Bisikan Di balik api
Pagi itu, matahari menyelinap masuk kamar lewat celah jendela, tetapi Arman masih menggulung tubuhnya dengan selimut tipis. Malam sebelumnya jelas membuatnya susah tidur. Bayangan siluet perempuan di jendela itu masih jelas terpatri di kepala.
“Hah! Jadi gini rasanya ngekos gratis sama hantu,” gumamnya sambil menguap lebar.
Ia menatap langit-langit, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau begini, harusnya aku bisa nagih uang kontrakan, dong.”
Pemuda itu memaksa dirinya untuk bangun. Langkahnya gontai dengan mata berat akibat kurang tidur. Menuju dapur dengan niat ingin membuat kopi. Akan tetapi, begitu buka lemari kayu, ia malah kaget melihat seekor cicak meluncur cepat ke dinding.
“Woi! Jangan kagetin saya, Cak! Udah cukup semalam aja ditemenin siluet misterius. Jangan ikut-ikutan jadi pemeran horor murahan,” omelnya
Sambil mendidihkan air, Arman berusaha menenangkan diri. Namun, dari ruang tengah, terdengar suara ibunya yang sedang menata tikar.
“Man, kamu nggak tidur nyenyak, ya? Semalam kayaknya bolak-balik di kamar,” tanya Bu Sumi tanpa menoleh.
Arman menelan ludah. Ia sempat mau bohong, tetapi akhirnya berniat untuk berbicara jujur.
“Bu, semalam aku lihat ada orang di jendela. Perempuan. Diam aja, tapi jelas banget ada.”
Bu Sumi berhenti sejenak. Tangannya gemetar halus, lalu menoleh perlahan. Tatapan matanya dalam menusuk jantungnya.
“Kamu jangan main-main, Man. Kalau benar bisa lihat, berarti dia sudah berani menampakkan diri. Itu artinya, dia ada hubungannya sama kita.”
Arman mengernyit. “Maksudnya apa, Bu? Jangan bikin aku tambah bingung. Aku udah cukup parno, loh.”
Wanita paruh baya itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mendesah panjang, lalu melanjutkan menata tikar seolah ingin menghindari pertanyaan.
Arman memutuskan keluar rumah, berharap udara segar bisa meredakan kepalanya. Di luar, ia bertemu lagi dengan Pak Dul– tetangga yang selalu penuh celetukan.
“Loh, Man! Mukamu kayak kurang tidur gitu. Jangan-jangan semalam kamu ditemenin, 'hihihi'," Pak Dul sengaja membuat gerakan tangan menirukan hantu terbang.
Arman pun mendengus. "Pak Dul, kalau Bapak mau jadi stand-up comedian, jangan di depan rumah saya. Lagian, serem-serem gini malah diketawain.”
“Lha iya, toh, hantu itu nggak usah ditakutin. Kalau takut, dia makin seneng. Coba aja kalau ketemu lagi, kamu kasih kerjaan. Suruh nyapu halaman. Hehehe.”
Arman menahan tawa, meskipun dalam hati masih resah. Tak lama kemudian, Pak Dul menurunkan suaranya menjadi lebih serius.
“Man, ngomong-ngomong, kamu udah denger cerita lengkapnya soal rumahmu itu, belum?”
Arman mengangkat alis. “Cerita lengkap gimana? Yang kebakaran itu? Bukannya cuma rumah kosong doang, Pak?”
Pak Dul menggeleng dengan cepat. “Bukan cuma kosong. Ada keluarga yang ... terbakar di dalam. Perempuan muda sama anak kecil. Katanya, mereka itu ada urusan sama almarhum bapakmu.”
Arman terdiam. Kata-kata itu menancap dalam. “Urusan, sama Bapak?”
Pak Dul tak menjawab lebih jauh. Ia hanya berdehem, lalu pamit dengan terburu-buru seolah takut kebablasan ngomong.
Arman pulang dengan kepala penuh tanda tanya. Ia masuk ke gudang rumah, tempat barang-barang lama disimpan. Bau apek menusuk hidung. Berawal dari menggeser kardus, membuka lemari tua, hingga akhirnya menemukan sesuatu.
Sebuah boneka kecil dengan setengah wajahnya hangus terbakar. Tangannya bergetar saat memungut boneka itu.
“Ya Tuhan. Ini .., ini boneka siapa?” bisiknya.
Saat itu juga, udara dalam gudang berubah dingin. Bau asap tipis tercium, meski jelas-jelas tidak ada api. Dari sudut ruangan, terdengar lirih suara tangisan anak kecil.
“Ma, mama ....”
Arman tersentak, mundur perlahan hingga hampir jatuh menabrak kardus.
“Ini nggak lucu lagi, sumpah. Siapa pun kamu, jangan ganggu aku!” teriaknya dengan suara bergetar.
Tangisan itu berhenti seketika dan berakhir sunyi.
Di cermin tua yang tersandar di dinding, Arman melihat pantulan samar seorang perempuan berambut panjang dengan wajah gosong terbakar, berdiri tepat di belakangnya.
Sore menjelang malam. Arman masih terus kepikiran boneka hangus yang ia temukan di gudang. Sejak siang tadi, ia menaruh boneka itu di meja dapur dengan tujuan … entahlah. Agar bisa dipantau? Mungkin. Akan tetapi, hasilnya malah membuatnya semakin resah.
“Kalau tiba-tiba boneka ini bisa jalan sendiri, fix saya langsung cabut dari rumah ini,” gumamnya sambil menyeruput kopi sachet murahan yang sudah diseduhnya.
Bu Sumi menatap boneka itu dengan wajah cemas. “Man, kenapa kamu bawa naik ke dapur? Harusnya dibiarin aja di gudang.”
Arman mengangkat bahu. “Ya masa ditinggal, Bu. Lagian kalau itu memang boneka yang ada hubungannya sama yang terbakar dulu, ya, biar kita tahu, gitu.”
Bu Sumi terdiam dan hanya menunduk, seperti menyimpan sesuatu.
Malamnya, Arman kembali ke kamar. Lampu dipadamkan, hanya cahaya bulan yang menembus lewat jendela. Ia mencoba tidur dengan posisi miring dan memeluk bantal.
Baru sebentar memejam, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Suara kayu berderit, seolah ada kursi yang digeser pelan.
Arman memaksa membuka mata.
“Yaelah, jangan bilang boneka itu sekarang lagi jalan-jalan,” gumamnya setengah bercanda, meski bulu kuduknya meremang.
Ia bangkit perlahan, berjalan ke dapur dengan langkah hati-hati. Dari celah pintu, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya hampir copot. Boneka hangus itu sudah tidak ada di atas meja.
“Waduh, ini bukan lagi film Toy Story versi Indonesia, kan?” Arman menelan ludah.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa cekikikan dengan lirih. Suara anak kecil. Arman langsung memutar badan, tetapi tidak ada siapa pun di belakangnya.
Ia kembali ke kamar dengan langkah cepat. Begitu rebahan, tubuhnya langsung terasa berat. Kelopak matanya menutup dengan sendirinya. Hingga akhirnya ia terjebak dalam alam mimpi.
Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah rumah yang sedang terbakar hebat. Api menjilat-jilat dinding, asap hitam pekat memenuhi udara. Suara jeritan perempuan terdengar dengan jelas.
“Anakku! Tolong anakku!”
Arman berlari ke arah suara itu. Ia melihat seorang perempuan muda dengan wajah gosong memeluk seorang anak kecil. Anak itu menggenggam boneka yang sama persis dengan yang ditemukannya tadi.
“Bantu kami." Suara perempuan itu parau, matanya menatap Arman penuh rasa putus asa.
Arman mencoba meraih tangan mereka. Begitu hampir menyentuh, tubuh keduanya terbakar habis, menyisakan abu yang beterbangan.
Arman terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi seluruh wajahnya.
Di samping tempat tidurnya, boneka hangus itu kini tergeletak rapi. Padahal jelas-jelas tadi ia meninggalkannya di dapur.
Arman terdiam dengan tubuh kaku.
“Ya Tuhan, ini beneran kejadian, bukan mimpi," bisiknya lirih.
Pagi pun datang menyapa. Matanya merah, jelas semalaman tak bisa tidur. Pandangannya terpaku ke boneka hangus di samping tempat tidur.
Pria itu memberanikan diri membawa boneka itu ke ruang tengah lagi. Bu Sumi yang sedang menyiapkan sarapan, terlihat canggung saat boneka itu muncul.
“Bu.” Arman membuka perbincangan dengan suara pelan. "Boleh saya nanya sesuatu?”
Ibunya menoleh, lalu cepat-cepat kembali menunduk ke wajan. “Apa, Man?”
Arman menatap boneka itu. “Boneka ini, ada hubungannya sama kebakaran dulu, ya?”
Sendok sayur di tangan wanita itu jatuh ke lantai. Suara dentingnya membuat suasana makin tegang.
Bu Sumi terdiam lama dengan bahunya yang gemetar.
"Ibu berharap kamu nggak pernah nemuin boneka itu, Man,” katanya lirih.
Arman mendekat. “Jadi benar, Bu? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Bu Sumi menggigit bibir, lalu menatap Arman dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Rumah ini, dulu memang pernah terbakar. Ada seorang ibu muda dan anaknya yang ikut jadi korban. Mereka nggak sempat keluar, dan yang tertinggal hanya boneka itu.”
Arman menelan ludah. Cerita di mimpinya semalam seakan terasa nyata.
“Terus, kenapa boneka ini masih ada di sini?”
Ibunya menutup wajah dengan kedua tangan. “Karena mereka belum bisa pergi, Man. Arwah mereka masih di rumah ini.”
Hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Arman menoleh ke boneka itu. Dan, saat itu juga, ia mendengar suara lirih.
“Aku ingin pulang.”
Suara itu jelas. Bukan dari ibunya, bukan dari dirinya, tetapi dari arah boneka gosong itu.
Arman merinding sekujur tubuh, sementara ibunya mulai menangis pelan.
“Ibu udah coba, sudah berkali-kali mencoba, tapi mereka tetap di sini.”
Arman memandang ibunya dengan tatapan bingung dan takut bercampur jadi satu.
“Bu, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?”
Wanita itu menggeleng, dan wajahnya penuh ketakutan.
“Ibu nggak tahu, Man. Ibu benar-benar nggak tahu.”
