Hukuman
"Pegang anak kurang ajar ini! Aku ingin memberinya pelajaran!" titah Barta pada anak buahnya.
Dua orang anak buah Barta mendekati Edgar.
Melihat itu Edgar melangkah mundur menjauh dari anak buah ayahnya tersebut.
"Menjauh dariku! Sialan!" bentak Edgar.
"Maaf Tuan Muda, kami hanya menjalankan perintah."
Edgar menatap ayahnya lalu berkata, "Pa, aku tidak melakukan itu. Aku bisa menjelaskan semuanya." Ia melangkah mundur menghindari anak buah ayahnya.
Barta tersenyum sinis, bukannya menghentikan anak buahnya dia justru kembali mengatakan, "Lumpuhkan dia! Cepat!"
"Baik Tuan."
"Menjauh dariku! Jangan mendekat! Bangsat kalian semua!" bentak Edgar mencoba melawan.
"Maaf Tuan Muda. Tolong jangan melawan, atau kami tidak akan segan segan untuk menyakiti Anda."
Dua orang anak buah Barta memegang lengan Edgar, mencengkram kuat.
Edgar masih berusaha memberontak. Namun, pada akhirnya Edgar berhasil dilumpuhkan oleh dua orang anak buah bertubuh lebih besar dari lelaki tampan itu.
Saat ini, Edgar tak lagi bisa melawan, karena kedua tangan dicengkram erat oleh dua lelaki di belakangnya.
"Mengaku! Atau Papa hancurkan hidupmu!" bentak Barta.
"Bukan aku yang meledakkan mobil itu. Aku sama sekali tidak tahu apa apa," sahut Edgar.
Barta mencengkram kuat leher Edgar di depan anak buahnya. Tak hanya itu, pukulan tanpa jeda juga terus menghujani tubuh Edgar.
Tinjuan telak mengenai wajah Edgar.
Darah segar mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya yang lecet terkena cincin pernikahan Barta.
Edgar terbatuk sambil terus mengatur napas yang sesak, seakan oksigen tak lagi masuk ke dalam paru paru.
"Aku ... aku tidak bersalah, Pa."
Dengan raut wajah emosi Barta kembali memaki Edgar, "Kamu mau mengelak seperti apa lagi? Semua sudah jelas, rusaknya kamera CCTV di rumah ini sudah membuktikannya. Dasar anak kurang ajar! Tidak tahu diri!"
Edgar menggeleng. "Aku ... aku tidak bersalah. Bukan aku pelakunya." Edgar sudah mulai melemah.
Dua orang anak buah Barta masih memegang lengan Edgar sangat erat. Saat ini, tak ada yang bisa dilakukan oleh Edgar selain pasrah dan terus mencoba meyakinkan Barta, bahwa bukan dia pelaku peledakan mobil tersebut.
"Anak tidak tahu diri! Masih saja tidak mau mengaku!" bentak Barta.
"Bukan aku yang melakukan itu, Pa. Aku sama sekali tidak melakukan apa yang Papa tuduhkan." Edgar masih membela dirinya. Meskipun ia tahu semua itu percuma, karena Barta sudah murka.
"Papa tahu kamu yang merusak kamera CCTV di rumah ini. Kalau bukan kamu, lalu siapa lagi?" sarkas Barta.
Disudutkan dengan pertanyaan dan amarah ayahnya, Edgar tak dapat berkata apa apa lagi.
Kemarahan dan tuduhan Barta pada Edgar bukan tanpa alasan. Mengingat, Edgar yang sering menjadi bulan bulanan Barta pasti memiliki dendam pribadi.
"Apa tujuanmu sebenarnya? Kamu sudah berani melawan Papa. Iya?" bentak Barta.
Tak ingin terus menjadi samsak tinju ayahnya. Edgar kembali membela diri. "Aku tidak meledakkan mobil Papa. Untuk apa aku melakukan semua itu? Papa salah alamat. Papa akan menyesal karena orang yang sudah melakukan itu, tetap bisa berkeliaran di luaran sana."
Barta tertawa jengah, "Kamu pikir Papa bodoh! Papa melihat kamu mendekati mobil itu saat Papa baru saja pulang dari acara pernikahan. Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Hah!"
"Aku berani bersumpah aku tidak meledakkan mobil Papa, untuk apa aku melakukan semua itu?"
"Kamu pikir Papa percaya? Papa yakin kamu memiliki dendam pada Papa, itu yang membuatmu melakukan itu! Anak kurang ajar! Tidak tahu diri!"
Edgar menatap tajam wajah emosi ayahnya. Mendengar cacian dan makian yang terus keluar dari mulut ayahnya, memang sudah biasa bagi Edgar, tetapi kali ini berbeda.
Dia dituduh menjadi dalang peledakan mobil milik Barta Wijaya. Dia memang merusak beberapa CCTV, tetapi hanya untuk menghilangkan rekaman saat dia membawa Bella ke dalam kamar.
"Aku memang membencimu, tapi aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu," desis Edgar.
Barta tetap tidak mempercayai ucapan yang keluar dari mulut anak semata wayangnya.
"Sekarang juga kamu ikut Papa!" Barta kembali mencengkram erat leher Edgar. Cengkraman tangan Barta semakin kuat dan menyakitkan hingga membuat Edgar kesulitan bernapas.
Kedua mata Edgar memerah. Oksigen yang masuk ke paru parunya mulai menipis.
'Aku ... belum mau mati sebelum Bella terlepas dari pernikahannya dengan Papa,' ucap Edgar dalam hati.
Melihat anaknya hampir pingsan. Barta melepas cengkraman tangannya.
Kedua mata Edgar yang sempat tertutup rapat, membulat sempurna. Ia mengambil napas dalam dalam, mengatur napasnya yang nyaris habis.
"Seret dia! Bawa dia ke ruang bawah tanah!" titah Barta pada anak buahnya.
Edgar menggelengkan kepala berkali-kali. "Aku tidak bersalah, kenapa Papa melakukan semua ini padaku?"
"Cepat bawa dia ke ruang bawah tanah!" bentak Barta.
"Baik Tuan."
Dua orang anak buah Barta menyeret Edgar menuju ruang bawah tanah.
***
Jam kuliah berakhir. Sore harinya, Bella pulang ke rumah Barta Wijaya yang sudah menjadi suami sahnya.
Ada yang berbeda ia rasakan di rumah mewah itu.
Bella mengedarkan pandangan ke seluruh ruang di rumah mewah tersebut, mencari keberadaan Edgar yang biasanya selalu menggangunya.
"Di mana dia? Apa ada di kamar? Tumben." Bella bermonolog seraya menyapu pandang ke sekitar ruang keluarga.
Beberapa pintu kamar yang berada di lantai bawah, tak luput dari pandangan wanita cantik itu.
"Non, nyari siapa?" tegur Bik Inah asisten rumah tangga yang baru saja ingin pulang, karena jam kerja sudah habis.
"Eh, i-itu. Saya nyari Tuan Barta," dusta Bella. Ia menggaruk tengkuk karena gugup.
"Jam segini biasanya, Tuan Barta ada di dalam ruang kerjanya. Kebetulan saya baru aja nganter kopi buat Tuan."
Bella menganggukkan kepala. "Saya ke kamar dulu, mau mandi."
"Iya, Non. Bibi juga mau pulang soalnya jam kerja Bibi udah habis."
Bella tersenyum ramah lalu berjalan menuju kamar. Sedangkan Bik Inah berjalan keluar dari rumah mewah tersebut.
Di dalam kamar utama ....
Pandang mata Bella tertuju pada seprai yang sudah berubah warna, dan juga hiasan bunga bunga di kamar tersebut sudah hilang.
"Seprai ini sudah di ganti? Artinya Asisten rumah tangga itu juga sudah mengganti dan mencuci seprai di semua kamar?" gumam Bella.
Tak ingin hanya menerka. Bella memutar tubuhnya berjalan menuju pintu kamar. Ingin memastikan sendiri ke kamar tamu.
Bella membuka pintu lalu melangkah menuju kamar tamu.
Deg!
Langkah kaki Bella terhenti saat melihat Barta baru saja keluar dari ruang kerjanya. Ia melangkah mundur mendekati kamar utama.
Lelaki paruh baya itu berjalan mendekati istrinya. Ia menatap Bella dengan wajah dingin.
"Kamu sudah pulang? Lalu kenapa tidak membersihkan tubuhmu? Kamu mau ke mana lagi?" tanya Barta pada Bella. Ia melihat jelas Bella baru saja keluar dari kamar utama.
Bella memegang handle pintu kamar yang baru saja ia tutup. "Sa-Saya ingin ke ruangan Tuan, saya ingin mencari Tuan," dusta Bella.
Barta tersenyum kecil. "Masuk, aku ingin bermain sebentar denganmu, sebelum makan malam."
Bella menelan cairan di mulutnya untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba mengering.
