Pustaka
Bahasa Indonesia

Two Brothers

29.0K · Ongoing
Hervina Nataya
150
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Karena kematian ibunya, Faris harus berpisah dengan Fatih adiknya. Faris diangkat anak oleh seorang konglomerat, sedang adiknya dimasukkan ke panti asuhan. Faris seorang anak yang baik dan polos berubah menjadi seorang pemuda yang dingin dan kejam, karena didikan seseorang. Dalam perjalanannya mencari sang Adik, ia dihadapkan pada banyak pembunuhan yang melibatkan orang-orang terdekatnya. Dan satu-persatu rahasia keluarga angkatnya mulai terkuak. Perseteruan antara Faris dan Fidel kakak angkatnya pun semakin memanas, saat Fidel dengan segala upaya berusaha melindungi keluarganya, terutama ibunya, yang diincar akan dibunuh oleh Faris. Kisah asmara Faris juga harus kandas karena sebuah dendam yang tidak berkesudahan. Akankah Faris bisa bertemu dengan adiknya, Fatih?

Salah PahamTuan MudaThrillerMetropolitan

1. Ayam bakar

Bab 1

Berulang kali Fatih merengek dan menarik-narik ujung kaosku. Netranya tidak berkedip menatap penjual ayam bakar di seberang jalan.

Aku mengelap peluh dan mencoba tidak acuh. Meski ada perasaan iba dan sedih melihat Fatih sangat menginginkan ayam itu. Berkali menghela napas, melirik tahu bakso buatan Emak yang baru berkurang tiga biji.

"Bang ... Fatih pengen banget makan itu," rajuknya dengan terus menarik-narik kaosku.

"Kalau kamu tarik terus baju Abang, nanti sobek. Abang pakai baju apa, Fatih?" ucapku lembut sambil menarik tangannya agar berjalan menjauh.

"Bang ...." Rengeknya lagi dengan mata berkaca-kaca.

"Nanti kalau jualan kita habis, kita beli ya." Bujukku yang langsung membuat Fatih girang.

Namun harapan melihat tahu bakso ini habis, pupus sudah. Awan hitam dan hujan deras yang tiba-tiba datang, membuat kami berlarian mencari tempat berteduh.

Fatih menatap nanar jalanan. Tangannya yang kecil mengusap perut. Kuambil satu tahu bakso dan memberikan padanya. Dia menerima dengan enggan. Aku mengusap kepalanya dan tersenyum untuk menguatkan.

Ah tidak. Sebenarnya ini untuk menguatkan diriku sendiri. Agar tidak menangis.

Menangisi keadaan kami setelah kepergian Abah, dua tahun yang lalu.

"Assalammu'alaikum ... Emak, kami pulang," teriakku setelah senja datang dan hujan mulai reda, aku memutuskan untuk pulang.

Kubuka pintu rumah yang sudah tampak lapuk karena di makan rayap.

"Wa'alaikumsalam. Mandi, lalu sholat baru makan." Emak tersenyum sambil tangannya menata meja kecil dengan cekatan.

Bau ikan asin menyeruak harum memenuhi ruangan. Membuat perut semakin bernyanyi minta di isi.

"Mak, maaf tahu baksonya cuma laku tiga. Yang satu di makan Fatih tadi di jalan," ucapku sendu dan memberikan uang sebesar enam ribu rupiah pada Emak.

"Rejeki kita hari ini, Faris. Tetaplah bersyukur." Emak tersenyum dan membelai rambutku dengan lembut.

"Tadi Bu Reni memberi emak beras setelah selesai menyetrika. Ayo, ajak adekmu makan. Nasinya wangi dan pulen, pasti mahal ya harganya."

"Fatih ga mau makan!"

Aku dan Emak terkejut dengan teriakan Fatih yang tiba-tiba. Tangannya dilipat, dan wajahnya cemberut merajuk.

"Kenapa, Nak?" tanya Emak sambil tangannya masih sibuk menuang nasi dalam piring.

"Fatih bosan makan ikan asin sama sayur daun singkong terus."

"Fatih!" Seruku yang langsung ditahan oleh emak.

Emak menepuk pundakku pelan dan menggeleng.

Fatih semakin merajuk dan akhirnya masuk ke dalam kamar. Terdengar isakan lirih.

