Pustaka
Bahasa Indonesia

The Perfect Husband

21.0K · Ongoing
sniiaa_
14
Bab
461
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bruna Scott dijodohkan dengan pria kaya dan tampan yang ditolak oleh banyak gadis di luar sana hanya karena dia cacat. Bruna dengan tegas menolak perjodohan itu begitu dia mendengar kabar tersebut. Sayangnya, bibinya adalah orang yang berpikiran licik dan ingin memanfaatkan perjodohan ini untuk mengeruk kekayaan orang kaya itu. Pada akhirnya, Bruna mendapat ide bagus, dia menyetujui pernikahan tersebut hanya untuk bisa lepas dari genggaman bibinya yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Siapa sangka melalui pernikahan tersebut, Bruna akhirnya menemukan cinta sejatinya Aiden Finnegan yang rupanya sudah mencintainya sejak kecil dan kini telah menaklukkannya?

PresdirKawin KontrakTuan MudaRomansaBillionaireSweetPernikahanKeluargaIstriDewasa

Perjodohan

.

.

.

“Jangan berani coba-coba untuk lari dari sini!”

Bruna dikejutkan dengan suara tajam dan melengking wanita paruh baya yang merupakan bibinya itu. Dia menoleh ke belakang dan menemukan bibinya, Camile. Wanita itu sudah berada di ambang pintu rumah, lalu bergegas menghampirinya dengan langkah marah.

Kopernya ditarik dan dilempar sembarangan dari arah pintu dan seluruh isinya berserakan. Bruna yang baru saja hendak kabur dari rumah akibat perjodohannya yang telah di atur oleh bibinya dengan pria yang tak dikenalnya. Hal itu terlalu mengejutkan untuknya. Dia tahu bahwa tidak peduli bagaimana dia melawan bibinya, dia akan tetap kalah.

“Bibi, biarkan aku keluar dari sini.” Bruna mengikuti bibinya dan memandangi tas pakaiannya dengan sedih. “Aku tidak ingin menikah, bibi!”

Wajah Camile membengkak karena marah.

“Dasar anak kecil yang tak tahu untung! Berapa lama lagi kau akan menjadi parasit di keluarga ini, hah? Apa kau tidak bisa membahagiakan bibimu sekali saja?”

Parasit?

Sebelum Bruna sempat mencerna kata-kata kasar itu, bibinya meledak lagi, “Ini bagus untukmu! Aku mengatur perjodohan ini karena keluarga kaya itu bisa membantu kita secara finansial! Mereka bisa melunasi hutang yang diambil paman mu yang bodoh itu! Dua keluarga sudah sepakat, bahkan calon pasanganmu juga. Kenapa kamu harus begitu keras kepala?”

“Tapi, Bibi”

“Kamu tahu, keuangan keluarga kita sedang menipis saat ini dan kita membutuhkan uang,” sela bibinya.

“Kamu pikir biaya sekolah mu datang begitu saja? Memberi mu makan dan minum setiap hari, uangnya dari mana? Setidaknya kamu harus meringankan beban ku.”

Semua kata-kata itu seakan memunculkan kembali rasa dendam yang sengaja dipendam Bruna di dalam hatinya. Sepuluh tahun yang lalu, dia datang ke keluarga bibinya, setelah kematian orang tuanya karena kecelakaan. Awalnya mereka sangat baik dan ramah, namun tanpa dia sadari, ternyata diam-diam mereka mengambil semua uang santunan kecelakaan milik keluarganya dan juga mengambil uang pensiun ayahnya dengan alasan menyekolahkannya.

Tapi itu semua omong kosong! Tidak ada sekolah! Tidak ada biaya ayahnya yang bisa dia nikmati sama sekali! Semua harta peninggalan orang tuanya itu direnggut oleh serigala tua busuk ini! Warisan itu lenyap seperti asap tipis di udara.

Bagaimana Bruna bisa menanggung semua ketidakadilan yang ada di keluarga ini? Dan sekarang mereka bahkan berani menjodohkannya secara sepihak?

“Bibi, apakah kamu lupa bahwa kamu mengambil semua uang terakhir yang ditinggalkan oleh ayahku? Sekolah? Biaya hidup? Aku bekerja paruh waktu hanya untuk menghidupi diri ku sendiri. Di mana hakku atas uang itu? Sekarang kamu mengatakan bahwa uang ayahku telah dihabiskan untuk biaya pendidikanku? Aku bahkan tidak bisa melanjutkan ke universitas karena uangnya habis!” Bruna memandang bibinya dengan tidak percaya. Ini adalah pertama kalinya dia bisa melampiaskan amarahnya.

Wajah Camile langsung membiru karena marah.

“Kamu masih mau mencari alasan? Uang ayahmu tidak seberapa untuk menghidupimu selama sepuluh tahun! Apalagi untuk kuliah! Jangan bermimpi! Sekarang kamu sudah dewasa, hutang sepuluh tahun yang aku berikan kamu harus melunasinya!” Teriak sang bibi tak kalah kerasnya. “Dengarkan aku, pernikahan akan tetap terjadi meski kamu meninggal. Kamu akan bahagia tinggal bersamanya dan kamu bisa membiayai biaya hidupmu selama tinggal di rumah ini.”

“Tidak, Bibi. Aku tidak akan menikah dengannya! Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang tidak kucintai?” kata Bruna berkeras.

Camile mendengus. “Cinta katamu? Anak-anak muda ini bicara tentang cinta saja, bisakah cinta membuatmu kenyang? Kamu belum pernah bertemu dengannya, jadi kamu belum melihat seperti apa dia. Dia pria kaya dan tampan, setelah kamu menikah dengannya, dia mungkin akan segera cepat. Kamu tidak akan menderita. Setidaknya kamu akan mendapatkan sebagian harta mereka di tanganmu. Kamu mengerti?”

Apa? Mati?

Apakah calon suaminya akan dibunuh saat mereka menikah?

Koper itu kembali ditarik dengan kasar dari tangannya, kali ini Camile membawanya ke kamar dan melemparkannya ke dalam. Dia menatap Bruna. “Keluarganya sudah putus asa untuk menjodohkan pria itu, tapi tidak ada yang menerimanya karena tubuhnya sangat lemah dan bisa mati kapan saja.”

Bruna, “...”

Wanita itu melanjutkan, “Aku baru saja berpikir, bukankah kalian berdua sangat cocok; anak yatim piatu yang malang dan orang yang sedang sekarat?”

Bruna tidak bisa lagi mendengar hal lain. Selain memanfaatkannya, sang bibi juga ingin memanfaatkan orang lain yang akan menjadi jodohnya dan berniat menguras hartanya.

Wanita ini benar-benar iblis.

“Begini, kami membutuhkan uang ini sehingga kamu akan menikah dengannya dan merawatnya. Jangan berdebat lagi, Bruna. Pernikahannya akan diadakan seminggu dari sekarang, jadi kamu punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama Aiden. Aku tidak ingin melihat mu tidak menghormatinya atau bersikap kasar padanya, mengerti? Sekarang aku ingin kamu pergi ke kamar mu dan menelepon pria baik itu dan mengatur kencan dengannya untuk besok.”

Aiden? Jadi namanya Aiden?

“Bibi, aku tidak bisa dan...”

“Kamu tidak boleh protes sekarang. Pernikahannya sudah diatur,” sela bibinya. Kemudian dia menyerahkan selembar kertas yang berisi nomor telepon. “Ini nomor telepon calon suami mu, telepon dia dan kenali dia.”

Sebelum Bruna sempat memprotes lagi, Camile mendorongnya masuk dan membanting pintu, membuat dinding di sekelilingnya berguncang.

“Ini tidak adil!”

Bruna menenggelamkan wajahnya ke bantal dan dia berteriak di sana. Dia bahkan baru saja berhasil mengumpulkan biaya untuk kuliahnya, ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan. Baru saja dia hendak menyingkirkan masa remaja yang sangat dia benci dan melarikan diri dari sini, namun kini dia tahu dia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama pria yang tidak dia kenal.. Apalagi calon suaminya akan meninggal?

Bruna mendapati dirinya menjadi sangat marah hingga air mata mulai mengalir dari matanya. Dia baru berusia dua puluh tahun saat ini dan dua tahun setelah lulus dia harus bekerja paruh waktu di beberapa tempat untuk memungut biaya untuk sekolahnya. Kini, dia tidak hanya terancam gagal kuliah, tapi dia bahkan akan menikah dengan pria yang tidak dia kenal.

What the fuck!

***

**

Setelah Bruna sedikit tenang, dia mengeluarkan ponselnya dan memutar nomor yang dicatat bibinya di selembar kertas.

Mempertimbangkan nomor itu beberapa saat sebelum akhirnya dia menghela nafas. Bibinya itu orangnya keras kepala, kalau dia tidak menghubunginya maka bibinya yang akan menghubunginya, itu sudah pasti.

Bruna tidak ingin memperburuk keadaan, selain menuruti bibinya. Akhirnya, dia menelepon pria itu. Dia tidak menunggu lama sampai dia mendengar seorang pria menjawab telepon dengan suara tegas.

“Siapa ini?”

“Hm, aku...” Bruna menggigit bibirnya.

“Apakah ini Aiden? Aku Bruna. Um... Bruna Scott.”

Pria itu terdiam beberapa saat sebelum bertanya, “Apakah ada hal penting yang ingin Anda sampaikan kepada Tuan Finnegan? Dia tidak dapat menerima telepon Anda saat ini. Saya akan menyampaikan pesan Anda kepadanya, saya asistennya .”

Bruna melirik jam di dinding dan melihat jarum stenonya menunjukkan pukul dua.

“Maaf menelepon di jam sibuk seperti ini. Mungkin aku akan meneleponnya nanti.”

“Apakah Anda berminat membicarakan urusan penting dengan Tuan Finnegan?”

Bisnis?

Memang benar, seperti halnya drama televisi, pernikahan yang terjadi karena perjodohan hanya didasarkan pada bisnis. Keluarga kaya akan mencari perempuan dengan status kekayaan tinggi untuk melahirkan keturunan baik yang nantinya akan mewarisi hak perusahaan dan menghasilkan keturunan yang diinginkan.

Namun, Bruna merasa sangat aneh. Dia tidak berasal dari keluarga kaya saat ini, hanya orang-orang dari ekonomi kelas menengah. Sepeninggal orang tuanya, bisnis yang dibangun ayahnya puluhan tahun lalu akhirnya jatuh ke tangan bibinya yang rakus. Bahkan bangkrut sebelum bisa dikelola selama dua tahun. Itu semua karena pamannya yang seorang penjudi yang hanya bisa  menggunakan kekayaannya untuk investasi uang yang merugikan.

Dalam kebangkrutan itu, bibinya yang semula manis dan baik hati seperti semut yang menjilat, berubah drastis sikapnya. Seolah-olah kebaikan yang ia lakukan sebelumnya tidak pernah ada di dunia ini, dan semuanya berbanding terbalik dengan kehidupan masa lalunya. Belum lagi ia harus menghadapi kedua sepupunya yang egois dan sering membuat masalah dengannya.

Terdengar suara batuk ringan yang membuat Bruna tersadar dari lamunannya. Karena suara pria di seberangnya terdengar tegas, Bruna entah bagaimana merasakan aura dingin seperti permusuhan nyata darinya.

“Aku mau ketemu Aid-maksudku Tuan Finnegan. Bibi ku memberiku nomor ini untuk perjodohan,” kata Bruna akhirnya.

“Oh.” Pria itu sepertinya menyadari situasinya dan menjelaskan, “Kalau begitu, saya akan segera mengatur waktu pertemuan. Saya akan memberi kabar kepada Anda, Nona Scott.”

Sebelum mematikan telepon, Bruna menghentikannya, “Tunggu sebentar. Aku ingin bertanya, kenapa dia menerima perjodohan seperti itu? Bukankah dia perlu mengetahui latar belakang keluargaku dulu?”

Paman dan bibinya hanyalah orang-orang rakus yang mempunyai banyak bisnis busuk dan hutang dimana-mana. Selama sepuluh tahun, mereka beberapa kali hampir pindah rumah karena menghindari penagih utang. Setengah bulan yang lalu, pamannya kembali terlilit hutang dengan bunga yang sangat besar dan membuat keluarganya terpuruk. Kedua anaknya yang bersekolah harus ditegur pihak sekolah karena menunggak dan diancam akan dikeluarkan.

Orang kaya mana yang mau dengan bebas menikahkan anaknya dengan keluarga seperti ini?

“Pernikahan sudah diatur oleh kepala keluarga. Apapun pertimbangan mereka, pasti baik untuk bos ku.” Asisten itu berkata dengan nada tenang.

“Tetapi ini adalah dunia modern dan orang-orang yang masih berpikir tentang perjodohan adalah orang-orang kuno.”

Tidak ada jawaban dari seberang sana, seolah pria itu sengaja tidak menjawab.

Bruna bertanya-tanya apakah pria bernama Aiden itu terlalu mendambakan pasangan sehingga dia tidak menolak sedikit pun. Dia kaya dan tampan, jika bibinya mengatakan yang sebenarnya, Bruna mungkin akan mendapatkan sebagian warisannya.

Namun, dia tidak senang dengan kenyataan itu, dia tidak menginginkan kekayaan apa pun. Bahkan jika kekayaan itu jatuh ke tangannya, dia tidak akan memberikannya kepada bibinya dengan mudah.

“Besok jam lima, jadwalnya kosong. Aku sudah mengaturnya. Aku akan mengirimi mu alamatnya.”

“Ah?” Bruna linglung.

“Ada lagi? Saya harus kembali bekerja,” kata asisten pria itu.

“TIDAK.”

“Baiklah, jangan terlambat untuk besok, Nona Scott.”

Koneksi terputus.

Bruna memandang ponselnya dengan bingung. Tadi dia tidak merasa hanya sekedar membicarakan janji, melainkan seperti seorang pegawai yang sedang diberi tugas oleh atasannya.

Apa-apaan ini?

...Bersambung...