Alasan Putus
“Aku ingin putus.”
Langit terperangah mendengar ucapan Bintang, kenapa gadis itu meminta putus sedangkan hubungan mereka baik-baik saja.
“Ada apa? Kenapa kamu minta putus? Apa salahku? Bukankah hubungan kita baik-baik saja? Jangan bercanda, Bin. Ini ga lucu.” Langit mengira Bintang bercanda seperti sebelumnya, di mana gadis meminta putus tapi kemudian meminta jadian lagi.
“Aku benar-benar ingin minta putus. Tidak ada yang bercanda, El.” Bintang bicara dengan ekspresi wajah serius. Tidak ada keraguan sama sekali saat mengatakan ingin putus dari Langit.
Langit terdiam menatap Bintang, menilai apakah gadis itu benar-benar meminta putus ataukah hanya sedang ingin mengerjainya saja.
“Katakan! Berikan alasan kamu ingin minta putus dariku!” Langit meminta kejelasan kepada Bintang. Dia tidak lantas percaya begitu saja kalau Bintang ingin mengakhiri hubungan mereka yang baru berjalan beberapa bulan, meski Langit sudah mencintai gadis itu selama bertahun-tahun lamanya.
“Aku bosan. Aku bosan denganmu, dengan hubungan ini. Aku tidak bisa melanjutkannya,” jawab Bintang. Dia terlihat tidak sedih atau merasa bersalah sama sekali ketika memutuskan hubungan mereka.
“Hanya itu? Hanya karena itu kamu meminta putus? Hanya karena kamu bosan denganku? Lelucon macam apa itu, hah!” Langit benar-benar tidak bisa menerima alasan Bintang mengakhiri hubungan mereka.
“Ya, aku bosan. Lagi pula sejak awal, bukankah kamu tahu jika hanya menjadi pelampiasanku saja? Ayolah, jangan terlalu munafik. Kita masih muda, bahkan cinta yang kita rasakan hanyalah cinta monyet saja. Bahkan kita tidak tahu apakah kita akan terus bertahan. Cinta kita hanya sebuah kenakalan dan emosi sesaat. Tidak ada cinta yang tulus di antara kita.” Bintang mencoba meyakinkan Langit kalau apa yang dikatakannya bukanlah sebuah lelucon, Bintang mengatakan itu dengan kesadaran penuh dan keputusan yang sudah bulat karena telah dipikirkannya dengan matang.
Mereka bicara di samping gedung sekolah, tepatnya setelah jam sekolah berakhir.
Langit tetap tidak bisa menerima keputusan Bintang, hingga mengepalkan satu telapak tangan, lantas memukulkan ke dinding, tepat di samping kepala Bintang.
Bintang terkejut dengan yang dilakukan Langit, tapi mencoba bersikap tenang dan ditatapnya Langit yang menahan emosi. Tatapan pemuda itu begitu tajam, matanya merah seperti menahan amarah.
“Katakan! Katakan kalau itu tidak benar! Katakan kalau kamu hanya bercanda ingin putus denganku, Bin!” teriak Langit masih tidak terima.
Bintang didapatkannya dengan susah payah. Dia mencari selama bertahun-tahun agar bisa bersama gadis itu, tapi saat baru saja didapat, kenapa gadis itu meminta berpisah, membuat Langit benar-benar tidak bisa menerima.
Bintang terlihat kuat, tidak ada air mata yang menetes, penyesalan, ataupun rasa bersalah. Ditatapnya wajah Langit yang begitu dekat dengannya. Pemuda itu terlihat menahan amarah yang siap meluap.
“Itu benar, El. Aku tetap akan meminta putus. Mau atau tidak. Setuju atau tidak. Aku tetap akan mengakhiri hubungan ini. Kita masih bisa berteman, El. Tapi tidak untuk hubungan percintaan kita. Aku tahu, kita menjalin hubungan karena cinta yang semu, kelak cepat atau lambat kita akan bosan dengan apa yang sedang kita jalani. Saat itu tiba, kita pada akhirnya akan tetap berpisah,” ujar Bintang masih menatap Langit.
