9. Apa Sih yang Kurang?
9. Apa sih yang Kurang?
Sepulang dari kampus, Rena dan Mida segera bergegas menaiki angkutan umum yang lewat di depan mereka. Sesuai rencana awal, mereka memang akan melihat indekost yang akan mereka sewa selama masa magang. Perjalanan yang mereka lalui cukup lancar. Udara juga tidak begitu panas karena awan terlihat menggantung di atas sana.
Satu jam waktu yang mereka habiskan di dalam angkutan umum. Begitu turun di terminal, mereka berganti naik bus. Dan kurang lebih tiga puluh menit kemudian mereka sudah tiba tepat di depan perusahaan tempat mereka akan magang beberapa hari lagi.
"Indekostnya di mana, Da?" Rena bertanya begitu kaki mereka menginjak trotoar di sisi jalan.
"Tuh, di sana. Agak jauh dikit sih dari sini. Masih belok ke jalan yang lebih kecil," tunjuk Mida pada jalanan di depannya.
"Nah kenapa nggak turun di sana aja tadi? Dari pada capek-cape," Rena bersungut melangkahkan kaki mengekori Mida.
"Biar kamu tahu, perusahaan tempat kita magang tuh yang mana. Terus sekalian biar terbiasa jalan ke indekost kita nanti," jawab Mida bijak kemudian mengacak isi tasnya mengulurkan sebotol susu dalam kemasan kaleng.
"Nih biar nggak capek minum aja."
"Kamu mirip Doraemon. Apa aja ada, selalu dibawa buat si Nobita. Aku kan sebodoh Nobita," Rena menerima kaleng susu itu kemudian membuka penutupnya.
"Minumnya sambil duduk," Tiba-tiba Mida menyela sebelum bibir Rena menyentuh kaleng susu. Gadis itu menunjuk beton di sisi trotoar di depannya. Mereka segera berderap duduk dan meminum susu di kaleng yang mereka pegang ditangan masing-masing. Setelah menghabiskan isinya, mereka kembali bergegas menuju tempat tujuan mereka.
Secara keseluruhan, indekost yang Mida dapatkan cukup nyaman. Satu kamar berukuran empat kali empat meter dengan tempat tidur untuk dua orang. Rena dan Mida memang menginginkan satu kamar berdua. Selain lebih hemat, mereka juga bisa saling akrab. Sebuah lemari pakaian, meja rias juga sebuah kabinet melengkapi kamar itu. Jendela berukuran besar menambah kenyamanan kamar karena udara segar dari luar bisa leluasa masuk ke dalam kamar.
Harga yang ditawarkan juga tak begitu mahal. Maklum saja area indekost mereka adalah area perusahaan. Banyak karyawan-karyawan pabrik yang bertempat tinggal di sana.
Menurut keterangan pemilik indekost, makanan yang di jual di daerah sekitar indekost juga bisa dibilang cukup terjangkau dan tentu saja rasa yang ditawarkan juga tidak mengecewakan.
Setelah membicarakan beberapa hal termasuk kesepakatan yang harus mereka jalani dengan pemilik indekost, Rena dan Mida akhirnya kembali pulang naik bus.
Di terminal mereka berpisah karena mereka harus menaiki angkutan umum yang berbeda. Mida kembali ke rumahnya dan Rena ke indekostnya. Saat hari gelap, Rena turun dari angkutan yang ia naiki. Kaki lelahnya perlahan menapaki jalanan menuju indekostnya. Angkutan umum yang Rena naiki memang tidak masuk ke jalan di depan indekost Rena. Jadi ia masih harus berjalan sekitar seratus meter untuk mencapai indekostnya.
"Kamu kelihatan capek banget, Ren. Dari mana?" suara yang begitu Rena kenal terdengar. Rena segera mendongakkan kepala yang semula menunduk menapaki jalanan di depannya.
"Oh, hai, Ton. Barusan aku keluar sama Mida."
"Kemana?" Tony, pemuda itu masih tak membiarkan Rena lepas begitu saja. Mengembuskan napas lelah, dengan sedikit jengkel Rena menjawab.
"Main." Rena tidak perlu berkata jujur kan? Ia tak mau pemuda yang sudah menghalangi jalannya itu tahu apa saja yang telah ia lakukan seharian ini. Rena ingin tenang tanpa gangguan Tony yang selalu menguntitnya kemanapun ia pergi.
"Main kemana aja kok sampai kelihatan capek?" Tony masih tak puas.
"Ngemall. Kamu minggir dulu deh Ton. Kasih aku jalan. Aku capek banget. Pengen istirahat. Sudah malam ini aku masih baru sampai," Rena menggeser tubuh Tony di hadapannya untuk memberikan jalan.
"Kita makan dulu ya, Ren. Nggak usah jauh-jauh di depan kampus aja," penawaran yang cukup menggiurkan tapi tidak. Rena tak akan mengambil resiko. Efek di belakangnya sudah pasti tak akan baik.
"Nggak usah, Ton. Makasih banyak. Kamu ngapain di sini?" Rena menanyakan pertanyaan yang sudah ia tahu jawabnya.
"Nungguin kamu." Nah, kan tebakan Rena tak salah. Rena mengurungkan niatnya melangkah.
"Kamu pulang ya. Aku sudah sampai dan baik-baik saja. Aku butuh istirahat. Kamu pasti juga butuh. Jaga kesehatan kamu, jangan mondar-mandir dari rumah ke indekostku terus."
"Kamu nggak usah khawatirin aku. Aku baik-baik saja. Kamu kan jauh dari Rumah, Ren. Nggak ada yang perhatiin kamu." Hampir saja Rena memutar bola matanya mendengar jawaban Tony.
"Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri. Sudah ya. Aku mau pulang," Rena bergegas meninggalkan Tony. Sejenak Rena merasa lega. Ia bisa terbebas dari pemuda keras kepala itu namun begitu kakinya menginjak halaman berumput indekostnya suara Tony kembali terdengar.
"Ren. Setidaknya makan ini dulu ya biar perut kamu nggak kosong." Tony menyerahkan satu kantung plastik berlogo salah satu minimarket dua puluh empat jam ke tangan Rena.
"Apa ini, Ton. Nggak usah." Rena mendorong kembali bungkusan yang belum sempat berpindah tangan pada Rena.
"Cuma Roti. Tadi aku sempat beli saat nungguin kamu datang," Tony meraih tangan Rena dan memaksa tangan gadis itu untuk menggenggam kantung plastik yang dibawanya.
"Kalau kamu terima aku baru akan pulang." Mengembuskan napas berat. Akhirnya mau tak mau Rena menerima pemberian Tony. Setelah mengucapkan terima kasih. Pemuda itu menyuruh Rena memasuki indekostnya dan tak lama kemudian ia pun meninggalkan indekost Rena. Setidaknya hari ini ia bisa melihat wajah gadis kesayangannya meskipun hanya sejenak. Dan yang pasti ia lega saat tahu gadis itu terlihat baik-baik saja.
Berbeda halnya dengan Tony, Rena merasa semakin bersalah. Tony memang masih terus menerus mengejarnya meskipun sedikit memaksa namun pemuda itu masih bersikap dalam batas wajar. Rena bahkan sempat berpikir, apa yang kurang dari pemuda itu. Kenapa tak sedikitpun ada rasa tertarik di hatinya?
###
