Bab 3. Jalan Buntu dan Kontrak Pernikahan
Aurora kembali ke penginapan yang telah menampungnya selama beberapa hari. Ia masih merasakan kesal dengan sikap dan tawaran dari Kael yang seakan begitu menjatuhkan harga dirinya.
Sling bag yang masih menggantung di badannya, kini ia raih dan dilempar kuat ke atas kasur. Umpatan kecil lolos dari mulutnya.
“Dia kira siapa dirinya? Seenaknya saja memutuskan jalan hidup orang lain. Aku memang butuh uang, tapi aku tidak serendah itu!”
Ketukan halus menghentikan omelannya. Ia menghela napas, merapikan anak rambutnya yang berantakan, lalu berjalan mendekati pintu. Saat pintu terbuka, pemilik penginapan telah berdiri di hadapannya.
“Selamat sore, Nona Vallen. Maaf, aku mendapat laporan jika pembayaran kamar untuk dua hari kemarin belum kami terima. Jika sampai malam ini kau tidak membayarnya, maka kau harus pergi dari penginapan ini.”
Aurora terdiam. Ia memang hanya membayar untuk dua hari awal ia menginap. Selebihnya, ia belum membayarnya karena beranggapan bahwa sebentar lagi ia pasti akan mendapatkan pekerjaan, lalu melunasi semuanya. Namun…
Kenyataan sial itu membuatnya kembali marah.
“Maaf, Nyonya. Aku akan melunasinya segera. Aku hanya harus mendapatkan pekerjaan, lalu aku janji akan melunasi semuanya.” Aurora mengatakannya dengan nada lirih, terdengar takut-takut.
“Jadi maksudnya,” ucap pemilik penginapan itu dengan kedua mata menyipit. “Kau akan berhutang di penginapan ini sampai kau mendapatkan pekerjaan? Kapan hari itu akan datang?”
Aurora tidak bisa menjawabnya. Ia bahkan masih berjuang untuk mendapatkannya. “Tolong izinkan aku tinggal sampai saya mendapatkan pekerjaan itu, Nyonya.”
“Kapan tepatnya? Kau sudah mendapatkannya?”
Aurora menggeleng pelan. “Aku masih berusaha, tapi aku berjanji akan melunasi semuanya nanti.”
Pemilik penginapan itu tersenyum—sangat dibuat-buat, jelas itu bukan senyum yang ramah. “Aku tidak menerima pembayaran dengan janji. Kalau kau memang tidak bisa membayarnya, sekarang juga kau harus angkat kaki dari sini. Penginapan kecil ini harus jalan dengan pembayaran uang, Nona, bukan janji.”
Aurora ingin menego ulang keputusan itu, tapi sang pemilik penginapan telah berlalu dari hadapannya. Ia menghempaskan punggungnya pada pintu, merasa tak ada lagi hal baik yang akan datang dalam hidupnya.
Perlahan, ia kembali menutup pintu, lalu duduk di tepi ranjang. Kepalanya menunduk, memikirkan cara dan di mana lagi tempat yang bisa ia tuju untuk saat ini.
Sisa tabungan yang ia miliki saat ini hanya bisa untuk membayar penginapan sampai hari ini. Setelah itu, tak ada lagi yang tersisa kecuali untuk membeli satu roti yang mungkin bisa ia gunakan sebagai makan malam—atau justru disimpan untuk sarapan keesokan harinya saja.
Aurora kembali mengingat ucapan Kael tadi. Ah, rasanya memalukan sekali jika ia kembali datang hanya selang beberapa jam untuk menerima tawaran itu.
“Apa yang terjadi padamu, Rora?? Harusnya kau menurunkan harga dirimu di situasi seperti ini!” erangnya, sambil merebahkan kasar tubuhnya di atas kasur.
“Kalau aku kembali lagi ke sana, apakah dia akan menertawakanku?”
Dilema itu kini menyiksanya. Namun ia merasa tak memiliki jalan keluar lagi selain menerima tawaran itu. Jika itu hanya pernikahan kontrak, pasti akan ada syarat yang menguntungkan selain hutang-hutangnya lunas, bukan? Ia bisa membicarakannya dengan Kael, setidaknya… hal itu harus menguntungkannya.
Namun…
Harga dirinya yang terlampau tinggi lagi-lagi menjadi penghalang baginya.
“Sadarlah, Rora! Tidak ada pilihan lagi!” serunya lagi ke dirinya sendiri.
Ketukan kencang dari pintu kembali terdengar, diakhiri dengan teriakan pemilik penginapan yang menyuruhnya untuk segera keluar dari tempat itu.
Aurora menegakkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. Ya, memang tidak ada pilihan lagi. Aurora dengan enggan merapikan barang-barangnya, lalu keluar dari ruangan itu dan pergi ke resepsionis untuk membayar.
Aurora menyodorkan lembaran terakhir dari dompetnya, tangannya bergetar, seakan tak rela untuk menyerahkan harta terakhirnya pada resepsionis. Tapi, ia harus menyelamatkan martabatnya sebelum pergi.
Resepsionis menerima lembaran itu, sambil terus menunjukkan sorot meremehkan pada Aurora. Sementara Aurora berusaha untuk tidak terpancing dengan semua itu.
Setelah melakukan semuanya, ia benar-benar hanya memiliki sisa uang yang cukup hanya untuk sepotong roti, dan dunia yang seakan tak menyediakan tempat lagi untuknya.
“Apa aku benar-benar harus kesana lagi?”
Ponsel yang berada di saku, ia rogoh dan segera mencari nama Luther di antara daftar nama kontak yang tidak berguna sama sekali.
Tangannya sedikit gemetar, pikirannya sedang berdebat lagi dengan perasaannya. Ia ragu apakah harus menghubungi nomor Luther yang tadi ia dapatkan sebelum pulang dari gedung penthouse milik Kael.
Pada akhirnya, nada sambung itu terdengar.
[Nona Vallen? Ada yang bisa aku bantu?]
“Luther… ehmm… jadi begini… apakah… well… kau ada di mana?”
[Di tempat Tuan Vireaux. Apakah Nona mau kesini lagi? Aku akan sampaikan padanya.]
Jantung Aurora berdebar kencang. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Ia ingin kesana—tampaknya harus kesana—tapi ia terlalu gengsi untuk mengatakannya.
“Aku—”
[Kata Tuan Vireaux, kau ditunggu di penthouse sekarang juga. Hari sudah mulai malam, kau pasti butuh untuk makan malam, kan?]
“Hah?”
[Tuan Vireaux menunggumu. Datanglah segera.]
Panggilan berakhir.
***
Beberapa lembar dokumen berserakan di atas meja. Aurora mengernyitkan wajahnya, heran dengan apa saja yang telah ditulis oleh Kael di sana.
Ya, pada akhirnya… Aurora kembali ke penthouse setelah membunuh harga dirinya. Tak ada lagi jalan yang bisa ia lalui kecuali hal ini.
“Apa saja itu?” tanya Aurora, tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Kael mendongak setelah meletakkan satu lembar terakhir di atas meja. Ia menyeringai tipis saat menatap wajah Aurora yang kebingungan.
“Kontrak pernikahan, rekening tabungan yang akan kau gunakan selama menjadi istriku, sertifikat apartemen baru sebagai kompensasi tambahan dalam pernikahan ini selain hutang-hutangmu yang akan kubayar lunas, dan mungkin beberapa klausul tambahan yang mau kau tambahkan.”
Kael menjawabnya dengan tenang. Ia kembali bersandar di sofa—tempat yang sama, saat Aurora meninggalkan penthouse tadi.
“Tunggu, jadi… kau akan memberiku apartemen baru?” Aurora masih berusaha mencerna semuanya.
Sebelah alis Kael berkedut cepat. Seringai itu kembali tertarik di sebelah sudut bibirnya, membuat Aurora merasa kesal.
“Apartemen baru, lengkap dengan isinya, dan akan kuberikan setelah kontrak kita berakhir.”
Aurora mulai menimbang semua benefit yang ia terima. Hutang lunas, dan mendapatkan apartemen baru, tampaknya itu sudah cukup baginya. Ia hanya perlu mendapat pekerjaan setelah itu. Itu artinya, ia tak membutuhkan klausul tambahan lagi.
Aurora kemudian membaca dokumen pernikahan kontrak, membaca semua klausulnya, lalu kembali menatap Kael.
“Apa syarat teranehnya? Well… aku harus tahu semua hal yang mendalam, kan? Mungkin saja ada syarat aneh yang tidak kau cantumkan di sini.” Aurora menggoyang pelan dokumen yang ia pegang.
Kael menatap datar, sikapnya masih angkuh, sama seperti pertama kali Aurora melihatnya. “Kita tidur terpisah. Dan satu lagi, kau tidak boleh jatuh cinta padaku.”
Aurora nyaris tertawa mendengarnya. Ia hanya mengeluarkan suara aneh saat berusaha menahan tawanya. “Tenang saja. Kau bukan tipeku.”
“Kalau begitu, tanda tangani kontrak itu segera. Aku tidak ingin membuang waktu lagi.” Kael melempar pena ke atas meja, sambil memberikan kode dengan gerakan matanya agar Aurora segera mengambilnya.
Sambil mendengus kecil, Aurora meraih pena itu, dan segera memberikan tanda tangannya di tempat yang telah disediakan. Dengan goresan terakhirnya, ia resmi menyetujui kontrak yang beberapa jam lalu ia tolak.
Ironis sekali.
Seringai puas tertarik di sudut bibir Kael. Ia berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Aurora dengan senyuman.
“Selamat Mrs. Vireaux. Kita akan menikah tengah malam ini juga.”
