2. Fakta Mencengangkan
Tubuh Raellyn kontan kembali bergetar. Emosinya mulai didominasi oleh amarah. Dia tidak percaya akan mendapatkan tuduhan tidak terhormat dari pria yang baru dia temui. Merasa terhina, Raellyn kontan menatap tajam pada sang Direktur.
“Sebuah komitmen dalam hubungan asmara tidak harus didahului dengan kehamilan dan seorang anak, Pak Direktur.” Melihat sang Direktur mengangkat kedua alisnya perlahan-lahan. Raellyn mengangkat kembali pisau lipatnya tepat di hadapan sang Direktur, mengambil resiko untuk kembali menantangnya atas bekal pengetahuan yang dia dapat dari Arsene. “Kau itu pria yang berpengalaman dengan wanita. Harusnya kau tahu bahwa kehamilan bisa dicegah saat kau tidak menginginkannya.” Sesaat Raellyn bisa melihat ada kedutan kecil di ujung bibir sang Direktur.
“Kau bisa menurunkan pisau lipatmu, Miss Raell. Namun jangan kira aku akan mengakuimu sebagai seorang wanita terhormat. Sebab seorang wanita terhormat tidak akan pernah bertingkah barbar seperti dirimu sekarang ini.” Jemari sang Direktur berhenti mengetuk-ngetuk meja. “Yang pasti, aku tidak bisa memahami apa yang kau butuhkan dariku sebagai bentuk pertanggung jawaban yang kau mau sekaligus memuaskan kata sepadan yang sejak tadi kau ucapkan padaku. Mengapa tiba-tiba aku dilibatkan dalam kisah asmara kalian?”
Arnav menggeser tempat duduknya, jas yang menutupi pundak lebarnya tertarik mengikuti gerakan. Ketika itu pula Raellyn bersumpah bahwa rompi berwarna hijau tua yang dikenakan oleh sang Direktur adalah rompi terbaik yang pernah dilihat oleh si gadis sejauh dia hidup.
“Semua yang aku sampaikan ada dalam catatan yang terselip dalam berkas yang kau terima.”
Pria itu menaikan sebelah alisnya. Kemudian membuka lembar pertama. Disana Raellyn memang telah menyiapkan sebuah catatan kecil dari tulisan tangannya. Inti dari seluruh aksinya hari ini. Arnav terlihat menyangsikannya.
“Catatan kecil ini lebih seperti penggambaran atas malapetaka dan ancaman atas terjadinya skandal dan juga kematian dalam keluargaku khususnya untuk adikku yang nakal Arsene.” Dia kemudian menutup kembali berkas tersebut. Pria itu justru enatap kearah Raellyn dengan penuh minat. “Semua orang tahu bahwa hubungan cinta tidak akan bisa berjalan hanya karena satu orang saja. Tapi baiklah akan aku kesampingkan soal itu, aku akan mencoba untuk menerka inginmu dengan cepat. Mari kita berdua bicara soal bisnis sekarang. Apa yang kau inginkan dariku? Uang? Rumah? Emas permata? Tentukan sekarang, karena aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni perempuan antah berantah sepertimu.”
Raellyn kontan lagi-lagi merasa bahwa harga dirinya telah diinjak dengan kalimat yang baru saja pria itu lontarkan. Wanita itu secara konstan langsung melempar pisau lipat yang ada ditangannya. Pergerakan yang cepat tadi membuat Arnav langsung berhenti melakukan pergerakan untuk menghindari benda itu menyabet kepalanya. Padahal Arnav baru saja hendak membuka laci meja kerjanya. Entah mau mengambil apa.
“Kau beruntung memiliki kemampuan refleks yang bagus, Sir. Jika tidak mungkin kali ini kepalamu yang terluka.” Raellyn menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk tidak termakan amarah meskipun nyatanya rasa itu telah lebih dulu berkobar di dalam dirinya.
“Oh, dan apakah seorang pria terhormat tidak bisa menyaring ucapannya sendiri? coba balik posisinya sekarang. Jika kau memiliki saudara perempuan dan seseorang pria kurang ajar memperdayai dan memikatnya dengan sebuah janji suci akan cinta dan pernikahan. Lalu tiba-tiba saja mencampakannya begitu saja dengan menikahi perempuan lain. Balasan seperti apa yang akan kau tuntut dari dia? Apakah cukup dengan uang? Rumah? Emas permata?” tanya gadis itu sembari mengetukan jemarinya pada pegangan kursi yang terbuat dari kayu secara konstan. Arnav sendiri malah balik memberinya sebuah senyuman yang Raellyn artikan sebagai sebuah senyum menyebalkan.