"Kenapa adekmu, Nak?"

"Tadi di jalan, Fatih pengen ayam bakar, Mak. Kalau tadi tahu baksonya habis, pasti Faris belikan satu potong buat Fatih," jawabku dengan suara sengau menahan tangis.

"Ya sudah, makan dulu. Biar nanti emak yang bujuk adekmu."

Emak memberi ikan asin yang paling besar, dan menuang sayur singkong dalam piringku.

"Emak mau bagi-bagi tahu bakso dulu ke tetangga, setelah ini jangan lupa kerjakan PR," lanjut Emak lalu keluar sambil menenteng wadah plastik yang biasa aku bawa jualan.

Memang seperti itu kebiasaan emak ketika tahu bakso buatannya tidak habis terjual. Pantang bagi emak menjual lagi tahu bakso bikinan kemarin. Setiap pagi, emak selalu membuat yang baru. Meski sering modal habis karena tahu tidak laku, seperti hari ini.

Jika uang modal benar-benar habis, maka kami tidak jualan dulu. Menunggu emak mendapatkan uang gaji dari buruh cucinya.

***

Siang yang terik, setelah seharian kemarin hujan turun. Dengan tergesa, aku pulang dari sekolah. Fatih pasti sudah menungguku di depan rumah seperti biasa untuk segera menjajakan tahu bakso.

Dari kejauhan kulihat adekku itu duduk melamun di kursi tua depan rumah sambil mengongkang kakinya.

Usianya masuk lima tahun bulan ini. Seharusnya dia sudah masuk sekolah TK. Tapi emak belum punya cukup uang untuk biaya pendaftaran sebesar lima ratus ribu. Meski bisa di cicil, tapi untuk uang panjer harus seratus lima puluh ribu. Dan itu sangat berat untuk emak.

"Nanti kita sambil cari ikan wader di sungai sana ya," ucapku pada Fatih yang terkejut dan membuatnya sadar dari lamunan.

Ia mengangguk dan tersenyum. Setelah berganti pakaian, kami berjalan sambil berteriak, "tahu bakso buatan emak! Murah meriah dan enak!"

"Ada bonusnya juga lho. Yaitu cabe ...," teriak Fatih. Dan kami berdua tertawa berderai.

Rupanya Fatih sudah melupakan keinginannya untuk membeli ayam bakar. Entah apa yang dikatakan emak tadi malam saat tidur menemai Fatih. Nyatanya hari ini Fatih tampak gembira.

Mungkin hari ini hari keberuntungan kami. Karena ada seorang Bapak dengan naik mobil mewah dan memborong tahu bakso emak.

Kami sangat senang dan segera memutuskan pulang. Sampai di pertigaan jalan, aku teringat ayam bakar yang ada di ujung jalan jika kita belok ke arah kiri.

"Tahu baksonya habis, Dek. Kamu masih ingin ayam bakar nggak?" tanyaku pada Fatih.

Di luar dugaan, dia menggeleng. "Kata emak, nanti sepulang nyuci mau dibelikan, Bang," ujarnya sambil tersenyum lebar menampakkan giginya yang gigis.

Ah, begitu rupanya yang dijanjikan emak tadi malam. Pantas jika Fatih hari ini tidak merengek lagi. Kamipun berbelok ke kanan jalan, arah rumah.

Ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan orang-orang di belokan jalan.

"Ada orang tertabrak! Cepat panggil ambulan!"

Karena penasaran, aku dan Fatih mengikuti orang-orang yang berlari ke arah sumber suara.

Di sana, di depan pedagang ayam bakar tergeletak seseorang dengan bersimbah darah. Orang itu memakai jilbab warna coklat yang sudah usang.

Seperti ... jilbab yang dipakai emak.

Kusibak kerumunan orang untuk memastikan. Dan benar, emak. Aku menjerit histeris. Mencoba menggapai emak, tapi beberapa orang menahanku.

Fatih menangis dan berjongkok disebelah emak. Mulutnya tidak berhenti meraung, "emakkk ... bangun. Fatih nggak akan minta ayam bakar lagi. Emak ...."

Sebelum semuanya gelap, sempat kulihat tangan kanan emak yang menggenggam plastik putih berisi ayam bakar.