Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kakak Licik

Maureen menarik napasnya perlahan. Dia perlu sedikit bernegosiasi.

"Tu-Tuan, apakah aku boleh pulang setelah ini?” Maureen memberanikan diri berkata dengan tubuh dan bibirnya yang terus bergetar.

Tangan Max masih saja bebas menjamahnya. Masih meremas dua milik Maureen secara lembut dan intens.

“Uhm, aku belum puas denganmu. Bisakah kau tak merusak suasana hatiku!”

Max berkata sambil menciumi punggung gadis itu.

“Aku harus pulang, Tuan. Jika aku tidak pulang malam ini, aku akan dihajar habis-habisan oleh ibu dan kakakku!”

Maureen kembali membuka suaranya.

Dia ingin laki-laki itu mengerti dengan kesulitan yang sedang dia rasakan.

“Dipukuli? Hah! Memangnya apa peduliku! Itu bukan urusanku!” cetus Max.

Dia malah kesal karena gadis itu terus merengek dan mengganggu kesenangannya.

Maureen bergeming, dia merasa usahanya akan tetap sia-sia.

Max menarik wajah gadis itu dan memberikan satu kecupan yang sangat dalam.

Bibir Max terus membelit dan memberikan hisapan. Benar-benar membuat Maureen terlena dan kehilangan akalnya.

“Mmm … ini benar-benar sangat manis dan tipis. Aku sangat menyukai dan tidak bosan!” cetus Max mengangumi sambil mengusap bibir Maureen dengan lembut.

Tatapannya seolah tergila-gila dengan bibir gadis itu.

Mungkin bagi Maureen, saat ini hanya itu yang dapat diandalkan.

Mengandalkan tubuhnya untuk memenuhi keinginan me5um dan gila laki-laki itu.

“Sabar Maureen, setelah kau berhasil keluar dari sini. Anggap saja seperti digigit anjing di jalan. Toh, kamu tidak akan bertemu lagi dengan laki-laki ini. Biarkan dia puas, kau harus bisa membuatnya melepaskanmu. Karena kamu lawan pun tetep percuma, semua toh sudah diambil olehnya!” Pikiran Maureen tak bisa dicegah.

Dia, hanya bisa menahan semuanya.

Saat ini pun jika memang laki-laki itu akan membayar mungkin Maureen akan menerimanya.

Satu jam berlalu. Max benar-benar hanya meminta gadis itu menemaninya mandi.

Dia hanya memberikan kecupan dan meninggalkan stempelnya dimana-mana.

“Martin akan mengantarkanmu, jadi makanlah dulu!” ucap Max sambil memberikan satu paper bag pada Maureen yang masih duduk di pinggir ranjang.

Maureen menarik wajahnya dan menatapnya kecut.

"Aku tidak lapar! Aku hanya ingin pulang sekarang juga!" cetusnya.

Gadis itu mengambil paper bag dan segera memakainya.

Untuk pertama kali seumur hidup Maureen dia tidak memiliki perasaan malu saat melepaskan handuk yang dipakainya.

“Aku pasti akan mencarimu lagi, jadi bersiaplah!”

Max tidak memberikannya cek seperti yang ada dipikirkan. Dia malah memberikannya satu kartu hitam.

“Cih, kamu pikir aku masih mau bertemu denganmu!” Umpatnya di hati.

Maureen kembali menatap Max.

Namun, tak ada suara yang keluar dari mulutnya, “Limitnya satu milyar!” dia membelalakan mata dengan lebar.

“Bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang dengan sengaja membuang uangnya begitu saja hanya untuk satu malam dengan perempuan yang tidak dia kenal.

“Kenapa? Apa masih kurang?” ucapnya sangat sombong sambil menyalakan pemantik dan menghidupkan rokoknya.

Bahkan ucapannya hanya membuat tenggorokan Maureen tertohok.

“Ti-tidak, Tuan! Terima kasih!” dia meraih kartu tadi dan menundukkan kepala memberi hormat pada Max.

“Cih, ternyata sama saja! Di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak menyukai uang!” umpat Max menyepelekan gadis itu.

Martin masuk setelah menerima tanda dari tuannya, “Antarkan, dia pulang!” perintah Max.

“Baik, Tuan! Mari, Nona!” ucap Martin.

Maureen tanpa basa basi langsung berbalik dan meninggalkan laki-laki tadi. Mengekori Martin yang keluar lebih dulu dari kamar tuannya.

“Hei, dimana tas dan ponselku? Apa aku sudah bisa menelpon sekarang?” Maureen berbicara sambil berjalan mengikuti langkah kaki Martin yang besar-besar.

Martin menghentikan jejaknya sesaat menoleh ke arah gadis itu.

“Gadis ini sungguh berani. Bahkan dia tidak takut sama sekali dengan tuan.”

Dia tak berkata, hanya memandangi wajah gadis itu sampai kaki lalu kembali melangkah.

“Hiii!! Menyebalkan banget sih. Apa-apaan dia. Dia benar-benar sama dengan tuannya yang arogan itu.”

“Akulah yang dirugikan disini tahu! Ya ... memang aku mendapatkan bayaran, tapi tetap saja, ini kan bukan keinginanku.” Omel Maureen dalam hati.

