Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Berawal

"Menikahlah dengan anak saya Dokter."

Satu kalimat yang diucapkan oleh seorang ibu, membuatku hanya bisa diam dan memandang lelaki di depanku ini. Apa yang bisa aku lakukan, menolak atau menerimanya? Permintaan seorang ibu yang sisa umurnya bahkan tidak lebih dari satu tahun ini, untuk melihat anaknya ingin bahagia apapun caranya.

"Ma, cukup! Juang nggak mau." Juang memandangku tajam "Juang udah punya kekasih Ma, Juang bisa nikahin dia Ma, bukan dokter ini."

Juang Gemilang, lelaki di depanku yang kini berdiri dengan angkuhnya ini, menatapku tajam. Seolah aku ini tersangkanya yang membuat ibunya menyuruh menikahiku. Hell! Aku masih punya harga diri. Juang adalah kakak kelasku saat SMP dulu. Lelaki yang pernah ku puja tapi tak pernah bisa ku gapai. Itu dulu, saat aku masih SMP.

Perempuan paruh baya itu menggenggam tangan Juang dan tersenyum lemah. Juang hanya mampu melihatnya dengan tatapan sendu.

"Demi mama! Mama mohon kamu mau menikah dengan dokter Arcinta ya, Nak!"

Juang diam, dia memandang ayahnya yang kini juga sama-sama diam dengan dirinya. Juang mengangguk akhirnya.

"Baik. Juang akan nikahin dokter Arcinta demi Mama, walaupun Juang nggak pernah punya rasa cinta sama dia." Juan memandangku sekilas. "Mama puas sekarang?" Ibu Juang mengangguk.

Juang menyeretku keluar dari ruang inap ibunya. Memandangku tajam seakan mengulitiku.

"Kita akan menikah. Tapi tidak dengan menikah di kesatuanmu. Pernikahan kontrak ini akan kita lakukan."

Wait? Kontrak?

Gila

"Harusnya yang dirugikan itu saya bukan kamu. Tiba-tiba meminta saya untuk menikah denganmu? Bukan suatu impian saya."

"Kalau begitu katakan pada mamaku." Aku mengangguk dan akan masuk, saat akan membuka pintu, lebih dulu papa Juang memandangku sendu.

"Tolong istri saya. Istri saya drop Dokter."

Aku segera masuk, tapi papa Juang menahan tanganku dan tangan Juang. "Menikahlah segera."

Satu kalimat itu berhasil membuat duniaku jungkir balik. Pernikahan yang tidak diinginkannya malah membuatku terjebak dalam kesengsaraan cinta yang tidak aku bayangkan untuk beberapa bulan ke depan.

???

Kehidupan pernikahan yang pernah aku impikan tuh, kayak mama dan papaku, kakek dan nenekku. Setiap hari akan ada tawa, ngobrol ringan maupun berat. Kumpul di meja makan bersama untuk makan. Aku merindukan suasana itu saat ini.

"Nak," panggilan itu sudah ku hapal sejak menginjakkan kaki di rumah besar keluarga Gemilang ini untuk pertama kalinya.

"Iya Ma?" Dania, mama mertuaku yang saat ini duduk di kursi roda, tengah tersenyum teduh padaku. Wajah keriput dan pucat itu menjadi satu.

"Melamunin apa?" Aku menggeleng dan tersenyum.

"Hanya mencoba mengingat jadwal operasi Ma." Mama mertuaku mengangguk.

"Juang ... apa dia nyakitin kamu?" Aku hanya tersenyum dan menggeleng.

Bodoh kamu Cinta, padahal kamu sendiri yang menerima ajakan menikah itu. Sampai enam bulan ini usia pernikahanku dengannya monoton. Tak ada komunikasi yang terjalin sempurna. Juang akan tidur di kamarnya jika dia pulang ke rumah ini dan aku akan tidur di kamarku sendiri, tapi aku sering menghabiskan waktuku di rumah sakit hanya untuk menghindari tatapan tajam Juang. Sedangkan dia, berada di apartemen miliknya, yang aku tidak tahu di mana.

"Ma, Cinta tinggal ke rumah sakit ya." Mama mertuaku mengangguk. "Nanti kalau ada apa-apa, telepon cinta aja." Mama mertuaku mengangguk kembali, dan mengucapkan agar aku berhati-hati.

Aku keluar dengan menenteng sneli dan tas yang biasanya ku bawa. Berjalan menuju garasi tempat city car milikku berada di sana. Jazz manis berwarna pink dengan stiker hello Kitty di sana. Jadi ingat dulu, papa sering ngomel kalau aku yang menjemputnya dan sekarang aku paham, bahwa mobilku terlalu girly di antara mobil keluarga gemilang.

Sebuah Lamborghini warna merah berhenti tepat di sampingku. Aku segera masuk ke mobil dan menyalakan mesinnya.

Tok tok tok

Kaca jendela mobilku diketuknya. Tumben sekali dia mau ngetuk mobil bututku. Ku buka sedikit jendelanya.

"Ya?"

"Turun," titahnya. Aku memutar bola mataku malas, melirik jam tanganku yang terlihat manis untuk seusiaku.

"Gak bisa, aku udah telat." Ku jalankan mobilku untuk keluar dari garasi rumah megah ini.

Emangnya enak digituin. Biar kamu tuh tahu, kalau aku juga sakit hati kalau kamu perlakuanku seperti itu.

Aku kangen Papa dan Mamaku, mereka orang pertama yang menentang keputusanku untuk menikah dengan Juang.

"Dia tidak mencintaimu Sayang." Mama membelai rambutku lembut.

"Tapi aku pernah jatuh cinta padanya Pa, Ma." Papa menggeleng.

"Bukan. Itu hanya obsesi kamu, sebentar lagi kamu akan sadar, bahwa dia bukan untuk kamu Nak."

"Papamu benar sayang. Kami tahu bagaimana kamu." Aku hanya diam.

"Sebenarnya, Papa sudah menyiapkan seseorang yang mampu membuatmu bahagia. Batalkan pernikahan mu, dan kembalilah pada Kami."

Tak terasa air mataku menetes sendiri, aku menyesal Pa, Ma. Harusnya saat itu aku mengikuti apa yang kalian katakan. Aku menyesal tidak menuruti kata-kata Papa dan Mama, aku tidak benar-benar mencintai Juang.

Aku menangis meraung-raung di dalam mobil yang berhenti karena kemacetan ibu kota. Berharap rasa yang menghimpit dadaku ini segera sirna.

Sampai saat ini, Papa dan Mamaku tidak ingin bicara padaku. Aku menghapus air mataku yang sialnya tidak mau berhenti mengalir.

Aku menatap hapeku yang bergetar dan tertera nama Papa tersayang. Aku segera menghapus air mataku dan menenggak air untuk menghilangkan suara serakku.

"Papa?"

"Sayang? Kamu di mana?"

"Lagi dijalan mau ke rumah sakit Pa. Papa di mana?"

"Papa tunggu di ruangan Papa, ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu."

"Siap Pa."

Ku lajukan kembali mobilku menembus kemacetan ini. Perasaan apa yang menjalar padaku saat ini, aku tidak tahu itu.

Aku berlari menuju ruangan Papa di lantai dua, tertulis disana 'dokter Rangga, Sp.A'. ku buka pintunya dan menemukan Papa sedang duduk bersama Juang dan Mama.

"Y,a Pa?"

"Duduk."

Aku duduk di dekat Mama. Juang menatap Papa dengan tenang, ini ada apa sih. Aku bingung dengan situasi seperti ini.

"Saya minta maaf karena keputusan yang diambil tanpa bertanya dulu pada bapak dan Ibu. Maafkan saya karena sudah lancang menikahi Arcinta. Saya akan menggugat cerai anak bapak secepatnya. Bapak tenang saja, Arcinta masih suci, karena kami tidak tidur di kamar yang sama, saya sering menghabiskan waktu saya di apartemen."

Juang sialan!

Ku kira apa, ternyata mau ngajakin cerai toh. Tapi entah kenapa rasanya biasa aja, gak ada rasa sakit atau apapun itu yang kurasakan saat ini.

"Baik. Silahkan urus, saya ingin kamu mengembalikan putri saya dengan baik-baik," kata ayah tegas.

"Baik. Permisi Pak." Juang pergi gitu aja tanpa menoleh ke arahku.

Jadi janda dong aku?.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel