Akibat sikap kasar
Rose jatuh dalam pelukan petugas pemadam kebakaran, saat pria itu menarik tubuh Rose ketika dia hendak mengangkat sisa pintu kayu dari lemari di kamarnya. Api menyembur keluar dari balik pintu kayu yang tebal itu. Ternyata ada lubang besar di bawah kayu di mana masih ada sisa pembakaran dari lantai satu.
Api itu hampir saja mengenai tubuh Rose, jika saja petugas tersebut tidak segera menarik tubuhnya. Rose bisa merasakan hawa panasnya meskipun mereka sudah berada di jarak aman. Wajah Rose seketika pucat pasi merasakan bahaya yang hampir saja menimpanya. Dalam hatinya dia mengucap syukur karena masih bisa selamat, mengingat masih banyak orang yang bergantung padanya.
'Aku harus hidup dan kuat untuk keluargaku.'
"Kita harus segera turun, Nona. Saya khawatir ada anak api lain yang masih terjebak." Petugas tersebut menarik tangan Rose untuk segera turun.
"Tapi, Tuan. Dokumenku-- akte lahir anakku …." Rose kebingungan melihat sisa api melahap habis tempat di mana dia menyimpan semua berkas penting.
"Anda bisa mengajukan permintaan salinan ulang nanti, Nona. Keselamatan Anda yang paling penting saat ini." Petugas tersebut menarik tangan Rose lebih keras.
Rose terpaksa mengikuti langkah cepat kaki petugas tersebut menuruni tangga. Sesekali dia melirik ke lantai atas tidak rela jika semua yang mereka perjuangkan sudah hangus hanya dalam beberapa jam saja. Bukanlah hal yang mudah untuk meminta salinan dari surat-surat penting di pemerintahan, disaat status ayahnya yang bukan penduduk asli.
"Sebaiknya Anda meninggalkan tempat ini, Nona. Besok pagi kami akan datang kembali dan Anda juga harus memberi laporan kepada petugas polisi."
"Laporan? Untuk apa?" Rose yang sedang dalam keadaan kalut tidak dapat berpikir dengan baik.
"Mengenai kebakaran ini. Anda harus memberikan laporan pertanggung jawaban, karena kebakaran ini bisa saja menyebar dan mengenai gedung lainnya."
Perasaan Rose menjadi sangat terpukul mendengar hal itu. Dia yang paling menderita akibat dari kebakaran ini, tetapi tanggung jawab dan tekanan juga harus dipikulnya.
"Apakah Anda warga negara asli atau imigran?" Pertanyaan petugas tersebut membuat Rose gugup.
"A--aku lahir di negara ini," sahut Rose gugup.
"Baiklah. Sekarang pulanglah, Nona. Kami juga hendak beristirahat."
Rose terpaksa mematuhi, dia berjalan kembali ke arah penginapan. Sebelum melangkah pergi, Rose melihat jika kembali petugas pemadam kebakaran menyemburkan air ke arah lantai dua.
Gadis itu melangkah gontai bagaikan tanpa nyawa.
Dia berjalan dengan pandangan yang kabur dan kedua tangan memeluk mainan milik Kenzie. Suatu keajaiban jika benda ini hanya lecet sedikit di bawah lindungan kaca yang hanya retak karena panas.
Rose sampai di depan gedung penginapan, dia lebih memilih duduk di pinggiran jalan daripada langsung masuk ke dalam. Wanita itu tampak berantakan dengan pakaian kotor dan wajah kusam karena air mata dan kotoran yang menempel.
'Apa yang harus aku lakukan, Ya Tuhanku.'
Dia tak dapat menahan lagi perasaan yang menyesakan dalam hatinya. Rose menangis terisak sekuat tenaga. Dia tak memperdulikan beberapa orang yang berlalu lalang memandang dirinya dengan simpati. Rose membuang rasa malu, gadis itu lebih memilih menangis di pinggiran jalan daripada harus di depan ayahnya.
Baru empat puluh hari yang lalu dia kehilangan Ruby, adiknya perempuan satu-satunya. Baru saja dia merasa lega karena Robert tidak melakukan ancaman untuk membawa pergi Kenzie, tetapi tiba-tiba bencana kembali datang seakan tidak membiarkan dirinya bernapas lega.
Semua harta benda yang dia miliki telah lenyap, sepeda kayuhnya pun sudah ikut terbakar. Hanya beberapa ratus dolar yang dia miliki saat ini dan tiga ribu dolar saja di atm. Kini dia harus berjuang dari awal lagi, bertahan hidup, mencari tempat tinggal baru, membeli makanan, pakaian dan sekolah Kenzie.
'Bagaimana jika mereka semua meminta ganti rugi, kemana aku harus mencari uang sebanyak itu?'
Dia bingung bagaimana harus menghadapi tuntutan dari pemilik gedung dan membuat laporan kepada polisi. Haruskah dia mengabari adiknya, Ryan, ketika pemuda itu dalam persiapan untuk melangsungkan pernikahan. Sedangkan meminta bantuan pada Conrad adalah sungguh memalukan, ketika pria itu sudah menikah dengan sahabat adiknya.
Hal yang membuat Rose paling cemas adalah dokumen surat kelahiran miliknya, Ryan dan Kenzie, juga surat ijin tinggal dan bekerja secara legal di Amerika milik Romeo. Perlu waktu hingga dirinya berusia tujuh belas tahun untuk Romeo mendapatkan Green card tersebut.
Rose tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika dokumen-dokumen penting itu menghilang. Dia mengerti dengan jelas bagaimana sukarnya mengurus semua hal tersebut, belum lagi biaya dan waktu.
"Tolong aku ya, Tuhan!" Rose berteriak dengan nyaring di sela isak tangisnya, tanpa memperdulikan orang lain yang memperhatikannya.
Gadis itu terus menangis di pinggiran jalan hingga larut malam. Dia tidak menyadari jika di seberangan jalan terdapat sebuah mobil mewah berwarna hitam, di mana penumpang di dalamnya sedang memperhatikan dirinya melalui teropong kecil.
"Itu akibatnya jika kau berani bersikap kasar padaku. Akan aku buat dirimu jatuh terpuruk hingga kau terpaksa menyerahkan Kenzie kembali padaku," gumam pria itu dengan suara dingin.
Hatinya tak juga tersentuh melihat keadaan Rose yang menyedihkan. Teriakan pilu gadis itu terdengar sayup di telinganyaa, tetapi tak juga membuat pria tersebut merasa kasihan.
"Aku ingin tahu seberapa kuat dirimu bertahan, jika satu persatu yang kau miliki aku buang ke jalanan." Pria yang mengenakan setelan pakaian gelap itu dengan sinis menatap ke arah Rose.
"Apa kau sudah membayar mereka semua dan memastikan tidak akan ada yang mengaitkan dengan diriku?" Pertanyaan diajukan kepada sopir tanpa mengalihkan pandanganya ke luar jendela.
"Semua Aman, Tuan Robert. Tidak akan ada satupun yang tahu uang tersebut berasal dari Anda," sahut supir yang berbicara tanpa menoleh ke belakang.
"Bagus," seringai licik menghiasi wajah tampan Robert.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?"
"Perintahkan seseorang untuk mengawasi wanita itu dan keluarganya. Pastikan anak kecil yang bersama mereka baik-baik saja." Robert masih terus memperhatikan Rose saat memberikan perintah pada supirnya.
"Hal itu sudah dilaksanakan, Tuan."
"Sekarang kembali ke rumah utama. Tempat itu akan menjadi alibiku, jika sampai wanita menyebalkan itu menyangkutkan kebakaran itu dengan diriku." Robert melihat ke arah jam tangan mewah yang melingkar di tangannya.
"Pukul dua dini hari. Hmpf! Wanita itu benar-benar mencari perhatian banyak orang dengan tetap berada di luar. Aku tidak rela anakku dibesarkan oleh orang seperti dia," batin Robert dengan kesal.
Sopir membawa mobil perlahan melewati Rose yang masih duduk di trotoar dengan memeluk kedua lutut kakinya. Robert dari balik jendela mobil yang gelap menatap Rose dengan dingin. Penderitaan Rose justru membuat Robert merasa senang.
Kendaraan roda empat itu terus melaju membawa seorang dokter selebritis yang terkenal kembali ke rumah keluarga besarnya. Tak akan ada yang menyangka jika dokter dengan wajah malaikat tampan berjubah putih di pagi hari bisa berubah menjadi malaikat hitam di malam hari.
Robert bersenandung ringan memasuki rumah utama yang sudah lama tidak ditempatinya. Pria itu berjalan masuk ke dalam kamar tamu di lantai satu, tempat di mana pertama kali dia mengambil kehormatan Ruby.
"Polos? Heh!" Robert tersenyum sinis.
"Jika saja kau mengerti diriku dengan menjaga diri untuk tidak hamil, mungkin sampai saat ini hidupmu tidak perlu menyedihkan, Ruby, mati dengan cara seperti itu. Heh! Tapi, aku ragu kalau dirimu benar-benar mencintaiku bukan sekedar ingin merasakan hidup nyaman dengan menjebak diriku."
