Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Tertangkap Basah

“Apakah kau mendengar yang barusan kudengar?” tanya pria yang mengira bahwa dirinya berhalusinasi.

“Suara Pangeran Kecil?” bisik wanita yang juga terbelalak meski pandangannya remang-remang. “Tapi dia sudah tertidur pulas tadi.”

Selang satu kedipan, Max kembali mendesah. “Haruskah kita memeriksanya? Bisa saja, dia terbangun karena teriakanmu tadi.”

“Tapi aku tidak berteriak sekencang itu,” celetuk Gabriella, malu mengakui kecerobohannya.

“Pekikanmu nyaring, Gaby. Pangeran Kecil bisa saja terbangun,” tutur sang pria meyakinkan. Ia tidak mau jika keegoisan mereka menggeser Cayden dari puncak prioritas.

Sadar bahwa ucapan sang suami memang benar, sang wanita akhirnya membetulkan gaunnya yang tersingkap. “Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujarnya dengan nada kecewa. Selagi ia mulai beranjak, Max pun memerintahkan lampu untuk menyala.

“Lights on!”

Begitu ruangan kembali diwarnai oleh cahaya, Gabriella sontak terkesiap. Cayden sedang berdiri di hadapan mereka sambil menenteng sebuah boneka beruang di masing-masing tangannya. Khawatir jika putranya melihat, wanita itu spontan membenamkan kembali milik sang suami yang masih menantang ke dalam tubuhnya. Dalam sekejap, Max menggigit bibir menahan erangan dan menyembunyikan ekspresi anehnya di balik punggung sang istri.  

“Hai, Pangeran Kecil!” sapa Gabriella dengan nada tegang. “Apakah Mama membangunkanmu?”

Alih-alih merengek, bayi dengan rambut acak-acakan itu malah menunjukkan deretan gigi mungilnya. Sedetik kemudian, ia meninggalkan teman-temannya di lantai dan berlari ke arah sang ibu.

“Mamama Papapa Caca?” ocehnya sembari merangkak naik ke pangkuan Gabriella. Mau tak mau, wanita itu mengangkat putranya, menambah guncangan yang mengeratkan cengkeraman sang suami di pinggangnya.

“Gaby, apakah kau sengaja ingin menghukumku?” bisik Max, hampir meloloskan tawa dari mulut sang wanita.

“Bertahanlah jika kau tidak ingin merusak masa depan putramu,” balas Gabriella dengan volume suara yang sama.

Sambil menarik napas panjang, sang pria mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat bawa Pangeran Kecil ke kamar. Aku tidak akan bertahan lama jika seperti ini.”

Belum sempat sang istri menimpali, Cayden tiba-tiba menggerakkan tubuhnya ke atas dan ke bawah. “Cacacaca!”

Dalam sekejap, alis Gabriella melengkung tinggi. Ia sadar bahwa Pangeran Kecil pasti telah melihat bayang-bayang orang tuanya.

“Oh, apakah kau ingin ikut bermain kuda-kudaan?” tanya wanita itu canggung.

“Cacacaca!” pekik Cayden sambil terus menggenjotkan badan.

Tak memiliki pilihan lain, Gabriella pun membalikkan posisi duduk sang bayi agar menghadap arah yang sama. “Kalau begitu, mari kita lakukan di kamar. Kau bisa mengajak teman-temanmu untuk duduk di punggung Mama.”

Tepat ketika wanita itu hendak bangkit, Max menahan pinggang sang istri agar tidak terpisah darinya. “Kenapa harus di kamar? Lakukan di sini saja. Papa juga ingin ikut bermain,” tuturnya, sukses membelalakkan mata sang istri.

“Apakah kau sudah gila?” tegur Gabriella lewat bisikan. Lirikan matanya mempertegas bahwa Cayden sedang bersama mereka.

Alih-alih membebaskan istrinya, Max malah melanjutkan pergerakan. Selagi Gabriella menahan napas guna menjinakkan degup jantung, Cayden tertawa gembira karena kudanya mulai bergerak.

“Apakah kau gembira, Pangeran Kecil?” tanya pria yang tidak lagi mengecilkan volume suara.

“Max, berhentilah,” pinta wanita yang tidak bisa menguraikan kerut alis. Gejolak dalam dada sudah terlalu membara untuk bisa dipadamkan.

“Kenapa berhenti? Pangeran Kecil baru saja bersenang-senang,” ujar Max seraya meningkatkan ritme.

Sadar bahwa sang suami tidak akan membiarkannya lolos, Gabriella pun menghela napas pasrah. Sembari menjaga Cayden agar tidak terlempar dari pangkuan, ia memejamkan mata dan menggigit bibir. Kerut alisnya perlahan melukiskan pergulatan. Hati ingin meresapi, tetapi pikirannya menegaskan bahwa mereka harus berhati-hati. Tidak boleh ada suara yang memancing keheranan sang bayi.

Selang beberapa saat, hanya pekikan riang Pangeran Kecil yang mengudara. Sesekali, bayi lugu itu tertawa. Rasa kantuknya telah lenyap tertelan keseruan. Ia baru tahu bahwa orang tuanya ternyata pandai meniru kuda.

“Max, aku tidak bisa menahannya lagi. Berhentilah,” pinta Gabriella yang tiba-tiba tertunduk dan menelan ludah. Wajahnya telah bersemu dan keringatnya mengucur terlalu deras.

Mengerti bahwa sang istri sudah kewalahan, Max pun membungkam mulut wanita itu dengan sebelah tangan. Lalu, dengan tangan yang lain, ia membantu Gabriella untuk mengamankan Cayden.

“Tenang saja. Pangeran Kecil hanya akan mengingat malam ini sebagai sebuah keseruan,” bisik sang pria sebelum mengantarkan istrinya menuju puncak. Sang wanita kini hanya bisa mengerutkan alis dan pasrah.

Ketika mereka tiba di tujuan, Gabriella langsung bersandar pada Max. Tenaganya telah habis untuk meredam kegembiraan agar tidak meluap. Sambil bernapas terengah-engah, ia membiarkan Cayden bertepuk tangan dengan penuh semangat. Bayi itu tampak jelas terhibur oleh kuda-kudaan yang tidak seharusnya ia temukan.

“Lihatlah ... Pangeran Kecil turut bahagia karena kita berhasil mengirimkan undangan untuk adiknya,” gurau Max sebelum mengecup pelipis sang istri.

“Kau sungguh gila, Max,” timpal Gabriella sebelum memejamkan mata. Ia harus segera mengumpulkan tenaga untuk menidurkan sang bayi.

Setelah puas mengekspresikan kebahagiaan, Cayden memutar kepala menghadap orang tuanya. “Cacacaca!” pekiknya seraya mengangkat kedua tangan.

Sedetik kemudian, bayi mungil itu bangkit berdiri dan menjatuhkan diri dalam pelukan sang ibu. Mendapat serbuan yang tak terduga, Gabriella spontan membuka mata. Begitu melihat deretan gigi mungil putranya, ia otomatis tertawa.

“Kenapa kau masih bersemangat, Pangeran Kecil? Kau seharusnya sudah bermain di negeri mimpi,” ujar wanita itu sembari merapikan rambut putranya.

“Mungkin karena kemarin dia sudah tidur terlalu banyak,” sahut Max sambil tersenyum simpul. Setelah meletakkan dagu di pundak Gabriella, ia ikut membelai kepala Cayden. “Hei, Pangeran Kecil. Apakah kau mau bermain lagi?”

Mengerti dengan apa yang dimaksud oleh sang suami, Gabriella spontan menoleh dan membelalakkan mata. “Tolong jangan macam-macam, Max! Aku sungguh akan marah padamu jika kau memancing masalah lagi.”

Tawa bahagia spontan terlepas dari mulut sang pria. Wajah kesal istrinya yang menggemaskan memang tidak pernah gagal menghibur hati. “Maksudku, besok .... Mari kita bermain lagi besok.”

“Tetap saja, aku tidak akan melakukannya lagi. Kita tidak boleh mengancam psikologis Cayden,” tegas Gabriella dengan bibir yang agak mengerucut.

Sekali lagi, keceriaan berembus menggelitik telinga sang wanita. “Pangeran Kecil bahkan belum genap dua tahun, Gaby. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”

“Tapi kau harus ingat bahwa anak kita ini seorang jenius. Dia bisa saja memiliki memori yang sangat kuat dan merekam semua tindakan kita dalam benaknya.”

Tak ingin melanjutkan perdebatan, Max akhirnya mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Mulai saat ini, mari kita lebih berhati-hati.”

“Dan jangan memanfaatkan Pangeran Kecil untuk mendapatkanku seperti tadi,” sambung Gabriella sambil menjepit kekesalan di antara alis.

“Ya,” sahut sang pria cepat. Sebisa mungkin, ia menahan sudut bibirnya agar tidak terangkat. “Aku memang agak keterlaluan tadi. Karena itu, bagaimana kalau besok, kau dan Cayden menemaniku pergi menemui klien? Anggap saja itu sebagai permintaan maaf dariku.”

“Permintaan maaf? Menemanimu rapat?” tanya sang wanita sembari menaikkan sebelah alis.

Sembari menyunggingkan senyum simpul, Max menggeser pandangan ke arah bayi yang sedang memainkan tali di pundak Gabriella. “Pangeran Kecil, apakah kau tertarik dengan kapal pesiar?”

Mendengar kata kunci tersebut, bibir sang wanita sontak membulat. Ia kini mengerti mengapa sang suami menawarkan hal itu sebagai permintaan maaf.

“Pal?” celoteh Cayden dengan lengkung alis tinggi,

“Ya. Itu kapal yang sangat besar. Jika pesawat terbang melaju di udara, kapal pesiar melaju di lautan,” terang Max dengan raut yang ekspresif.

Mengerti bahwa sesuatu yang menakjubkan akan segera datang, sang bayi sontak mengangkat kedua tangan dan memekik bahagia. “Cacacaca!”

Sembari membelai kepala putranya, Max melirik ke arah sang istri. “Bagaimana denganmu? Apakah kau juga bersemangat menemaniku bertemu dengan klien?”

Selang satu embusan napas samar, Gabriella melunturkan tampang cemberutnya. “Baiklah," sahutnya dengan nada terseret.

Sesungguhnya, wanita itu masih ingin menghukum Max dengan sikap dingin. Namun, ia tidak dapat memungkiri bahwa suaminya itu memiliki sejuta cara untuk meluluhkan hatinya dan membuat putra mereka tertawa gembira.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel