Pustaka
Bahasa Indonesia

YOU COMPLETE ME

100.0K · Tamat
Yantie Wahazz
88
Bab
156
View
9.0
Rating

Ringkasan

Pertemanan yang Malik jalin bersama Isha semenjak mereka masih anak-anak berujung permusuhan karena sebuah kesalahpahaman. Satu sama lain saling menjauh. Apalagi ketika suatu ketika Malik mengatakan bahwa dia memang mencintai Isha, sehingga Isha marah dan menuduh Malik mengkhianati persahabatan mereka dengan membiarkan perasaan cintanya berkembang untuk Isha. Malik yang pasrah hanya bisa mencintai dalam diam dan putus asa ketika mendengar Isha akan dipersunting oleh laki-laki lain. Namun, sepertinya takdir sedang mempermainkan mereka ketika Malik justru mengajukan diri untuk menggantikan posisi Murad, laki-laki yang hendak menikahi Isha tetapi justru tidak hadir pada hari yang dijanjikan. Bagaimana Isha mengambil sikap? Apakah dia menerima uluran tangan Malik untuk menyelamatkan nama baiknya dan menerima pernikahan itu? Atau memilih menolak dengan banyaknya konsekuensi yang harus ditanggungnya? Jika memang Isha membenci Malik, mengapa dia membenci semua perempuan yang dekat dan mendekati Malik?

RomansaIstriLove after MarriageKeluargaPernikahan

1 : IZINKAN SAYA

Rumah Ridwan Ghazali terlihat ramai sejak beberapa hari ini. Beberapa orang tetangga lalu lalang di sekitar rumah besar ini. Beberapa mobil tamu undangan yang mulai berdatangan bahkan sudah mulai berjajar rapi di sepanjang jalan menuju ke rumah Ridwan. Beberapa saudara dan kerabat yang datang dari luar desa bahkan dari luar kota juga kelihatannya sudah mulai datang dan bahkan menginap di rumah Ridwan.

Tentu saja wajar karena hari ini, di rumah besar keluarga Ridwan akan diadakan pesta pernikahan putri mereka satu-satunya, Syalaisha Ghazali dengan rekan di kantornya. Semua kerabat turut berbahagia karena akhirnya Isha —panggilan keseharian gadis ayu itu— menikah setelah sekian waktu terus menunda-nunda.

“Sebentar lagi penghulunya datang, Mbak Isha. Bagaimana dengan calon pengantin prianya? Belum bisa dihubungi?” tanya Dewi dengan suara lirih di dekat Isha yang sedang duduk dengan beberapa perias pengantin yang meriasnya.

“Tak bisa dihubungi sejak subuh tadi, Dew,” jawab Isha dengan gelisah.

Raut wajahnya yang seharusnya cantik dan berseri, kini terlihat sangat resah. Apalagi bapak dan ibunya berulang kali datang menanyakan kabar Murad, calon suami Isha.

“Coba dihubungi lagi keluarganya atau temannya gitu, Mbak? Kok, saya ikutan cemas ini. Masalahnya sudah hampir tiba waktu ijab qabul,” ujar Dewi lagi.

Tangan Isha yang gemetar segera mengambil ponsel yang diletakkan di dekatnya dan mencoba menghubungi Murad kembali. Akan tetapi hasilnya tetap sama, tidak aktif. Menghubungi teman Murad pun sia-sia karena Isha tak mengenal siapa saja teman Murad.

“Nggak bisa dihubungi, Wi,” Isha menatap Dewi, sepupunya itu dengan penuh kepanikan.

“Kita tunggu saja sebentar, mana tahu dia menghubungi. Mbak Isha yang tenang, ya?” ujar Dewi menenangkan Isha, meski sejujurnya Dewi sendiri ragu.

Mana ada pengantin yang tak bisa dihubungi pada hari H seperti ini? Jangankan telepon, pesan pendek saja tak dia kirim. Dewi sebenarnya mulai curiga, jangan-jangan laki-laki itu mangkir?

Kemudian Ridwan dan istrinya masuk kembali ke dalam ruang rias itu dengan wajah yang mulai terlihat marah. Ridwan melihat Isha yang juga gelisah itu berkaca-kaca matanya, menatap dirinya. Isha kehilangan kata-kata pembelaan atas keteledoran Murad kali ini, karena sesungguhnya Ridwan dan istrinya kurang setuju dengan pilihan Isha. Akan tetapi mereka tak bisa mencegah atau kehadiran Murad karena sepertinya Isha sudah jatuh cinta dengan laki-laki tampan itu.

“Bagaimana ini, Nduk? Pak penghulu sebentar lagi datang sementara Murad tidak ada tanda-tanda akan datang. Bagaimana kalau tidak datang?” tanya Ridwan dengan nada yang mulai terdengar tinggi. Kegelisahannya berujung pada rasa tak sabar.

“Pak, jangan bilang seperti itu. Mungkin saja memang sedang ada kendala?” Rosminah ibu Isha menengahi untuk menetralkan keadaan yang mulai panas.

“Jadi aku harus bilang apa lagi, Bu? Ini sudah melewati batas kesabaran? Semua saudara dan tetangga sudah datang. Semua persiapan sudah matang dan siap dilangsungkan. Kalau sampai calon pengantin tidak datang, apa kita tidak malu?” Ridwan menatap istrinya dengan kesal.

“Saya tahu, Pak. Tapi ini di luar dugaan. Mudah-mudahan bukan karena sebuah kesengajaan. Kita tunggu beberapa saat lagi,” ujar Rosminah mencoba meredakan amarah suaminya.

“Bagaimana kalau dia tidak datang?” tanya Ridwan dengan suara lantang, membuat semua yang ada di ruangan itu seakan terbius dan memilih diam tak menjawab apalagi bergerak.

“Kita doakan saja agar Murad datang, Pak,” ujar Rosminah penuh kesabaran.

“Sudah sejak awal aku punya firasat yang tidak baik dengan lelaki itu. Tapi anakmu itu tak bisa dibilangin. Begini, kan, akibatnya? Semua akan menanggung malu!” Ridwan mulai mengomel.

Hening, hanya isak tangis Isha yang mulai terdengar. Para perempuan perias pengantin hanya bisa diam, sesekali mengambilkan tisu untuk mengusap air mata Isha agar tidak membuat wajah cantiknya berantakan.

“Sudah, Mbak. Berdoa saja agar pengantin prianya datang di waktu yang tepat, Mudah-mudahan semua baik-baik saja,” bujuk Dewi sambil memberikan tisu lagi pada Isha.

Perempuan itu mengangguk lemah. Dia benar-benar kecewa dan tak tahu harus berbuat apa. Bingung setengah mati. Dia tak menyangka bahwa hari bahagia yang dia impikan selama ini akan hancur dalam sehari, meskipun belum terjadi tetapi sepertinya akan benar-benar terjadi.

“Kalau dalam setengah jam dia tidak datang atau tidak memberi kabar apapun, kita batalkan semuanya!” putus Ridwan dengan suara tegas, kemudian meninggalkan tempat itu dengan marah.

“Pak?” Rosminah memanggil Ridwan, tetapi juga menoleh ke arah Isha yang semakin terisak. Dia bingung harus mementingkan siapa. Di satu sisi ada Isha yang butuh dukungan, sementara di sisi lain Ridwan butuh diredakan.

“Budhe meredakan emosi pakdhe saja dulu. Biar mbak Isha sama saya,” Dewi akhirnya menengahi kebingungan Rosminah.

“Titip Isha sebentar, ya, Wi,” ujar Rosminah yang kemudian bergegas menyusul Ridwan yang sedang emosi. Perempuan itu tergopoh-gopoh keluar. Sementara Isha masih menangis meratapi nasibnya yang malang.

***

Jika di dalam rumah ada ketegangan, maka di barisan kursi tamu undangan, seorang laki-laki duduk dengan gelisah dan wajah yang sangat murung. Jantungnya semenjak tadi berdegup tak menentu. Kado berupa mushaf tebal yang dibungkus dengan rapi masih dipegangnya dengan tangan yang gemetar dan berkeringat.

Dia adalah Malik. Teman bermain Isha sejak kecil. Akan tetapi pertemanan mereka memburuk dalam beberapa tahun ini. Dia duduk menyendiri di barisan belakang. Dia sedang menyiapkan hatinya jika nanti Isha akhirnya sah dipersunting oleh kekasih hatinya.

Ya, sebentar lagi Isha akan dipersunting oleh Murad secara sah. Apalagi pak penghulu juga sudah datang beberapa menit yang lalu. Malik tahu dia akan patah hati dan perasaannya akan hancur lebur. Akan tetapi tak bijak jika menunjukkannya di hadapan semua orang. Kedua orang tuanya yang duduk di sebelahnya beberapa kali menepuk bahu Malik untuk menenangkan anak lelaki mereka.

“Kamu yang tenang, Mal. Ada Tuhan yang mengatur semuanya.” Aminah ibu Malik memberikan nasehatnya untuk menguatkan Malik. Dia tahu apa yang dirasakan Malik.

Malik hanya mengangguk, tetapi kakinya yang bergerak konstan menunjukkan betapa gelisahnya dia.

“Mungkin dia bukan jodohmu. Kamu harus berani menerima kenyataan.” Aiman ayah Malik ikut memberikan nasehat.

Ini adalah ujian besar di dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun lamanya dia memendam perasaannya, sekarang juga dia harus menghempaskan hatinya hanya untuk kecewa. Tapi dia tak mungkin memaksakan kehendaknya pada Isha. Bagaimanapun, Isha berhak menolaknya.

“Sepertinya acara akan bubar,” seorang tamu undangan berbisik dengan tamu yang lain yang ada di barisan kursi depan Malik. Akan tetapi Malik bisa mendengarnya dengan jelas.

Dia terkesiap dan segera menoleh ke arah tamu, kemudian menata ayah dan ibunya.

“Bubar? Bubar bagaimana, Mas?” tanya Malik membetulkan letak kacamata yang selalu dikenakannya semenjak masuk kuliah itu.

“Iya, Mas. Calon mempelai laki-lakinya belum datang juga dan tak bisa dihubungi,” jawab si tamu dengan suara rendah.

Malik mengangkat pandangannya dan melihat semua tamu memang terlihat kasak kusuk.

“Di dalam sedang bersitegang,” kata tamu yang lain.

Tak berpikir panjang lagi, Malik berdiri dan bergegas memasuki rumah besar Ridwan.

“Mal? Kamu mau kemana?” tanya ibunya dengan heran.

Tak peduli dengan pertanyaan ibunya dan beberapa orang yang menatapnya. Malik terus saja memasuki ruang tamu rumah itu yang dia hafal betul karena dulu dia sering bermain ke rumah ini. Aiman dan Aminah segera menyusulnya.

Ketika Malik tiba di ruang tengah rumah itu, memang sedang terjadi ketegangan. Bahkan terdengar tangisan lirih yang Malik pastikan bahwa itu adalah suara Isha. Tekad Malik semakin bulat.

“Mal, apa yang sedang kamu lakukan?” bisik Aminah ketika dia dan suaminya berhasil menyusul langkahnya yang lebar.

“Saya harus menyelamatkan acara ini, Bu. Saya tak akan membiarkan mereka mempermalukan Isha,” gumam Malik dengan jelas dan tegas.

“Tapi, Mal? Mereka belum tentu setuju,” bisik Aiman.

“Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencobanya, Yah. Saya minta restunya untuk menyelamatkan mereka.” Tekad Malik sudah bulat kini.

Aiman dan Aminah saling pandang hanya untuk pasrah. Sudah saatnya mereka membiarkan Malik menentukan langkahnya sendiri. Malik sudah besar, sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Toh selama ini langkah Malik selalu penuh perhitungan.

“Ini sudah melebihi batas toleransi, Bu. Aku tidak bisa menunggu lagi. Kita batalkan saja pernikahan ini. Biar saja kita semua malu. Ini semua gara-gara anakmu itu tak bisa dinasehati!” ujar Ridwan dengan muka memerah karena marah.

Sementara Rosminah terlihat tak punya cara lagi untuk membujuk suaminya itu, Bagaimanapun suaminya itu benar, mereka sudah menunggu sejak tadi, akan tetapi tak ada kabar sama sekali dari pihak Murad.

“Kita memang benar-benar akan dipermalukan! Kita bubarkan saja semua!” ujar Ridwan dengan suara marah.

“Pak, mengapa kita tidak menunggu beberapa saat dulu?” tanya Rosminah dengan sama paniknya dengan suaminya.

“Menunggu? Harus berapa lama lagi kita menunggu sesuatu yang tak bisa kita pastikan? Tidak bisa ditelepon, tidak bisa dihubungi. Apakah kita harus menunggu orang seperti itu?” hardik Ridwan dengan marah.

“Tunggu, Om,” Malik menyela.

Semua orang yang berkumpul di ruang tengah itu menatap Malik. Begitupun dengan Isha. Perempuan itu menatap Malik dengan kesal. ‘Apa maunya laki-laki ini? Ingin menjadi pahlawan di siang bolong?’ batin Isha yang semakin donhgkol karena Malik hadir di saat yang tidak tepat. Bahkan Isha berasumsi bahwa Malik akan menertawakannya. Namun, laki-laki tinggi berkulit bersih itu tak mempedulikan tatapan semua orang yang ada di ruangan itu. Dia berjalan mendekati Ridwan.

“Malik?” gumam Rosminah dengan raut bingung.

“Maaf jika saya lancang, Om. Saya hanya ingin membantu agar keluarga Om Ridwan tidak akan dipermalukan,” ujar Malik dengan penuh percaya diri.

“Apa maksudmu, Mal? Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda,” tanya Ridwan dengan tegas.

“Saya tidak bercanda, Om. Ijinkan saya menggantikan Murad menikahi Isha,” pinta Malik dengan tegas dan penuh keyakinan.

“Ha?” seluruh keluarga yang ada di ruang tengah ini terpukau dengan ucapan Malik.

“Apa?” terdengar suara Isha memekik tak percaya.

***