem keamanan sudah aku bypass. Kalian punya waktu 15 menit. Tapi… ada sesuatu yang aneh dengan alarm sekunder ini…”

Fred yang berdiri di dekat brankas besar terlihat semakin tegang. Sella menjaga pintu, tangan berkeringat dingin.

FRED (dalam flashback, berbisik)

“Aku sudah buka lapisan pertama. Tinggal satu lagi…”

Tiba-tiba, alarm meraung-raung. Lampu darurat berkedip merah. Suara orong kaki berat bergegas mendekat dari orong.

PENJAGA KEAMANAN (berteriak)

“Intruder! Lantai 21! Blokade semua lift!”

Mereka panik. Fred memaksa brankas terbuka, tapi kosong. Mereka harus kabur melalui tangga darurat, nyaris tertangkap, dan akhirnya melarikan diri melalui atap bangunan dengan tangan kosong.

KEMBALI KE KAMAR SELLA

HERY (duduk di lantai, membuka nasi kotak dengan lambat)

"Aku ingat, Sel. Aku juga masih sering terbangun keringat dingin. Tapi... (menunjuk tagihan di meja) tagihan rumah sakit Lydia seminggu lagi jatuh tempo. Tiga juta, Sel. Ditambah uang pangkal SMK 2 juta, bayaran les gambar 500 ribu... total hampir 6 juta. Dari mana kita cari?"

Sella menatap selembar kertas biru di samping foto - tagihan rumah sakit dengan stempel merah "SEGERA DIBAYAR" dan tulisan "TERAKHIR: 7 HARI LAGI".

FRED (25) muncul di pintu, jaket kulit hitam dan wajah tegang seperti biasa. Bau parfum mahal menyeruak masuk ke ruangan pengap, kontras dengan kehidupan Sella. Fred yang tinggi tegap 181cm itu selalu tampil sempurna.

FRED (suara datar tapi mendesak)

"Rumah kosong di Bukit Golden Permai. Area elit, lingkungan sepi. Pemiliknya konglomerat Taipei Taiwan, sedang di luar negeri 6 bulan. Cuma ambil dokumen saham dari brankas, sudah ada pembelinya."

SELLA (berjalan ke jendela, memandang lampu kota yang berkilauan)

"Kita bukan pencuri, Fred. Aku... aku lelah hidup seperti ini."

FRED (mendekat, suara sedikit melunak)

"Tidak akan ada yang terluka. Hery handle sistem keamanan dari mobil, aku yang ambil dokumen, kau yang jaga pintu dan komunikasi. Lima belas menit, selesai. Hasilnya cukup untuk lunasi semua tagihan Lydia, bahkan sisa untuk modal usaha."

Sella menatap foto Lydia lagi. Adiknya yang sedang tersenyum lebar, seragam putih abunya yang sudah usang tapi selalu bersih. Dia teringat kata-kata Lydia seminggu lalu: "Kak, aku pengin jadi designer terkenal, biar bisa beliin kakak rumah bagus."

SELLA (memutar badan, mata berkaca-kaca tapi suara tegas)

"Oke. Tapi ini... benar-benar terakhir kali. Setelah ini, kita cari kerja halal. Aku janji pada Lydia... dan pada diriku sendiri."

Suara Sella amat keras, menandakan dia serius dan tak ingin disebut maling atau pencuri lagi.

FRED (mengangguk)

"Aku janji, ini yang terakhir. Santailah... besok kita mulai hidup baru."

Hery mendekati Sella yang mulai terisak, Fred keluar memberi mereka ruang udahnya izin pulang tapi ke Hery saja karena tau kondisi Sella sedang kurang sip.

HERY

"Kamu kenapa, hari ini agak lain.. ada tekanan lain?"

SELLA (menangis terisak)

"Kedai Pak Husein tutup, Ry... aku nganggur lagi. Lydia butuh uang untuk les gambarnya... dia bilang mau ikut lomba... huu... malang banget nasib kita..."

HERY (memeluk bahu Sella)

"Iya aku dengar tadi dari Bu RT. Tapi sabarlah... pasti ada jalan keluar. Aku janji akan bantu kamu. Sepuluh tahun kita berteman, aku gak pernah tinggalkan kamu susah."

ADEGAN 3:

PERSIAPAN MERAMPOK RUANG KOSONG DI GUDANG – SORE HARI

Hery sedang asyik mengepak tas ransel besar dengan semangat berlebihan. Berbagai barang tak penting bertebaran di lantai.

HERY (sambil memasukkan pistol mainan)

"Oke, kita bawa apa aja nih? Pistol air? Tas hitam? Atau... (berdiri tegap) HATI BERSIH DAN NIAT SUCI!"

SELLA (yang sedang memeriksa earpiece, geleng-geleng)

"Kau serius, Ry? Kita mau merampok, bukan retreat rohani. Lagian pistol air buat apa?"

HERY (sambil memasukkan sendal jepit ke tas)

"Ini buat ganti sepatu kalau kehujanan. Perencanaan matang, Sel! Bandit profesional harus siap segala kondisi!"

FRED (masuk dengan membawa tas alat, melihat isi tas Hery)

"Kau bawa apa saja? Kok kayak mau berkemah 3 hari? Kita cuma butuh 15 menit di dalam."

HERY (bangga menunjukkan isi tas)

"weiissss…, Emergency kit lengkap! Ada mi instan 3 rasa, senter cadangan, power bank 20.000 mAh, tissue basah dan kering, obat maag..."

(sambil mengangkat kotak P3K kecil)

"...dan ini yang paling penting - plester karakter Hello Kitty! Buat hias luka biar lucu dan tetap fashionable..!"

SELLA (memandang Hery dengan campuran kasihan dan jengkel)

"Kau yakin kita butuh semua itu? Kita bukan mau piknik, Ry."

HERY (sok bijak sambil memasukkan botol saus sambal)

"Preparation is key! Kata orang bijak: lebih baik bawa sendal jepit daripada telanjang kaki! Eh, tapi kalau mau telanjang kaki juga gak apa-apa sih... hemaaat..."

FRED (mengambil tas Hery dan mengeluarkan sebagian barang tidak penting)

"Fokuuus Ry. Kita butuh alat hacking, sarung tangan lateks, komunikasi, dan pistol air pun sebenarnya tidak perlu. Bukan mi instan dan plester Hello Kitty."

HERY (merengep sambil memeluk mi instan)

"Weisss... mi instan penting untuk moral! Bayangkan kalau kita lapar saat mengintai? Atau siapa tau kita ketangkep, kan bisa masak di sel... Eh, tapi di sel gak ada kompor ya? (mendadak semangat) Ya sudah, aku bawa kompor portable juga deh..!"

SELLA (merebut mi instan dari tangan Hery)

"Sudah, Ry! Fokus! Ini urusan serius. Ingat kejadian terakhir? Kita hampir masuk penjara!"

Hery akhirnya mengangguk lesu, ternyata tas yang asli udah ada di depan, dia sengaja nge-prank saja aslinya hanya bawa 1 tas saja.

Lalu keluar dengan santai sambil tertawa puas… “ ha ha haa… kena kalian, ini doang wee…”

SELLA

“ hadeeehhh…”

ADEGAN 4: RUMAH MEWAH BUKIT PERMAI - MALAM GELAP GULITA

MOBIL CIVIC HITAM FRED- PARKIR 100 METER DARI LOKASI

Hery duduk di kursi depan dengan tiga laptop terbuka. Jari-jarinya menari cepat di keyboard.

HERY (via earpiece, suara profesional)

"Kamera perimeter sudah aku disable. Sensor gerak nonaktif. Alarm utama sudah aku redirect ke server dummy. Kalian punya waktu dua puluh menit mulai... sekarang!"

DI DALAM RUMAH MEWAH

Rumah itu benar-benar seperti museum pribadi. Lantai marmer Italia mengkilap, lampu kristal Swarovski berjuntai, lukisan-lukisan original terpajang di dinding. Sella gemetar di depan brankas besar di ruang belajar, sambil sesekali melirik ke pintu masuk.

FRED (bekerja membuka brankas dengan alat khusus)

"Lapisan pertama terbuka. Tinggal lapisan digital... 30 detik lagi."

Sella bernapas amat berat, keringat dingin membasahi punggungnya. Dia melihat foto keluarga di meja - seorang ayah, ibu, dan dua anak yang tersenyum bahagia.

SELLA (berbisik pada diri sendiri)

"Tuhan... ampuni aku... ini untuk Lydia... ini terakhir kali..."

Tiba-tiba, tanpa tanda sama sekali, lampu ruangan menyala terang-benderang.

MIKE ZHANG (60an) berdiri di atas tangga, memakai robe sutra hitam dan jam Rolex platinum. Wajahnya tenang tapi mata hitamnya menatap tajam seperti elang.

MIKE (suara dalam, berwibawa)

"Sudah kuduga kau akan datang, Frederick. Tapi... (matanya beralih ke Sella) ada tamu tak terduga rupanya.."

Fred membeku di tempat, alat di tangannya berhenti bergerak. Tapi Mike tidak melihatnya. Matanya tertuju penuh pada Sella, seolah mengenali sesuatu yang sangat berharga.

MIKE (langkah mendekat perlahan, suara tiba-tiba berubah lembut)

"Dan kau... (berhenti dua langkah dari Sella) pasti Marsella. Kamu... mirip sekali dengan ibumu."

Sella seperti ditelan bumi, kakinya lemas. Mike mengeluarkan foto lama dari saku robenya - Sella kecil berusia lima tahun dengan ibu mereka yang masih cantik dan tersenyum bahagia.

MIKE (jari menelusuri foto dengan penuh kerinduan)

"Putriku... akhirnya kita bertemu."

SELLA (terduduk lemas di lantai marmer, tak percaya)

"Haaahh.... Tidak mungkin..."