5. LAzy Prince
Chapter 5
"Of course. I'm fine," jawab Alicia dengan nada acuh.
Sikap Alicia memang sedikit unik, ia selalu menjaga jarak dengan siapa pun termasuk Ford yang merupakan manajer sekaligus kekasihnya.
Ford mendekati Alicia dan membelai rambutnya. Gerakannya sangat lembut dan penuh kasih sayang. "Kau marah padaku?"
"Apa hakku marah padamu?"
"Ayolah, kau sangat manis jika marah, sayangku," kata Ford dengan mesra.
"Kau manajerku sekaligus kekasihku. Jadi, kau berhak memanfaatkan kekasihmu ini, tepatnya kau bisa memeras tenagaku sesukamu," ucap Alicia dengan nada ketus.
Ford menghela napasnya, ia tidak terkejut mendengar ucapan pedas yang terlontar dari bibir Alicia.
"Kau kasar sekali, sayangku. Kita adalah pasangan yang paling serasi. Suatu saat kita akan membangun bisnis kita, membangun sebuah agensi model melebihi Le Model," kata Ford dengan nada lembut.
Alicia mencebik. Ia memutar bola matanya dengan enggan. Ford memang kekasih dan manajernya hingga lupa kalau Alicia juga punya hak untuk memilih. Sejauh ini Ford justru bersikap seolah memiliki hak penuh atas dirinya, selalu mengambil keputusan tanpa menanyakan terlebih dulu apakah dirinya bersedia atau tidak menerima pekerjaan hanya karena Ford berhasil meyakinkan semua pihak bahwa Alicia bisa menjadi model tanpa harus wajahnya diekspos kamera secara keseluruhan.
Perjuangan Ford meyakinkan banyak pihak memang tidak mudah, banyak yang menolak gagasannya, tetapi seiring berjalannya waktu justru banyak yang tertarik dengan foto Alicia yang yang tidak pernah memperlihatkan secara keseluruhan wajahnya dan Alicia mulai mendapatkan ketenaran di Rusia karena kecantikannya yang seolah memiliki label : Bukan untuk konsumsi publik.
"Bagaimana jika kita pergi ke club malam ini untuk merayakan kontrak barumu?" Ford membungkukkan badannya, ia mengecup pipi Alicia pelan .
"Kau menghabiskan uangku," jawab Alicia dengan nada enggan, tubuhnya kaku selaku kayu karena kecupan Ford di pipinya.
"Terkadang kita juga perlu bersenang-senang, sayangku," ucap Ford dengan nada sangat halus dan terdengar sedang membujuk Alicia.
Kembali bibir Alicia mencebik, ia tahu persis jika mereka pergi ke club bukan Ford yang membayar tagihan mereka, tetapi Alicia yang harus kehilangan uangnya untuk beberapa botol alkohol yang dipesan Ford dan teman-temannya.
"Aku tidak tertarik menghamburkan uang untuk hal tidak penting."
"Uang itu hasil kerja keras kita, Sayang, aku memasarkanmu dan kau bekerja dengan baik. Kita tidak menghamburkan uang, kita hanya bersantai." Kata Ford sembari mengecup kembali pipi Alicia dan bibir Ford hendak menyentuh bibir Alicia, tetapi secepat kilat Alicia berpaling dan memundurkan tubuhnya.
Ford menghela napas. "Oh. Maafkan aku, sayangku. Kau masih belum siap?"
Dada Alicia naik turun dan menatap Ford dengan gusar. "Ya. Aku belum siap. Dan kuharap kau tagu batasannya."
Ford mendengus kesal, bagaimanapun juga ia adalah pria dewasa normal yang memerlukan pelampiasan hasrat. Sementara kekasihnya seperti mengalami cacat sexual. Jangankan untuk berhubungan badan, Alicia bahkan terang-terangan menolak walau hanya sekedar ciuman di bibir. Entah cara pemikiran kuno seperti apa yang ada di dalam kepala Alicia, menurut Ford, Alicia adalah wanita kuno karena menganut paham no sex before married. Padahal mereka hidup di benua Eropa, hal-hal seperti itu bukanlah sesuatu yang tabu.
"Aku ingin pergi ke supermarket," kata Alicia sambil berusaha bangkit dari duduknya dan mematahkan suasana canggung yang tentu saja membentang di antara mereka berdua.
Ford menggaruk kulit lehernya yang sama sekali tidak terasa gatal, alisnya tampak sedikit berkerut. "Kau bisa pergi sendiri, jangan bawa Halifa, dia masih memiliki beberapa urusan pekerjaan," katanya.
"Baiklah. Sampai jumpa besok, Ford," ucap Alicia sambil bergegas melangkah menuju pintu lalu menarik gagang pintu dan meninggalkan ruangan itu.
"Hati-hati berken...."
Belum selesai Ford mengucapkan kalimatnya wanita yang ia anggap sebagai kekasihnya itu telah menghilang dari pandangannya. Ford menggelengkan kepalanya kemudian ia kembali duduk di kursi kerjanya. Meraih ponselnya dan jemarinya menari di atas ponselnya untuk menulis pesan.
****
London.
William memasuki mansion mewah yang ditempati keluarganya. Seharusnya ia juga tinggal di sana tetapi sejak dua tahun yang lalu ia memilih tidak lagi tinggal di sana dan tinggal di pent house milikinya.
"Sidney...." William menyapa Sydney Johanson, adiknya. Gadis bermanik mata berwarna Hazel dan berparas amat manis itu sedang duduk di ruang keluarga sendirian sambil memegangi sebuah tabloid fashion di tangannya.
Mendengar suara memanggil namanya, Sidney mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. "Willy, kau sudah kembali?"
"Aku baru saja mendarat," jawab William sambil melepaskan mantel yang membungkus tubuhnya dan meletakkannya di atas sofa begitu saja.
"Kau ingat rumahmu juga rupanya," kata Sidney sambil terkekeh, gadis itu mengejek kakaknya yang jarang kembali ke tempat tinggal mereka. Sidney kemudian itu mengubah posisi duduknya menjadi bersila dia atas sofa.
"Hasil pameran perhiasan asistenmu yang akan menjelaskan, aku tidak terlalu mengerti," kata William dengan nada kesal.
"Kau memang saudara yang baik, terima kasih telah membantuku."
"Cih...." William berdecih karena harus berkorban waktu dan tenaga untuk adiknya yang satu ini. "Di mana saudaramu yang pemalas itu?"
William menanyakan di mana Leonel Johanson berada. Leonel dan Sidney, mereka adalah saudara kembar. Andai saja Grace tidak pergi meninggalkan keluarga itu mereka bisa dikatakan kembar tiga, sayangnya Grace lebih memilih meninggalkan keluarga Johanson, menanggalkan nama belakang lalu kini menghilang entah ke mana. Memikirkan Grace selalu sukses membuat perasaan William ingin mencekik leher adiknya itu hingga gadis itu memohon ampun, menangis lalu meminta maaf.
Sidney mengedikkan bahunya. "Di mana lagi dia, tentu saja di kamarnya. Tidur dan bermain game adalah hidupnya."
Adik perempuannya yang pernah menghilang itu tampak menggemaskan saat menggerutu membuat William tersenyum simpul, adiknya secantik ibunya. Bahkan bisa dikatakan adiknya adalah perwujudan ibunya ketika muda, memang begitu. William telah sering melihat foto-foto ibunya ketika muda dan memang benar Sidney adalah perwujudan ibunya.
"Dan di mana Alexa?" William menayangkan keberadaan adik bungsunya yang bernama Alexandria Johanson.
"Dia ada di kamarnya," jawab Sidney. Ia mendongakkan kepalanya menatap kakaknya kemudian melanjutkan ucapannya, "dia berulang kali menanyakanmu, rupanya dia sangat merindukanmu."
"Aku akan menemui Alexa nanti setelah aku bertemu Leonel," kata William sambil berlalu meninggalkan Sydney menuju kamar di mana Leonel berada.
Benar kata Sydney, Leonel sedang duduk sambil memegang stik gamenya, rambutnya tampak berantakan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya. Manik matanya yang berwarna biru tampak begitu fokus mengarah ke layar televisi di depannya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu bahkan tidak menyadari kehadiran William.
Dengan satu gerakan William mencabut kabel penghubung televisi dan listrik hingga membuat layar televisi menjadi gelap seketika.
"Shit!" maki Leonel. "Apa yang kau lakukan? Kau mengganggu kesenanganmu saja." Ia menatap kakaknya dengan tatapan kesal.
Leonel yang kesenangannya terganggu dengan kasar ia mengacak-ngacak rambut di kepalanya hingga rambutnya yang berantakan semakin terlihat tidak karuan sementara sebelah tangannya masih memegang stik gamenya.
William tersenyum melihat tingkah adiknya yang pemalas itu. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan? Kau hanya bermain game dan tidur sepanjang hari," tanyanya.
"Untuk apa aku membayar karyawan dan sekretaris jika aku masih harus bekerja dan berdiam di perusahaan sepanjang hari?" Leonel meletakkan stik game di lantai kemudian ia menguap dengan lebar dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan otot-otot tubuhnya.
William berjalan menjauhi adiknya, kamar Leonel benar-benar minim udara segar dan cahaya matahari. Tangannya membuka gorden jendela yang masih tertutup rapat agar cahaya matahari masuk. Kamar adiknya itu lebih mirip seperti gua yang dihuni oleh seekor ular phyton, ular itu hanya keluar dari sarang ketika ia merasa lapar. William bahkan tidak yakin adiknya itu pernah terpapar sinar matahari lebih dari lima belas menit dalam sehari.
"Aku memiliki tugas untukmu," kata William.
TAP BINTANG KECIL DI POJOK KIRI BAWAH LAYAR PONSEL KALIAN DAN JANGAN LUPA JEJAK KOMEN!
TERIMA KASIH
??