"Ini tas dan ponsel anda, Nona Maureen Angelia Aditama. Saya sudah memasukkan akses jaringan kami dan nomor pribadi tuan. Jadi, anda sebaiknya jangan pernah mencoba bermain-main dengan tuan!" ucap Martin penuh penegasan.

Maureen sedikit mengerutkan dahi mendengar ucapan Martin.

Hanya karena Maureen ingin semuanya cepat berakhir, dia hanya manggut-manggut saat menerima tas dan ponselnya.

Maureen tidak pernah peduli sama sekali dengan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki sombong dihadapannya.

"Terima kasih, tapi bisakah kau antarkan aku pulang sekarang!" pintanya. Sudah tak ingin berlama-lama di tempat itu.

Martin tanpa berkata, dia membukakan pintu untuk Maureen dan gadis itu bergegas masuk kedalam.

Sementara yang tak diketahui gadis itu, Max tengah memperhatikan gadis itu sambil membaca laporan yang diberikan oleh Martin.

"Pantas saja dia tidak terlalu terkejut dengan uang yang kuberikan. Rupanya dia seorang nona di keluarga Aditama!”

“Sungguh menarik, sepertinya aku tidak akan puas jika hanya bertemu satu kali denganmu, Maureen Angelia!" senyuman smirk mengulum pasti dari sudut bibir Max.

Sudah pagi saat Maureen tiba di kediamannya.

Dia bergegas turun dari mobil Martin dan segera membuka pagar rumahnya.

“Eh, darimana dia tahu rumahku?”

Maureen yang baru sadar tanpa dia memberitahukan alamat, dia sudah sampai di rumah.

Baru saja Maureen melangkah masuk kedalam ruangan. Dia sudah dikejutkan dengan satu koper yang dilemparkan.

Koper itu tepat jatuh di kakinya dan isinya berhamburan.

Lalu satu tamparan mendarat di wajahnya.

Terasa perih dan pedih dia rasakan.

"Kau masih berani pulang?" seorang wanita berkata dengan sangat angkuh setelah dia mendapatkan tamparan keras tadi di wajah Maureen.

Maureen memegangi wajahnya.

Kemudian menatap Sasha, kakak yang semalam meninggalkan dirinya sendiri di pub dan dia terlihat dengan balutan perban di kepalanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Dia, berkata dalam hatinya.

Masih belum mengerti dengan drama yang dibuat oleh sang kakak licik.

"Sudahlah Ma … Mama jangan marah lagi. Ini semua bukan kesalahan Maureen. Aku yang salah, aku memang berpisah dengannya semalam!"

Sasha berkata dengan isak tangis dan menghampiri Maureen.

Dia mencoba menjadi pembela untuk adiknya.

"Ada apa sebenarnya? Aku tidak mengerti sama sekali dengan ini?" ucap Maureen.

Maureen masih mencoba membaca situasi. Dia benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Sasha.

"Dasar anak tidak tahu diri, tidak tau terimakasih. Aku sudah merawatmu, tapi inikah balasannya? Kau mencelakai kakakmu, hah!" tudingnya dengan penuh kemarahan.

"Mencelakai? Apa maksudnya, kak?" Maureen melayangkan pandangannya pada kakak liciknya itu.

"Sasha bilang, kamu meninggalkannya dengan teman-teman lelakimu. Dia hampir saja dikerjai mereka kalau dia tak menyelamatkan diri!" ucap Ibu tiri Maureen.

Maureen seperti disambar petir di pagi hari yang terang benderang.

Dia tidak menyangka kakaknya akan membalikkan keadaan.

Jika dia sekarang memberikan pembelaan pun pasti tidak ada yang percaya.

Ataupun berbicara soal fakta bahwa kakaknya lah yang telah meninggalkan dirinya.

"Apa benar kak? Kakak ditinggalkan olehku semalam?"

Maureen mengepalkan tangan menatapnya dengan penuh amarah.

Dia berharap kakaknya kali ini memiliki hati nurani.

"A-aku sudah bilang Ma, ini salah paham. Kami, tidak sengaja terpisah, bukan Maureen yang meninggalkanku!" Sasha tetap berkelit dan memberikan pembelaan diri.

"Hei, kau lihat sendiri betapa baiknya anakku ini. Dia sangat baik hati dan polos. Kau meninggalkannya pun masih tetap dia bela!"

Ibu tiri Maureen merangkul anaknya dan mengusap punggung anaknya, seolah-olah anaknya lah yang tersakiti.

“Astaga … sampai kapan aku harus menjalani sandiwara ibu dan anak yang munafik ini. Tak ada seseorang pun yang membelaku.”

Maureen tetap diam, dia kemudian berjongkok dan memberesi isi koper yang berhamburan tadi.

"Sebaiknya kau introspeksi dan jangan kembali sebelum kau memperbaiki diri!" usir ibu tiri Maureen.

Maureen menatap mereka dengan perasaan iba.

"Tapi, kemana aku harus pergi, Ma?"

Padahal dia berniat akan beristirahat karena tubuhnya terasa sakit semua.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel