
Ringkasan
Rafka dikenal sebagai siswa bandel di sekolah. Berandalan miskin yang lebih sering tidur di kelas daripada mendengarkan guru, lebih akrab dengan masalah daripada prestasi. Tapi jauh di balik wajah masa bodoh itu, ada seorang anak yang sebenarnya… sedang berusaha mencari tempat di dunia yang selalu lebih dulu menghakimi. Alisa adalah kebalikannya. Pintar, tertutup, berasal dari keluarga berada. Dikenal karena nilai sempurna, tapi disisihkan karena terlalu "berbeda". Dibebani ekspektasi orang tua dan dijauhi teman-teman yang tak paham caranya melihat dunia. Di sudut kelas, dia menyembunyikan luka… dan memilih diam. Mereka sekelas. Hanya tahu nama. Tak pernah bicara—hingga suatu hari, saat Alisa dibully dan Rafka berdiri di sisinya… segalanya berubah. Dari sebuah momen kecil, tumbuhlah koneksi yang tak pernah mereka duga. Bukan cinta pada pandangan pertama, tapi pertemuan dua jiwa yang saling retak dan mulai belajar menambal celah bersama. Melalui proyek sosial sekolah yang tak sengaja mempertemukan mereka lebih dekat, Rafka dan Alisa perlahan membuka pintu satu sama lain. Dari saling curiga menjadi saling percaya. Dari sekadar bertahan, menjadi ingin tumbuh. Tapi hidup bukan cerita indah yang lurus. Di antara tekanan keluarga, ketidakpastian masa depan, luka dari masa lalu, dan batas-batas sosial yang memisahkan, mereka harus memilih: Tetap diam dalam peran yang diberikan Atau melangkah ke arah yang tak pernah dilihat siapa pun… bahkan oleh diri mereka sendiri. --- "Kadang, yang kita butuhkan bukan seseorang yang sempurna. Tapi seseorang yang berani bertahan di samping kita, bahkan saat kita sedang pecah."
Bab 1
Aku gak pernah benar-benar perhatikan dia.
Alisa.
Namanya terdengar waktu absensi, kadang dari gumaman guru saat ngebahas nilai tertinggi, dan sesekali dari omongan anak-anak kelas yang setengah iri, setengah bingung. Tapi selain itu, dia seperti bayangan. Duduk di pojok kanan depan, selalu sendiri, selalu diam. Seolah dunia di kelas ini bukan miliknya.
Aku duduk di belakang dekat jendela. Paling belakang malah. Tempat strategis buat tidur tanpa ketahuan guru, atau pura-pura sibuk corat-coret buku padahal gak ngisi apa-apa. Semua orang udah tahu reputasiku. Anak berandalan yang bodoh dan malas. Dan sejujurnya, aku juga udah lama berhenti peduli soal itu.
Hari itu kelas biasa aja. Sampai waktu istirahat kedua.
Aku baru balik dari kantin, bawa sepotong roti sisa uang receh. Belum sempat duduk, aku lihat tiga cowok berdiri mengelilingi meja depan kanan. Meja Alisa.
Salah satu dari mereka, Tofan, teman satu angkatan yang punya hobi cari bahan ejekan, lagi dorong-dorong buku dari meja Alisa pakai penggaris.
"Eh, anak genius, buku kamu jatuh tuh. Masa sih pinter tapi gak bisa jaga barang sendiri," katanya sambil tertawa kecil.
Yang lain ikut cekikikan. Alisa diam saja. Wajahnya tetap datar, tapi dari tempatku berdiri aku bisa lihat tangannya menggenggam ujung rok dengan erat. Dia berusaha pura-pura gak dengar, tapi itu justru bikin mereka makin menjadi.
"Eh, katanya kamu anak orang kaya ya," kata Tofan lagi, "Kamu pikir pinter doang bisa bikin kamu dihargai di sini? Kamu sombong banget, gak pernah ngajak ngobrol siapa-siapa."
"Bilang makasih kek kalo kita ajak main," timpal satu lagi.
Buku jatuh ke lantai. Lembarannya terbuka lebar. Di sampulnya ada nama Alisa, ditulis kecil tapi rapi. Dia buru-buru membungkuk, memungutnya tanpa bicara sepatah kata pun.
Dan aku gak tahu kenapa, tapi tiba-tiba kaki ini gerak sendiri.
Aku maju. Langkah pelan, tapi pasti. Tanpa sadar semua orang mulai memperhatikan. Aku berdiri di depan mereka bertiga, ngelihat mereka satu per satu. Mereka lebih tinggi dariku, tapi bukan soal tinggi.
"Apa-apaan sih," kataku pelan, tapi jelas.
Tofan mendengus. "Lah, lu ngapain sih, Raf. Mau jadi pahlawan sekarang?"
Aku menatap dia lurus. "Udah cukup, Fon. Gak lucu."
"Yah, si jagoan sekolah sekarang sok peduli sama anak pintar ya."
Aku gak jawab. Tanganku masih dingin, tapi aku berdiri tegak. Tatapan mataku tetap pada mereka.
Tofan dan temannya saling pandang. Salah satu dari mereka ngedecak pelan lalu menarik lengan temannya.
"Udahlah, males. Cari yang lain aja. Anak ini gak seru."
Mereka pergi. Suara mereka masih terdengar waktu keluar kelas. Tapi aku gak peduli.
Aku menoleh ke arah Alisa.
Dia masih berdiri, bukunya udah kembali ke tangannya. Matanya menatapku. Kosong, tapi juga penuh. Seolah ada banyak hal yang ingin dia bilang, tapi semuanya tertahan di tenggorokan.
Aku mengangguk kecil. "Gak apa-apa kan?"
Dia pelan mengangguk. "Iya."
Suara itu kecil. Jauh lebih kecil dari yang kubayangkan.
"Aku... terima kasih."
Aku duduk lagi. Gak bilang apa-apa. Gak ingin bikin dia makin gak nyaman. Tapi sebelum aku buka buku, dia jalan pelan ke arahku.
Dia berhenti di samping bangkuku. Masih pegang bukunya erat-erat.
"Kenapa kamu bela aku?" tanyanya.
Aku menoleh. "Gak tahu. Cuma... gak enak aja ngelihatnya."
Dia mengangguk pelan. Lalu duduk kembali di kursinya. Kali ini dengan posisi tubuh yang sedikit lebih tegak.
---
Hari-hari setelah itu gak langsung jadi indah. Dia tetap duduk di bangkunya. Aku tetap di bangkuku. Tapi ada yang berubah.
Setiap kali aku masuk kelas, aku jadi sadar keberadaannya. Matanya kadang melirik ke arahku. Kadang dia cepat-cepat menunduk kalau aku ketahuan melihat. Tapi setidaknya… kami mulai menyadari bahwa kami ada.
---
Hari Jumat berikutnya, hujan turun deras waktu jam pulang. Gerbang depan penuh. Banyak anak nunggu jemputan di bawah atap. Aku berdiri di pojok gerbang, tangan di kantong, nyari celah biar bisa langsung lari pulang. Jaketku tipis, dan hujan makin deras.
Lalu aku lihat Alisa. Berdiri di ujung teras sekolah, sendirian, payungnya patah. Gagangnya bengkok, kainnya sobek. Dia cuma berdiri, gak tahu harus ngapain.
Aku menghampirinya. Gak mikir panjang.
"Kamu nunggu jemputan?"
Dia menoleh. Rambutnya basah sedikit, pipinya merah kena dingin.
"Enggak. Jalan kaki."
Aku ngangguk. "Aku juga."
Dia lihat ke arah langit. "Payungku rusak."
Aku buka tasku, ngeluarin plastik hitam besar yang biasa aku bawa buat nutup buku. Kusobek sedikit, kubuka selebar mungkin.
"Kamu mau bareng?"
Dia ragu sejenak. Lalu mengangguk. "Makasih."
Kami jalan berdua, berlindung di bawah plastik seadanya. Aku megangin satu sisi, dia sisi lainnya. Jalannya pelan. Tapi anehnya… gak ada yang canggung.
"Rumahmu jauh?" tanyaku.
"Sepuluh menit. Kamu?"
"Lima belas kalau gak lari."
Dia tertawa kecil. Aku tersenyum.
"Kenapa kamu gak pernah ngobrol sama orang lain?" tanyaku.
Dia menunduk sedikit. "Karena aku takut."
"Takut apa?"
"Takut kalau aku ngomong, aku salah. Takut kalau aku buka diri, aku dianggap aneh."
Aku diam.
Dia melanjutkan. "Aku selalu mikir… lebih baik sendiri daripada bareng orang yang gak benar-benar peduli."
Aku menatap jalanan becek di depan kami. "Aku juga pernah ngerasa gitu."
Dia menoleh. "Serius?"
Aku mengangguk. "Waktu kecil, aku sering dianggap troublemaker. Jadi, aku mikir, buat apa berusaha jadi baik, kalau orang udah mutusin aku jahat dari awal."
Alisa menggenggam pinggir plastik lebih erat. "Tapi kamu nolong aku."
Aku tertawa kecil. "Mungkin aku capek dianggap jahat terus."
Dia tersenyum. "Aku senang kamu nolong aku."
Dan untuk pertama kalinya, langkah kami terasa ringan.
---
Waktu sampai di ujung gang rumahnya, hujan masih belum berhenti. Tapi kami berhenti di sana. Plastik itu basah dan sobek di beberapa sisi, tapi cukup buat nolong kami gak kuyup.
Dia berdiri, menatapku.
"Kamu tahu, aku gak pernah jalan bareng siapa-siapa dari sekolah."
Aku tertawa. "Aku juga gak pernah nolong anak ranking satu sebelumnya."
Dia tersenyum.
"Besok ada tugas kelompok dari Bu Nia. Mau satu kelompok sama aku?" tanyanya pelan.
Aku kaget sedikit, tapi langsung menjawab.
"Boleh. Tapi kamu harus sabar kalau aku bego."
Dia tertawa pelan. "Kalau kamu bego, aku ngajarin. Kalau aku aneh, kamu tahanin."
Aku mengangguk. "Deal."
---
Waktu dia masuk rumah dan aku mulai jalan lagi, ada perasaan aneh di dada. Seperti… pertemuan yang seharusnya terjadi dari dulu tapi tertunda karena kami terlalu sibuk menyembunyikan diri.
Dan di tengah hujan itu
Di ujung hari yang basah
Aku sadar sesuatu
Kadang, langkah paling penting dalam hidup kita
Bukan langkah besar
Tapi langkah kecil
Menuju seseorang
Yang selama ini
Hanya kita lihat dari jauh