“Ya, kau benar. Kurasa hanya kematian yang sepadan dengan itu.” Mendengar jawaban dari Arnav sontak Raellyn goyah, ketukan yang dia buat langsung terhenti, wajahnya mengkerut tidak senang. Pria ini sudah gila kah?
“Aku tidak menginginkan kematian Arsene.” Entah mengapa tiba-tiba saja perut Raellyn bergejolak hanya karena memikirkan kemungkinan buruk tersebut. “Membicarakan kematian adikmu dengan sangat mudah membuatku sadar bahwa reputasimu benar-benar buruk Direktur Arnav.”
Anehnya bibir sensual pria itu malah menyeringai geli dan bukannya tahu diri, hal yang membuat Raellyn semakin geram padanya.
“Aku sedang tidak membicarakan soal Arsene, aku sedang membicarakan tentang kematian pria kurang ajar yang menggoda dan mencampakan adik perempuanku, hasil dari rekaanmu sendiri beberapa saat lalu.” Bahkan kalimat yang dia sebutkan terdengar main-main seolah sengaja untuk mengejek Raellyn.
“Jangan berbelit-belit Sir Arnav. Intinya aku menuntut pertanggung jawaban dari adikmu. Dia harus menikahi aku!” tegas Raellyn, suaranya meninggi.
“Permintaanmu ditolak.” Kali ini Raellyn bisa melihat betapa seriusnya pria itu. Dia sudah seperti sebuah bencana, dimana setiap perkataannya, ekspresi wajah yang dibuatnya, terlalu sulit untuk diprediksi. Malah terkesan berubah-ubah laksana cuaca.
“Apa maksudmu ditolak?” Raellyn tentu tidak terima. Usahanya untuk ini akan terbuang sia-sia begitu saja. Padahal dibutuhkan banyak persiapan untuk mendatangi pria ini secara illegal.
Direktur Arnav menaikan sebelah tangannya lagi keatas meja. Membuat telapak tangannya menyangga salah satu pipi pria itu. “Aku tidak bermaksud untuk membuat situasi yang kau buat ini bertambah lucu, Miss. Hanya saja kenyataannya adikku memang sudah menikah. Kau itu hanya selingan bagi Arsene. Ya, bisa dibilang kau selingkuhannya.”
Raellyn melemparkan tatapan gusar ke arah pria itu. “Kau hanya berusaha menutupi kesalahan adikmu! Tidak mungkin aku diduakan dan sudi menjadi selingkuhan orang!”
Senyum tersungging di ujung bibir Arnav. Dia seperti sedang menertawakan Raellyn dan mencelanya dengan ekspresi itu.
Wajah Raellyn memerah dan dia menelan ludah. Bukankah itu pernyataan yang mustahil. Bagaimana bisa? Arsene yang dia cintai tidak mungkin suami oranglain. “Tidak mungkin—”
“Biar aku perjelas kembali situasinya. Adikku sejak awal memang sudah menikah dengan Miss Sylvia. Kau bukan kekasih pertamanya, melainkan wanita simpanannya. Untuk itulah aku hanya akan bisa menawarkan materi. Jika kau bertanya, apa aku percaya bahwa adikku menggodamu? Terus terang saja iya, aku percaya. Sebab hanya wanita gila yang akan menyerbu masuk ke dalam kantorku dengan cara yang tidak terduga. Terlebih aku terkesan karena kau berani menodongkan sebuah pisau lipat sembari menceritakan kisah luar biasa yang bisa dengan mudah dipastikan. Oh … tapi jangan salah, kau itu bukan satu-satunya wanita yang datang padaku dengan cerita yang sama.” Otot di kening Raellyn berkedut lagi. Arnav hanya mengulum senyumnya seolah menikmati setiap perubahan ekspresi dari wajahnya.
“Ah, dari ekspresi yang kau buat aku bisa menebak sepertinya kau masih kesulitan untuk menerima ya? Biar aku persempit lagi persepektifnya. Karena Arsene adalah orang yang terkenal di industri hiburan, mulanya kami mencoba untuk menutupi soal asmaranya. Tapi melihat kini publik sudah tahu soal rahasia kecil itu, kami tidak punya pilihan lain untuk membuat konfirmasi resminya. Sekarang aku bahkan sedang menunggu keponakanku, karena Miss Sylvia sedang mengandung. Kalau kau penasaran kenapa acara pernikahan yang tertulis di koran dilaksanakan secara terlambat. Sebenarnya itu hanyalah penegasan kembali sumpah setia mereka sekaligus sebuah propaganda belaka agar terlihat seperti sebuah pernikahan mereka yang sebenarnya di mata masyarakat.”
