Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 6

Hari pertama dengan berbagai macam kegiatan yang Retno miliki membuat Rio cukup kaget juga. Ternyata benar kata Ayahnya jika tidak ada orang kaya yang duduk santai dan berleha-leha. Karena kini sampai pukul satu siang, ia telah selesai mengantarkan Retno ke butik, salon dan terkahir mereka akan menuju kesalah satu restoran bertema Castil di Jogja. Saat Rio membukakan pintu mobil untuk Retno dan Retno mengatakan terimakasih, berlalulah Retno dari hadapan Rio. Kini sebagai supir yang baik, ia akan menunggu Retno diparkiran. 

Didalam restoran, Retno sedang berhadapan dengan Handi, sang mantan suami. Ia harus bertemu dengan Handi karena mereka berdua memiliki bisnis yang sudah sepakat untuk tetap dikelola bersama. 

“Mas, Aku nggak bisa lama-lama. Intinya kamu mau bilang apa?”

“Bagaimana untuk rencana ekspansi bisnis kita kedaerah Gunung Kidul? Apakah jadi kita membuat resort dan restoran?”

“Kalo dananya cukup, silahkan. Aku nggak mau kalo kita harus berhutang pada bank. Ingat kejadian yang kemarin ribet juga, apalagi kita sudah bercerai.”

Handi hanya menganggukkan kepalanya. Ia mengingat ketika mereka bercerai dulu dan angsuran dibank untuk modal pembangunan restoran mereka belum lunas. Mau tidak mau Retno dan Handi harus tetap berhubungan karena mereka tidak mau menjual usaha mereka kepada pihak lain. 

“Okay. Biarkan aku ambil dari tabunganku.”

Retno hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia menatap mantan suaminya yang sudah layak disebut sebagai sugar Daddy. Harta berlimpah, wajah cukup tampan diusia 40 tahunan, sayangnya sampai sekarang ia belum menikah juga. 

“Ret, bagaimana kabarmu?”

“Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana, Mas?”

“Nggak jauh berbeda. Aku masih ditagih menantu dan cucu sama ibu.”

Retno hanya menggelengkan kepalanya. 

“Mas, apa kamu masih menyembunyikan fakta jika kamu memiliki varicocele*? walau sudah dioperasi."

*varicocele adalah varises yang terjadi di alat kelamin pria. 

Handi hanya menganggukkan kepalanya yang membuat Retno menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. 

“Lebih baik kamu jujur biar calon istrimu kelak, agar ia tidak disalahkan karena tidak kunjung hamil.”

“Andai kamu dulu mau berusaha lebih lagi, Ret. Mungkin kita bisa mempertahankan pernikahan.”

Retno hanya tersenyum getir dihadapan Handi. 

“Mas, kamu sudah pernah bilang sama aku kalo kamu nggak bisa terima aku yang sudah pernah jajan sana sini, Sedangkan kamu dulu gimana? Waktu dokter vonis kamu memiliki varicocele yang ada kamu jadi insecure, nggak mau jamah aku. Padahal kamu tau aku ini nggak bisa kalo harus berhenti berhubungan badan apalagi lebih dari seminggu.”

“Menikah nggak cuma soal sex saja.”

“Ya, itu ada benarnya, Mas. Tapi buat aku menikah dan cinta saja tidak cukup tanpa hadirnya sex yang membara dalam pernikahan. Pernahkan kamu berfikir, gimana tersiksanya aku dulu? Hampir dua tahun kamu nggak jamah aku, aku harus memakai jasa gigolo lebih sakitnya lagi selama itu juga ibu mertuaku selalu menagih cucu. Uang memang kita nggak kekurangan, Mas, tapi kamu nggak mau bayi tabung. Bukankah itu hal yang egois?”

“Maafkan aku, Retno.”

Retno melipat tangannya di depan dada dan memandang Handi dalam-dalam. Ia melihat sosok laki-laki yang berbakti kepada orang tuanya namun sayangnya ia tidak bisa mengambil sikap. Sesuatu yang bagi Retno sangat membuatnya tersiksa dulu karena Handi tidak pernah membelanya di depan orangtuanya ataupun keluarga besarnya saat Retno menjadi bulan bulanan mereka tentang penerus nama keluarga. 

“Aku sudah memaafkan kamu, Mas. Kalo aku belum memaafkan kamu, aku nggak akan bisa bertemu dengan kamu berdua seperti ini.”

“Terimakasih, aku sadar kesalahanku dulu ketika menjadi suamimu dan kalo kita bisa bersama lagi kenapa tidak kita coba?"

“Bagai membaca novel yang sudah tau ujungnya akan seperti apa, Kenapa juga harus diulang kembali? Lagipula aku sudah cukup nyaman dengan status janda yang aku sandang sekarang, Mas. Aku permisi, Mas. Pekerjaanku masih banyak.”

Setelah mengatakan itu semua Retno bangkit berdiri dari kursi yang ia duduki dan segera berjalan keluar dari restoran. Ia menahan air matanya ketika berhadapan dengan Handi, namun kini saat ia mulai berjalan keluar dari restoran dan menuruni tangga di depan Restoran, air matanya menetes di pipi. Bagaimanapun juga pernah dianggap mandul, tidak subur dan wanita tidak sempurna, namun pada kenyataannya justru bukan ia yang memiliki masalah, tetapi Handi. Saat sudah mengetahui semuanya bukannya Handi jujur kepada keluarganya. Ia memilih diam dan membiarkan Retno tetap dipandang sebagai wanita yang tidak sempurna dimata keluarganya.

Rio yang melihat Retno berjalan ke arah mobilnya diparkir langsung biru buru membukakan pintu untuk Retno. Wajah Retno ketika memasuki kursi penumpang belakang terlihat sendu. Berbeda dengan Retno yang ia lihat sejak pertama kali bertemu bahkan tadi sebelum memasuki restoran. Rio bertanya tanya dalam hati apa yang terjadi pada sang majikan ketika ia berada di dalam restoran? Ingin bertanya namun ia sadar diri. Ia hanya supir, tugasnya hanya mengantsrkan Retno ketempat yang ia ingin tuju, bukan untuk sok akrab dan sok perhatian kenapa juga Retno menangis. 

“Rio, antar saya ketempat dimana saya bisa melepas beban.”

“Maaf, Tante, tempatnya dimana?”

“Terserah kamu.”

Buset…

Rio tidak tahu harus mengajak Retno kemana. Tidak mungkin juga ia mengajak Retno yang berpenampilan anggun, feminim dan wanita sekali ini ke gunung dengan menggunakan high heels. Segera saja Rio melajukan mobil menuju ke arah bukit paralayang. Tempat yang menurutnya cukup tenang dan memiliki pemandangan bagus jika sore menjelang. 

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel