Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Mari Lupakan Masa Lalu

Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik.

“P-pak, s-saya—”

“Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu.

Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar.

Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir telah mempermainkannya.

“Pak Bara, saya minta maaf jika ada perkataan saya yang menyakiti Anda. Mari lupakan apa yang terjadi di belakang. Sekarang saya hanya sekretaris Anda, dan Anda adalah atasan saya,” jawab Bintang berusaha setenang mungkin.

Bara menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan Bintang. “Aku tidak akan pernah melupakan ucapan wanita murahan yang berani menghinaku.”

Perkataan Bara bagaikan pisau yang menusuk relung hati Bintang. Sebutan ‘Wanita Murahan’, seakan sebutan final yang memang sudah seharusnya. Kata-kata itu menyakitkan, tapi Bintang berusaha keras untuk menerima.

Bintang mendongak, memberanikan diri menatap Bara. “Pak Bara yang terhormat, apa yang Anda katakan adalah benar. Saya ini adalah wanita murahan. Saya menerima apa pun apa yang Anda katakan. Sekali lagi saya mohon maaf, tapi saya berjanji akan bekerja sebagai sekretaris Anda dengan baik. Saya tidak akan menyangkutpautkan hal pribadi dalam urusan pekerjaan. Permisi, Pak Bara, jika tidak ada lagi yang Anda ucapkan saya akan kembali ke meja kerja saya. Ada beberapa dokumen dari mantan sekretaris lama Pak Galih untuk saya pelajari.”

Tanpa berkata lagi, Bintang memberanikan diri melangkah pergi meninggalkan Bara. Sementara Bara masih bergeming di tempatnya—dengan tatapan menatap Bintang penuh dendam serta kebencian mendalam.

Bara tidak akan pernah melupakan bagaimana Bintang menghancurkannya.

***

Jam pulang kantor tiba. Para karyawan Gunaraya Group mulai meninggalkan kantor. Bintang masih berada di kursi kerjanya sambil mempelajari dokumen yang ada. Otaknya sedari tadi berusaha mencerna bahwa semua ini adalah nyata. Pria yang telah dia sakiti sekarang telah menjadi bosnya sendiri.

“Bintang, kamu nggak pulang?” tanya Wilona seraya menatap Bintang yang sibuk mempelajari dokumen.

Bintang menoleh, menatap Wilona yang sudah bergegas ingin pulang. “Tanggung, Wil. Nanti aja aku pulangnya. Masih ada yang harus aku pelajari.”

Wilona mengangguk singkat. “Pak Bara udah pulang?”

Bintang terdiam sebentar mendengar pertanyaan Wilona. Kursi kerjanya berada di depan ruangan Bara, dari tadi dia tak melihat Bara keluar. Hanya Andi yang mondar-mandir ke dalam ruangan Bara. Jika seperti itu, maka artinya Bara belum pulang.

“Bara, eh maksudnya Pak Bara belum pulang,” jawab Bintang buru-buru mengoreksi. Bahaya jika Wilona curiga padanya.

William mengangguk. “Ya sudah, aku pulan duluan ya, Bintang. Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu. Tunanganku di bawah udah jemput aku.”

Bintang tersenyum lembut. “Jadi, kau sudah memiliki tunangan?”

“Ya, Bintang. Dalam waktu dekat, aku dan tunanganku akan menikah. Kamu pasti akan aku undang. Wajib datang, ya?”

“Tentu saja!”

“Oke, sampai bertemu besok, Bintang.”

“Sampai bertemu besok, Wilona. Take care.”

Wilona mengagguk merespon ucapan Bintang. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Bintang. Sementara Bintang masih memilih fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Wanita cantik itu belum ingin pergi, karena terlalu banyak yang dia pikirkan.

Semua yang terjadi pada Bintang seakan telah ditakdirkan. Awalnya Bintang seorang penggangguran yang lama tidak mendapatkan pekerjaan. Namun, di kala dia mulai melamar di Gunaraya Group, tiba-tiba saja dia diterima. Padahal Bintang sempat tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki.

Bintang tentu merasakan bahagia di kala diterima di Gunaraya Group, tapi semua kebahagiaannya seakan lenyap di kala fakta menyakitkan muncul. Bara—mantan kekasihnya—ternyata adalah CEO dari Gunaraya Group. Jika saja Bintang tahu dari awal, maka Bintang tak akan mau bekerja di Gunaraya Group. Ingin sekali Bintang segera mengajukan surat pengunduran diri, tapi dia sadar bahwa sekarang dia telah terjebak.

Bintang membutuhkan uang. Jika dia mengundurkan diri, bagaimana kehidupannya? Terlebih dia bukan hanya membiayai dirinya saja. Goresan nasib ini memang sudah seharusnya Bintang terima. Meski sangat pahit.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Bintang mulai merasakan lelah. Dia memutuskan untuk pulang, tapi sebelum pulang dia merapikan lebih dulu dokumen-dokumen yang ada di atas meja. Detik selanjutnya, Bintang mengambil tasnya—dan hendak meninggalkan mejanya, tetapi langkahnya terhenti di kala melihat Bara keluar dari ruang kerjanya.

Bintang menundukkan kepala. “Selamat malam, Pak Bara. Saya izin pulang.”

Bara tak mengindahkan ucapan Bintang. Dia melangkah melewati Bintang begitu saja bagaikan angin lalu. Tampak Bintang terus menatap Bara yang mulai lenyap dari pandangannya. Wanita itu menerima Bara bersikap sangat dingin, dan terkesan tak peduli padanya. Sebab memang sudah seharusnya Bara bersikap demikian padanya.

Bara menggunakan lift pribadi, sedangkan Bintang menggunakan lift khusus karyawan. Bintang lega karena tidak satu lift dengan Bara. Paling tidak hatinya menjadi tenang dan damai sementara waktu.

Di area lobi, banyak karyawan yang menunggu dijemput atau ada yang masih bersantai. Bintang melihat Bara masuk ke dalam mobil sport berwarna hitam, sedangkan dia berjalan menuju halter busway yang jaraknya tak jauh. Tampak senyuman di wajah Bintang terlukis melihat mobil sport Bara dilajukan dengan kecepatan penuh.

Hati Bintang ikut senang, karena Bara memiliki kehidupan yang baik. Dulu saat kuliah, Bara selalu naik motor lama yang sering mogok, dan sekarang Bara menaiki mobil sport mahal. Hanya saja sekarang telah berbeda. Keadaan tidak lagi sama. Bara yang dia kenal dulu, bukan Bara arogan yang sekarang.

Bintang berjalan menuju halte dengan wajah yang sedikit riang. Dia menikmati antrean panjang di halte busway. Meski sudah pulang malam, tapi kenyataannya halte busway masih dipadati orang pulang kantor.

Saat Bintang sedang mengantre, tanpa sadar sepasang iris mata cokelat menatap dingin dan tajam Bintang. Ya, Bara dari kejauhan memarkirkan mobil sport-nya dan berjarak tak terlalu jauh dari halte busway. Pria tampan itu memfokuskan pandangannya pada Bintang yang berdiri di antrean yang cukup padat.

“Ternyata ini kehidupanmu, Bintang. Aku pikir kamu sudah bergemilang harta,” ucap Bara sinis, penuh dendam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel