PART 4
Rio menatap lemari kayu yang ada di dalam kamar kostnya.
“Baju mana ya yang pantas buat hari pertama gue masuk kerja?”
Tokk….
Tokk….
Tokk…
“Yon, Yono, Riyono. Bukain dong pintu kamar Lo."
Sebuah suara yang mengetuk pintu kamarnya membuat Rio menghentikan aktivitas memilih pakaian. Segera ia menutup pintu lemari dan berjalan membukakan pintunya.
“Hallo Mas Riyono, Sayang,” sapa Prima teman mendakinya yang tanpa diundang sudah berada di depan kamar kostnya malam ini.
“Kenapa Lo datang kemari?”
“Biasa, ngambek sama emak,” kata Prima sambil nyelonong masuk ke dalam tanpa dipersilahkan.
Rio hanya melihat saja prima masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di kasur.
“Bro, kasur Lo sudah tipis banget ini, gantilah.”
“Duit dari mana?”
“Minta sama emak bapak Lo di kampung,” jawab Prima santai.
“Lo kira emak bapak gue duitnya banyak?”
“Ya elah, duitnya nggak banyak, tapi kebun karetnya berhektar-hektar, masa depan Lo cerah. Secerah matahari pagi.”
“Bangke!” Komentar Rio pada Prima yang membuat Prima tertawa cekikikan.
Beberapa saat Rio meninggalkan Prima untuk mandi dan saat ia keluar dari kamar mandi kamarnya, terlihat prima sedang bermain PS 4 miliknya. Mengingat dirinya sedang membutuhkan uang, Rio mencoba menawarkan salah satu harta paling berharga miliknya kepada Prima.
“Prim, daripada Lo kesini cuma buat main PS doang. Mending gue gadaikan aja PS gue sama Lo.”
“Mau digadai berapa?”
“Tujuh ratus ribu doang.”
“Yakin cukup buat Lo hidup dan makan?” Tanya Prima karena ia tau jika Rio sedang membutuhkan uang untuk kehidupannya sehari-hari.
“Iya, soalnya besok gue sudah mulai kerja sama Tante Retno.”
Prima langsung menghentikan permainan PS-nya dan kini ia menatap Rio dalam-dalam.
“Kenapa Lo lihatin gue begitu?”
“Lo nggak jadi gigolo alias jual diri, kan sama Tante-Tante?”
Seketika Rio terdiam, mematung dan setelahnya ia sudah mengumpat dengan fasihnya.
“Asu! bajingan! setan! Ora sudi aku dadi gigolo. Mending aku jadi kuli atau lainnya.”
“Padahal jadi gigolo kui enak lho, tinggal genjotin dia sampai bisa pipis enak, terus tinggal Lo crott crott doang.”
“Bangke!"
Setelah mengatakan itu Rio keluar dari kamarnya dan segera ia menuju ke angkringan depan kostnya. Seperti biasa ia akan menambah timbunan hutangnya pada pak Sarwo sang penjual angkringan. Mau tidak mau sampai ia menerima gaji dari Retno, Rio harus berhutang pada pak Sarwo seperti kebiasaannya sejak Pandemi menyerang dunia.
***
Pagi ini Rio harus berjibaku dengan kemacetan kota Jogja karena ia bangun sudah kesiangan. Ini semua gara-gara Prima yang tidur di kostnya sampai mengorok, belum lagi tetangga sebelah kostnya yang ia yakini sedang dinas malam bersama pacarnya. Dan dua kejadian itu sukses membuatnya tidak bisa tidur semalam suntuk, ia baru bisa memejamkan matanya pukul empat pagi. Ketika ia sedang merasakan alam mimpi membuainya, alarm di jam kecil kamarnya dan di handphonenya telah meraung raung untuk segera di matikan, sayangnya ia tidak bisa melakukan itu karena ini hari pertamanya bekerja dan apesnya lagi, ia lupa jika kini setiap pagi Jogja tidak kalah macet dengan Jakarta atau Surabaya. Apalagi jika musim libur panjang.
Beberapa kali Rio mengumpat sambil mengemudikan motor matic 125cc miliknya.
“Asu! Bajingan! Wedus!” Umpat Rio berkali kali karena ia masih terngiang-ngiang suara desahan pacar tetangga sebelah kamar kostnya semalam.
Sudah resiko yang harus ia terima dan maklumi karena memilih kost-kostan Las Vegas atau LV sebagai tempat tinggalnya. Walau para tetangga kostnya tidak secara resmi tinggal seatap dengan pacarnya tapi mereka sering tinggal sekamar bisa seminggu 4 sampai 5 kali. Bahkan ada yang bersama sama terus dan baru pulang ke kost mereka masing-masing saat keluarga mereka datang ke kota ini atau libur semester. Sudah rahasia umum jika kost-kostan di kota besar sekarang semua bebas, sayangnya Rio tidak menganut itu semua bukan karena ia alim, tapi karena ia tidak memiliki pasangan dan saldo di ATM debetnya yang pas-pasan. Lagipula di jaman seperti sekarang mana ada wanita yang mau hanya memakan batang serta dua buah telur hidup miliknya? Tentu saja tidak ada, perempuan jaman sekarang kebanyakan mengedepankan logika daripada perasaan. Rio tidak akan menyalahkan perempuan itu, karena menurutnya mendahulukan logika daripada perasaan itu lebih baik daripada hanya menjadi budak sex semata.
Setelah hampir setengah jam Rio berjibaku dengan para warga yang juga menjadi pejuang hidup seperti dirinya, akhirnya ia tiba di depan pintu gerbang rumah Retno yang tinggi menjulang serta besar. Bahkan pertama kali Rio melihat rumah Retno ia sampai menggelengkan kepalanya. Tidak ia sangka jika Tante temannya ini adalah wanita kaya raya. Rio mencoba untuk memencet bel dan tidak lama setelahnya seorang wanita berusia awal 20 tahunan membukakan pintu gerbang tersebut.
“Permisi, betul ini rumah Tante Retno?”
“Tante?” Ulang perempuan itu.
“Iya.”
Karena perempuan itu tau jika sang majikan hoby mengoleksi dan merasakan rasa seorang berondong, akhirnya ia mengambil kesimpulan yang biasanya sudah menjadi kebiasaannya untuk langsung mempersilahkan laki-laki agar masuk ke rumah. Walau sedikit heran, Rio akhirnya masuk sambil menuntun motornya.
“Masuk saja langsung, Mas. Saya pergi dulu buat belanja pulang nanti siang,” kata perempuan itu dan segera ia keluar dari rumah Retno serta menutup pintu pagar. Sang pekerja rumah tangga itu tidak mau menganggu aktivitas sang majikan yang sedang ingin digempur.
Rio akhirnya mulai memasuki rumah yang besar, mewah dan bergaya modern minimalis tersebut. Rumah dengan tiga lantai ini cukup besar bagi Rio. Saat ia berjalan sampai ruang tengah yang memiliki kaca lebar sehingga memperlihatkan pemandangan area kolam renang, ia hanya bisa meneguk ludahnya karena ia melihat Retno memakai baju renang two piece. Apa yang kemarin ia bayangkan tentang Retno semua sirna, karena Retno yang ia lihat kini terlihat lebih menantang, menggoda dan benar benar menggairahkan. Andai Retno mengajaknya untuk menyatukan semua partikel-partikel kecil dalam tubuh mereka berdua bersama, dimana pun tempatnya itu, Rio tidak akan menolak. Untuk Retno ia akan mencoba menjadi seorang pejantan tangguh hingga Retno kewer-kewer karena tidak sanggup menghadapi ledakan gairahnya yang sudah lama berhibernasi ini.
***
