Bab 3
Aku tidak bisa merasa tidak tegang, pria yang lima tahun ini ku hindari menatapku dalam. Dia duduk disana dengan sikap tenang yang memancarkan intimidasi. Anehnya itu membuatku berhalusinasi bahwa baru saja aku menemukan sekelebat jejak terpesona bercampur kerinduan disana. Namun saat aku memastikan pandanganku, riak keterkejutan di matanya bertubrukan denganku.
Aku tersedak nafasku, jadi aku berdehem membersihkan kerongkongan yang tiba-tiba mengering, mengusir pikiranku yang konyol. Bagaimana bisa orang yang ku kenal sebatas suami atasan merindukan diriku.
Lihatlah, aura kebencian terlukis pada kedua matanya. Kenapa bisa aku berhalusinasi seperti itu? Aku bergidik sendiri, jantung ini berdebar bagai talu yang ditabuh kuat, saat Bryan Walter menilai penampilanku dari ujung kaki ke ujung kepala. Dan dia nampak terlihat tidak puas.
Mungkinkah dia sedang memastikan apa aku layak atau tidak layak mengasuh dan merawat putrinya?
"Kenapa berdiri saja, Tania Puspita Walter? Mister Walter disini, kemarilah, tidakkah nyonya Walter merindukan tuan Walter?"
Ucapan bersarkasme tajam dari mulutnya serasa mengiris nadiku karena panggilan Miss Walter itu. Sungguh tidak enak dan malu, kesannya aku telah mencuri nama belakangnya untuk ku manfaatkan demi kepentinganku sendiri.
Ku gigit bibirku demi mengurangi rasa tak nyaman karena tatapannya yang menguliti. Mengabaikan kalimat bernada perintah itu, aku melangkah tenang menuju satu-satunya kursi yang ada di depan Bryan. Tapi pria jangkung itu berdiri, mendahului menarik kursi untuk aku duduk, gayanya sungguh gentle, sayang mulutnya terlalu pedas untuk ukuran anggota partai politik macam dia.
"Sepertinya kamu semakin bersinar saja setelah menyelipkan namaku pada namamu dan mencuri putriku."
Ku pejamkan mata atas tuduhannya yang seharusnya bisa ku maklumi. Tapi mata tajam dengan lidah pahit itu berhasil menggoreskan rasa perih di hati. Apa dia pikir aku sengaja melakukannya, apa dia kira aku adalah dalang dibalik semua peristiwa ini? Dasarnya pria ini memang membenciku sejak pertama kali aku menjadi asisten Vivian Walter, tanpa alasan.
Dari caranya menatapku datar, tanpa senyum, dan menganggap ku tak kasat mata, sekalipun aku menyapanya dahulu walau sekedar formalitas. Seingatku, aku tidak pernah berinteraksi langsung dengannya yang menyebabkan dia bisa membenciku sebesar itu.
Dulu bisa saja aku balik mengabaikan sikapnya yang mengabaikan diriku terlebih dulu. Ku pikir, aku tidak rugi apapun walau suami atasanku tak menyukaiku, toh yang menggaji bukan dia. Tapi sekarang rasanya aku perlu bersabar demi Cherry. Aku tidak berani berharap banyak untuk terus bersama gadis kecil yang menganggap diriku ibunya, tapi aku hanya ingin diberi kesempatan bersamanya untuk memastikan dia baik-baik saja seperti yang diinginkan Vivian. Tidak mudah melepaskan sesuatu yang selama lima tahun ini menjadi bagian dari diriku, apalagi itu berupa malaikat kecil yang telah ku cintai dengan segenap nyawaku.
"Thanks, tapi aku tidak mencuri apapun darimu." Aku duduk dengan gestur yang ku usahakan tetap terkendali. Tak ingin membuat pria itu mengenali ketakutan yang sebenarnya ku rasakan sejak melihat tatapannya yang kelam.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi pria itu mendengar suaraku yang bergetar. Tapi selanjutnya Bryan memanggil seorang waiter.
"Pelayan!"
"Ya, Tuan dan Nyonya Walter. Apakah hidangannya sudah bisa kami siapkan?"
Tanya pelayan itu dengan kesopanan yang terlalu takzim. Lagi - lagi sesuatu menyentil hatiku karena sebutan Miss Walter itu.
"Aku sudah kenyang, Pak Bryan. Anda saja." Sesungguhnya penolakan ku ini karena aku tidak ingin berlama-lama dengan Bryan.
"Miss Walter, makanlah dulu bersama ku, setelah itu ayo kita berbicara dari hati ke hati seperti seharusnya seorang pasangan Tuan dan Nyonya."
Oh, sial. Mau apa dia sebenarnya. Kalau yang hendak dia bicarakan adalah Cherry, untuk apa bertele-tele mengejekku begini. Ya, dia mengejek kesalahanku karena selama lima tahun ini menyandang namanya tanpa ijin.
"Pak Bryan... To the point saja. Apa mau anda?" Aish, aku merutuki mulutku, kenapa intonasi yang keluar dari mulutku seperti sedang menantangnya.
"Oh, mauku jelas. Aku ingin Miss Walter dan putriku kembali ke rumah seperti seharusnya. Bukankah, Cherry akan bahagia apabila mami dan dady-nya tinggal di bawah atap yang sama seperti seharusnya."
"Pak Bryan." Masih dalam hitungan menit, tapi rasanya aku sudah lelah dahulu dan menyerah untuk menghabiskan lebih lama lagi waktu dengan Bryan.
"Panggil aku Bryan, seperti seharusnya, Nyonya Walter."
"Tolong, jangan mengejekku lagi dengan sebutan nama belakang anda." Ku rasakan mukaku berubah merah, ya ampun aku sungguh malu, ini seperti aku adalah wanita yang memaksa seorang pria untuk memasukkan namaku dalam kartu keluarganya.
"Bukankah 'Nia Walter' itu terdengar sangat pas untukmu, Nia? Aku menyukainya."
Katanya menarik satu sudut bibirnya ke atas. Bryan tersenyum untuk pertama kalinya di depanku? Apa aku berhalusinasi lagi?
"Bagaimana kabarmu setelah selama ini bersembunyi dari kami, belum lelah bermain-main, Nia?" Tanyanya santai, setelah menyesap cairan bening dalam gelas berisi es batu dengan mint dan lemon.
"Cherry baik, dia tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan pintar." Sementara aku masih senantiasa waspada, orang-orang itu muncul kembali.
"Aku sudah melihatnya, dia secantik ibunya."
Tak sadar aku tersenyum, menyebut ibunya Cherry membuat bayangan cantik Vivian melambai di pelupuk mata.
"Benar dia secantik Vivian, aku sangat merindukannya."
"Cherry lebih mirip dirimu, dia secantik dirimu."
"Apa?"
"Makanlah dulu."
"Pak Bryan." Apakah kau menyebutku cantik?
Sementara anak kau bicarakan adalah anakmu bersama mendiang istrimu, bagaimana bisa dia jadi lebih mirip aku?
"Apa kamu ingin tahu bagaimana caraku memaksa seseorang menurutiku?"
Aku tersadar, Bryan ingin aku memanggilnya tanpa embel-embel 'pak'.
"Baiklah, Bryan. Aku..."
"Apa..."
Aku tidak mungkin memintanya mengulangi pernyataannya yang mengatakan Cherry secantik diriku kan, jadi aku menggeleng. Meraba sendiri maksud pria tersebut mengatakannya.
"Kamu tau Nia, apa kesalahanmu?" Katanya menggunakan nada datar yang menghakimi. Tapi aku hanya terdiam menunggunya melanjutkan. Aku tidak akan mengelak dari semua tuduhannya, karena sekuat apapun aku menyangkal posisiku akan cenderung disalahkan.
"Kamu memalsukan identitas mu, membawa putriku tanpa ijin apakah bisa ku sebut menculiknya, dan memberinya identitas palsu sebagai putrimu."
Jahat sekali mulutnya, apakah dia sungguh-sungguh tidak tahu, Vivian yang mengatur semua ini.
"Bryan, Vivi menyertakan dokumen penggantian namaku dari pengadilan." Meskipun aku tidak tahu bagaimana cara Vivian melakukan itu.
"Dan secara hukum Cherry memang putriku, dalam akta kelahirannya hanya ada namaku disana, apakah salah kalau aku menyebut aku lebih berhak, Bryan?"
Di Indonesia anak yang lahir di luar pernikahan sah, termasuk anak hasil hubungan tanpa pernikahan atau anak hasil pernikahan dibawah agama, maka akta kelahirannya hanya akan menyertakan nama si ibu sebagai orang tua.
"Apa yang tidak bisa ku lakukan untuk membuatnya terlihat palsu Nia? Lagipula aku bisa mengusahakan hasil tes DNA kami keluar dalam waktu satu minggu."
"Bryan, Cherry aman bersamaku. Biarkan kami disini. Aku janji padamu seperti janjiku pada Vivian dan Tuan Tua Walter untuk menjaga dia dengan nyawaku. Apalagi yang kau takutkan? Pergilah, dia tidak aman di Indonesia." Masih bertanya-tanya apa yang orang-orang itu dapatkan dari kematian Cherry sebenarnya. Mengapa mereka memburu anak yang tak tau apa-apa ini.
"Nia, dia milikku, putriku. Apa hak mu melarang ku?"
"Aku memang tak mengandungnya, tapi kau tidak perlu meragukan kasih sayangku. Bryan, aku tidak peduli apa masalahmu sampai mereka ingin mencelakai Cherry. Tapi dua tahun ini kami aman. Percayalah, dia baik-baik saja bersamaku."
"Dia butuh aku Nia."
"Dia tidak. Dia tidak pernah menanyakan dirimu sama sekali." Aku bohong, jika Cherry rindu sosok Dady maka Cherry punya Dimas, adikku sebagai ayah, komunikasi mereka berdua juga lancar.
"Dia ingin tau rasanya memiliki Dady, dia bilang begitu. Karena ayah Dimas-nya jarang berkunjung."
Ah, bahkan Bryan tahu hingga sedetil itu.
"Bryan, kamu juga bisa sering-sering mengunjunginya. Jakarta - Manchester bukan lagi jadi halangan, bukan?"
Aku berusaha mempertahankan apa yang ku yakini, bahwa Manchester lebih aman untuk putriku.
"Kalau kamu memang menyayangi putriku, seharusnya kamu tidak keras kepala begini. Aku berhak memberinya yang terbaik. Dia berhak mendapatkannya dariku. Siapa kamu yang menghalangi kasih diantara kami?"
Kalimat yang diucapkan Bryan membuatku menyentakku membuatku terpaku. Iya benar, siapa aku diantara mereka selain hanya sebagai ibu pengganti. Aku membisu, kalah telak bahwa aku salah menghalangi kasih antara dua orang ini.
Apakah ini sudah saatnya, untuk memulangkan Cherry? Mataku penuh dengan embun kesedihan yang mungkin juga membuat Bryan senang karena wanita yang dibencinya tanpa alasan ini kalah dengan keadaan. Ku larikan mataku jauh dari pria itu, aku benci dia. Benci karena sebentar lagi aku hanya wanita kesepian yang telah ditinggalkan waktu.
Di bawah mata elang Bryan, aku berusaha mengendalikan laju air yang lancang hendak meluruh. Matanya tak pernah sedikitpun berpindah dari diriku seperti akan melubangi kulitku. Sesekali matanya menelisik mataku, sesekali mengamati jemariku atau berlama-lama memandangi bibirku. Apa setelah kematian Vivian dia jadi kurang ajar? Batinku mengejek, tapi tak berani menampakkan di permukaan.
"Apa kabarnya Tuan Tua?" Tanyaku setelah sekian lama terdiam karena tak lagi bisa mendebat dirinya.
Bryan Walter mendengus sebelum menjawab ku.
"Dia sakit karena terlalu merindukan cucu semata wayangnya."
Pria tua itu pasti kini telah banyak mengalami perubahan. Bisa apa aku kalau yang sesungguhnya memang begitu. Sepertinya egois jika aku mempertahankan Cherry untuk diriku sendiri. Ada keluarga yang juga menantikan Cherry pulang.
"Baik, kapan anda akan menjemput Cherry. Dan tentu anda tidak bisa memisahkan kami berdua begitu saja. Setidaknya beri kami waktu menyesuaikan diri, sebelum Cherry benar-benar melupakan diriku karena tumbuh dewasa dengan orang lain." Kembali aku menggunakan bahasa formal padanya. Sedih sangat membayangkan suatu saat bayiku tak akan mengenaliku lagi.
"Secepatnya." Sahutnya singkat dengan kepuasan yang memancar dari tatapannya yang dalam.