7. Jemput Mertua.
Pagi hari yang cerah menyinar seluruh permukaan alam semesta di Kota Metropolitan ini. Chandra seperti hari biasa menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Bangun pagi adalah rutinitas kegiatannya sehari-hari karena sudah terbiasa melakukan sendiri jadi apa pun di kerjakan pasti nyaman.
Muncul sosok berpakaian baju tidur beruang rambut berantakan semacam sapu kusut menguap tidak terhingga tumbenan Fera cepat bangun biasa jam delapan tepat. Karena tidak bisa tidur gara-gara kejadian semalam ciuman itu membuat dirinya uring - uringan tidak jelas di kamar.
Kebiasaannya itu duduk melipat kedua tangan atas meja makan sebagai bantal cadangan untuk kepalanya. Chandra baru saja selesai menyiapkan sarapan pagi, bubur ayam dan telur Bebek asin di rebus sudah di belah menjadi dua bagian tidak lupa juga dengan teh hangat dua cangkir di tempat masing-masing.
Aroma bubur ayam tercium sangat kuat oleh hidung si Fera, mendongak kepala dengan malas dagu menopang atas dua lipat tangannya kedua mata masih merem melek. Dapat dia lihat asap panas dari piring mangkuk mengempul tinggi - tinggi.
"Setelah sarapan kita jemput mereka ke stasiun kereta api," ucap Chandra memberitahukan kepada Fera yang masih belum kumpul semua para sembilan roh dalam tubuhnya.
"Untuk apa? Memang siapa yang mau datang?" Fera bertanya dengan nada lesu menarik piring mangkuk berisi bubur itu.
Cuaca hari ini memang terasa dingin, karena semalam terjadi gerimis tak mengundang tempat jadinya dia menghangatkan kedua tangan di badan mangkuk bubur itu.
"Tentu Mama dan Papa dong, katanya semalam minta mereka datang. Masa kau sudah lupa?" jawab Chandra meniup bubur ayamnya di sendok karena panas.
"Oh." Hanya ber–oh saja.
Di rumah sederhana ini hanya suara irama nada piring dan sendok tidak ada lagi percakapan di antara mereka berdua.
Pukul sembilan pagi Fera sudah lengkap dengan pakaian sopan dengan celana panjang hitam dan baju kaus polos panjang longgar tidak menunjukkan perut rata di tubuhnya. Rambut tetap dia ikat satu tinggi-tinggi terlihat fresh di wajahnya itu.
Waktunya mereka ke stasiun kereta api karena rumah orang tua Chandra jauh dari tempat kota Metropolitan tersebut bisa di katakan tempatnya di perdesaan. Di lihat dari cuaca hari ini benar sangat cerah secerah wajah wanita manja ini.
Lima belas menit kemudian mereka sampai di Stasiun Kereta Api. Chandra memarkirkan mobil lalu Fera turun masih dengan sikap manja melingkar lengan suaminya. Ada gerangan apa tingkah Fera saat ini, Chandra tidak mengambil pusing walau sikap istrinya suka berubah tiba-tiba.
Terlalu lama berdiri membuat keringat Fera bercucuran keluar dari pelipis keningnya apalagi wajah putih menunjukkan warna merah merona di kedua pipinya. Di kipas-kipas dengan tangannya sendiri tidak mau mengeluh karena malu banyak penduduk di tempat stasiun kereta api.
Chandra mengelap keringat dengan sapu tangannya selalu dibawa ke mana-mana, Fera terpaku mematung. Suaminya masih sibuk mengelap keringat istrinya tidak pedulikan yang lain perhatikan romantis mereka berdua.
"Biar aku sendiri lap keringat, aku beli tisu du—"
"Aku yang beli saja, kau tunggu di sini mau minum apa?" potong Chandra dan bertanya kepada istrinya.
"Aku—mau—minuman yang dingin," jawabnya gugup.
Chandra pergi meninggalkan Fera seorang diri di tempat penunggu kereta api tujuan kota desa di mana orang tuanya tinggal. Ia duduk di mana kursi kosong tidak ada yang menempati terus sampingnya ada seorang ibu sedang menggendong bayi dalam tertidur.
"Mau ke mana, Neng?" tanya ibu beranak satu ini basa-basi
"Ah, nggak ke mana-mana, lagi tunggu Mama Papa mertua dari desa seberang," jawab Fera seadanya.
"Oh, yang tadi laki Eneng ya?"
"I—iya ..." jawabnya lagi lebih gugup.
"Kayaknya dia sayang banget ya sama Eneng. Jangan lihat fisik luar Neng, kalau punya suami parasnya jelek karena berewok tapi di dalam hati sangat mulia loh, Neng. Di jaga baik-baik suaminya. Jangan sampai direbut, jaman sekarang tidak ada yang memandang tampang cakep tapi jelek juga di embat," pidato ibu beranak satu tidak tau siapa namanya tak kenal sok dekat, Fera hanya menyimak setiap perkataan di sampingnya.
"Kalau saya lihat dari wajah Eneng, jangan terlalu kasar dan keras sama suami. Sebenarnya Eneng juga cinta sama dia, cuma malu-malu kucing. Jangan terlalu gengsi jadi wanita, pamali kalau orang bilang. Semoga mertua Eneng datang cepatlah rukun dan lembut kepada suamimu. Untuk orang terdekat Eneng lebih baik menjauh daripada nanti masalah datang tidak di inginkan. Sayang hubungan harmonis harus di pisah oleh rasa orang ketiga," lanjut lagi ibu ini panjang lebar.
Fera masih menyimak setiap kata dari mulut ibu ini, dia sendiri kaget kenapa ibu ini tahu sifatnya dan keras kepada suami sendiri. "Kok tahu? Ibu ini bisa meramal ya?" Fera mulai menyelidiki.
Ibu beranak satu ini tersenyum, "Tidak, Neng. Saya sering bertemu orang seperti Eneng, jadi saya sarankan kembali ubah sifat buruk keras dan kasarmu itu sebelum terlambat. Menemukan sifat penyabar, penyayang dan cinta setulus jiwanya menunggu hadir istri mengakui itu benar sulit di dapatkan. Maka dari itu mulai dari sekarang, itu yang saya sarankan. Eneng mau percaya atau tidak tergantung hatimu. Saya hanya berharap tidak terjadi orang ketiga di kehidupan rumah tangga kalian berdua," jawabnya panjang lebar seakan Fera berada di dunia berbeda saat ini.
Chandra yang memanggil nama istrinya tidak kunjung sadar, "Fera ... Hei, Fera sayang..." Di guncang istrinya.
"Ah, iya ... Papa Mama sudah sampai?" Sadar seakan semua terlupakan semua apa yang dia dengar tadi. Yang dia bingungkan kenapa suaminya ada di samping terus ibu beranak satu tadi.
"Sudah, mereka ada di mobil, ayo pulang," jawab Chandra berdiri dari duduknya.
Fera menurut menoleh lirik belakang mencari ibu beranak satu itu. Jelas-jelas ini nyata baginya.
"Tadi, kau lihat ibu beranak satu nggak?" Fera bertanya kepada suaminya
"Tidak, kenapa?" jawabnya dan balik bertanya.
"Oh, nggak apa-apa, soalnya tadi—"
"Kau pasti kurang tidur ya?" potong Chandra bertanya
"Ah, masa? Kok tahu?"
"Tadi tidurmu pulas sampai aku membangunkan dirimu tidak kunjung sadar, cium pun kau tidak menyadarinya juga?" ucap Chandra santai
Langkah kaki Fera terhenti tangan kanannya masih di genggam oleh suaminya. Chandra menoleh memiringkan kepalanya.
"Ada apa?" tanyanya lagi, Fera menatap intens wajah suami dari jarak beberapa meter saja.
Semua memori kembali berputar perkataan dari ibu beranak satu ia temui beberapa menit yang lalu.
[Kayaknya dia sayang dan cinta banget ya sama Eneng.]
[Menemukan sifat penyabar, penyayang dan cinta setulus jiwanya menunggu hadir istri mengakui itu benar sulit di dapatkan.]
[Eneng juga cinta sama dia, cuma malu-malu kucing. Jangan terlalu gengsi jadi wanita, pamali kalau orang bilang.]
['Apa benar aku mulai cinta sama suami sendiri?' Fera bertanya-tanya pada diri sendiri.
Serasa dunia ini berputar ke waktu di mana pernikahan mereka di adakan secara mendadak. ]Fera ingin berteriak namun kelu untuk tidak mengeluarkan.