Langit benar-benar geram mendengar ucapan Bintang, terutama gadis itu terkesan meremehkan cintanya. Cinta yang tulus dan dijaganya hanya untuk gadis itu. Langit tidak terima dan tanpa berpikir panjang menekan tengkuk Bintang, menyentuhkan bibir mereka dan menautkan begitu dalam.
Bintang terkesiap dengan yang dilakukan Langit, awalnya menerima ciuman karena kemarahan pemuda itu, tapi lambat-laun Langit menciumnya dengan kasar, membuat Bintang mendorong dan mencoba melepas paksa tautan bibir mereka.
Saat tautan bibir mereka terlepas, Bintang melayangkan tamparan yang secara refleks dilakukan karena tekanan yang didapat. Bintang terkejut dengan yang dilakukan, jantungnya berdegup dengan cepat karena rasa takut akan amarah Langit juga rasa benci pemuda itu kepadanya.
Langit memalingkan wajah saat mendapatkan tamparan itu, hingga tersenyum miring karena Bintang sampai hati menamparnya. Dia tahu jika salah memaksa mencium gadis itu, tapi semua itu dilakukan untuk melihat seberapa besar reaksi Bintang. Kini Langit tahu atau sebenarnya merasa jika Bintang memang sudah tidak menerimanya lagi.
“Kamu benar-benar ingin membuangku?” tanya Langit dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan.
“Aku hanya ingin mengakhiri hubungan kita,” jawab Bintang.
“Kamu membuangku, Bin!” teriak Langit begitu keras.
Bintang sampai mengedikkan bahu, sejak bersama pemuda itu, ini adalah pertama kalinya Langit membentaknya.
“Ini demi kebaikanmu,” ucap Bintang masih terlihat tenang.
“Kebaikan?” Langit tersenyum mencibir.
“Kebaikan katamu! Oke, ini demi kebaikanmu! Kebaikan karena telah menghancurkan perasaanku!” Langit bicara sambil menepuk dada.
Bintang bergeming dan hanya menatap amarah yang sedang diluapkan Langit.
Langit benar-benar tidak bisa menerima, hingga sekali lagi memukul dinding dan membuat Bintang memejamkan mata karena terkejut.
“Ingat, Bin! Ingat ucapanku! Kamu yang sudah membuatku hancur. Kamu yang harus bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi denganku setelah ini. Kamu ingin mengakhiri hubungan kita, maka itu berarti kamu juga menginginkan ‘ku pergi. Aku akan mengabulkannya, Bintang. Akan aku kabulkan keinginanmu! Tapi berharaplah jangan bertemu lagi denganku, jika sampai itu terjadi, maka aku akan berbalik menghancurkanmu.”
**
Bintang terbangun dari tidur lelapnya, jantungnya berdegup dengan cepat dan dadanya terasa begitu sesak. Dia baru saja bermimpi tentang Langit, bermimpi saat dia dengan begitu kejam mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas, hingga membuat Langit hancur dan menghilang bak ditelan bumi.
Tanpa disadari, buliran kristal bening luruh dari kelopak mata. Sekian tahun mencoba melupakan, malam ini Bintang kembali bermimpi tentang Langit. Bintang mengguyar kasar rambut ke belakang, terlihat jelas gurat penyesalan di wajahnya.
“Maafkan aku, El. Maaf telah melukaimu.”
Mengingat ancaman Langit, seluruh tubuh Bintang terasa meremang karena menahan rasa takut.
**
Di Paris, Prancis. Langit belum tidur dan masih berdiri di dekat dinding kaca apartemennya. Dia memandang lurus ke depan, menatap hamparan kota Paris yang bermandikan cahaya.
Langit baru saja mengingat kejadian saat Bintang meminta putus kepadanya. Dia masih tidak bisa menerima alasan gadis itu meminta berpisah. Baginya itu adalah alasan paling tidak masuk akal yang diberikan Bintang.
“Bosan? Apa sedangkal itu cintamu, sampai kamu merasa bosan kepadaku?” Langit tersenyum miring mengingat alasan Bintang meminta berpisah.
“Aku akan kembali, tapi berharaplah untuk tidak bertemu lagi denganku, Bin. Atau aku benar-benar akan menghancurkanmu, seperti kamu menghancurkan dan meluluhlantahkan duniaku.”
Langit melirik tato bintang yang dibuatnya seminggu setelah Bintang meminta putus, tepatnya sebelum dia pergi ke Paris. Dia membuat tato itu di sana, untuk mengingatkan bahwa dia tidak akan pernah bisa melihat dan menggapai cinta gadis yang sangat dipujanya itu.
**
Bintang sudah bersiap ke kantor lebih awal karena sejak terbangun dari mimpi, Bintang sudah tidak bisa lagi tidur, membuatnya memilih mengecek berkas kemudian bersiap ke kantor.
“Pagi, Mi.” Bintang memasang wajah begitu ceria, meski sebenarnya banyak beban pikiran yang ditanggungnya.
“Pagi, sayang.” Annetha menyambut putrinya dengan senyum hangat. Lantas mencium pipi kanan dan kiri Bintang.
Orion—adik Bintang, juga baru saja sampai di meja makan, begitu juga dengan Arlan—sang ayah yang bersiap sarapan sebelum melakukan aktivitas mereka.
“Apa ada kendala di pekerjaanmu?” tanya Arlan di sela sarapan.
“Tidak ada, Pi. Semua aman terkendali,” jawab Bintang penuh percaya diri.
Arlan tersenyum senang, melihat semangat Bintang membuat Arlan tenang. Arlan awalnya cemas jika sampai Bintang tidak bisa menjalani hari seperti gadis lain pada umumnya karena penyakitnya, tapi semangat Bintang membuat semua kecemasan Arlan menguar entah ke mana.
“Jangan terlalu lelah, jika ada yang tidak bisa kamu kerjakan, beritahu papi,” ucap Arlan yang masih sangat mencemaskan Bintang, meski gadis itu kini sudah berumur dua puluh lima tahun.
“Iya, Papi. Pokoknya beres!” Bintang menanggapi ucapan papinya dengan semangat menggebu.
Bukan, itu bukan semangat yang sebenarnya. Bintang bersikap kuat dan tegar di hadapan kedua orangtuanya. Dia hanya tidak ingin ayah dan ibunya menangisi dirinya seperti delapan tahun lalu. Cukup sekali Bintang melihat kedua orangtuanya sedih, kini tugasnya membuat ayah dan ibunya bahagia. Dia harus kuat dan melupakan apa yang sedang dirasakan, memakai topeng penuh kebahagiaan, untuk menutupi kesedihan yang dipendam.
Bintang pergi ke perusahaan menggunakan mobil sendiri, itu karena Bintang bekerja di kantor cabang dan bukan di perusahaan inti.
Gadis itu mengendarai mobil di jalanan yang lumayan macet pagi itu, hingga ponsel Bintang berdering dan nama salah satu staffnya terpampang di sana. Bintang ingin menjawab panggilan itu, tapi karena terkejut mobil depannya berhenti mendadak, membuat Bintang menjatuhkan ponsel. Bintang terlambat menginjak pedal rem, hingga mobil bagian depannya menabrak bemper mobil di depannya.
“Ya Tuhan, mati aku!” Bintang tampak panik karena menabrak mobil orang.
Bintang buru-buru turun untuk melihat seberapa parah kondisi mobil yang ditabraknya, serta ingin meminta maaf dan bertanggung jawab ke sang pemilik mobil.
“Aduh, bagaimana ini?” Bintang melihat bemper mobil yang ditabraknya penyok. Dia mengguyar kasar rambutnya ke belakang dan tampak begitu panik.
Saat Bintang sedang kebingungan karena parahnya kondisi mobil yang ditabrak, seseorang terlihat turun dari mobil yang ditabrak Bintang.
Bintang hendak meminta maaf dan bertanggung jawab. Saat menoleh, Bintang tertegun saat melihat siapa yang baru saja turun dari mobil. Bibirnya terasa kelu dan tatapannya tidak teralihkan.
