Bab 2 Jenderal Sutangji
“Inikah yang dikatakan dokter nomor satu? Apa yang kamu lakukan pada lengan dan pahaku? Jahitannya kenapa buruk sekali?” Sutangji bertanya sambil menatap luka bekas peluru di lengan dan di paha kanan bawah kakinya.
Asisten yang menangani keluar dari ruangan operasi lalu bicara pada Dania.
“Dokter! Pasien mendengar keributan dan kabur keluar!”
Dania membelalakkan mata lalu bertanya dengan emosi. “Apa kalian tidak membiusnya sebelum melakukan operasi?”
“Kami berniat membiusnya tapi pasien berkeras menolak operasi jika dibius, jadi kami tidak membiusnya sama sekali.”
Kening Dania mengernyit.
Operasi berjalan dengan lancar, bahkan Sutangji sama sekali tidak mengaduh kesakitan ketika jarum menusuk untuk menjahit bekas luka di paha dan lengannya? Apa dia pria ajaib di muka bumi ini?
Suara lantang Sutangji mengejutkan Dania.
“Kamu sering melamun? Inikah dokter terkenal nomor satu di kota A? Sungguh tidal kompeten!”
Ketika melihat luka dan jahitannya, Dania tahu proses menjahit luka pada paha dan lengan sama sekali belum selesai.
Dania tidak bisa menahan emosinya, hari ini banyak hal buruk yang sudah terjadi.
“Tuan Ji, sebaiknya Anda kembali masuk ke dalam, bagaimana mungkin seorang pasien tidak berada di tempatnya ketika pihak medis belum selesai melakukan perawatan lanjutan? Luka Anda bahkan belum selesai dijahit!”
Suara lantang Dania membuat Sutangji semakin marah. Dia mencengkeram baju dokter Dania dengan satu tangan. Sutangji mendekatkan wajahnya lalu berkata tepat di depan kedua mata Dania hingga membuat pandangan mata Dania menjadi kabur dan tidak bisa melihat wajah pria berhidung mancung tersebut dengan jelas.
“Lihatlah caramu menanganiku sangat buruk sekali! Kamu sudah bosan menjadi dokter di sini? Aku keluar karena mendengar keributan! Dan kamu sudah berhutang satu nyawa padaku karena menyelamatkanmu barusan, bersikap baiklah padaku! Lakukan pekerjaanmu dengan profesional!”
Tatapan mata yang tajam bagai elang, ditambah kata-kata kejam mengintimidasi dan penuh ancaman membuat Dania terpaksa patuh pada perintah Sutangji. Sudah jelas di belakang Sutangji berdiri kekuasaan besar tanpa batas, salah satunya adalah pemimpin kota A dan Presdir rumah sakit tempat Dania bekerja.
“Ya! Aku akan menangani lukamu, jadi kembalilah masuk ke dalam.”
“Ruangan operasi terlalu menyilaukan mataku, kita pergi ke ruangan yang lebih santai saja! Apa kamu tidak bisa menanganiku di ruangan lain?” Sutangji bertanya dengan tatapan mata meremehkan.
Dania menghela napas panjang lalu mempersilakan Sutangji untuk mengikutinya.
“Baiklah, mari ikuti saya!”
“Kamu akan membiarkan pasien berjalan kaki ke ruangan lain? Bagaimana kalau pasien pingsan di tengah jalan lalu meninggal?”
Dania tersenyum miring, lalu berkata pada dirinya sendiri dalam keadaan linglung, “Apa-apaan dia? Haruskah aku membawa pesawat untuk mengangkutnya ke ruangan kerjaku?”
Sutangji melotot sambil berteriak. “Hei! Aku mendengar semua kata-katamu!”
“Saya akan menggunakan kursi roda untuk membawa Tuan Ji? Apakah itu cukup atau Tuan Ji perlu berbaring jadi saya akan menggunakan brankar.”
“Tidak perlu! Kursi roda saja! Lekaslah!”
Dania menganggukkan kepalanya, dia membawa Sutangji menggunakan kursi roda menuju ke ruangan kerjanya. Di sana Dania melanjutkan penanganan medis yang belum selesai.
Saat sedang ditangani, Sutangji terus menatap wajah Dania dan juga melihat tag nama di dada Dania. Tanpa sadar Sutangji bergumam, “Dania Ansel?”
“Ya?”
“Aku hanya membaca namamu.” Sutangji menunjuk nama yang tertera pada jas putih Dania.
“Sudah selesai, untuk perawatan lanjutan cukup ganti perban dan mengoleskan obat secara rutin.”
“Kamu yang akan melakukannya untukku, mulai sekarang!” kembali terdengar nada tegas dan tidak boleh ditolak.
“Ya, saya akan mengatur waktu sesuai jadwal.” Dania berusaha bersikap normal dan sopan sebagai dokter profesional.
“Tidak! Aku yang akan menentukan jadwalnya!” Sutangji menatap Dania dengan sorot mata tajam bagai elang. Tidak ada senyum di bibirnya. Nada suaranya lantang, terang, dan jelas.
Dania menganggukkan kepalanya, dia segera mencatat laporan pada rekam medis milik Sutangji yang dia bawa dari ruang operasi.
Baru beberapa catatan dia tuliskan di sana, ponsel dalam saku Dania berdering nyaring. Dania mengambilnya dan melihatnya sejenak. Panggilan tersebut ternyata dari Guwenki.
Guwenki pria sialan itu pasti sudah tahu aku datang ke vila! Jika tidak, mana mungkin dia repot-repot meneleponku!
Ada juga beberapa pesan yang dikirimkan pada Dania oleh Guwenki, semuanya tentang permintaan maaf atas perilaku khilaf yang dia lakukan dengan Yulia. Guwenki juga bilang dia tidak serius menyukai Yulia dan hanya menggunakan Yulia sebagai hiburan dan kesenangan semata.
Dania meremas ponselnya dengan geram. “Apa dia pikir setelah meminta maaf semuanya akan selesai? Apakah dia kira aku akan memberikan kelonggaran dan kesempatan untuknya? Kesabaranku sudah habis sekarang!”
Dania melupakan keberadaan Sutangji di dalam ruangan. “Dokter Dania? Anda baik-baik saja?” tegur Sutangji.
“Hah?”
“Hah?” ulang Sutangji.
“Saya baik-baik saja, maafkan saya!” Dania berusaha mengukir senyum di bibirnya. Dania segera menelepon asistennya untuk mengantarkan Sutangji ke bangsal pasien.
“Apakah perawatan lukaku sudah selesai ditangani?” tanyanya pada Dania dengan tidak sabar.
“Sudah selesai, saya sedang mengatur kamar rawat inap untuk Anda.”
“Tidak, aku sangat sibuk, banyak tugas yang harus aku tangani, aku tidak membutuhkan kamar di sini!” Sutangji berkata dengan tegas lalu berdiri dari kursinya.
Dania tidak mau disalahkan jika sampai terjadi sesuatu pada Sutangji.
“Tuan Ji! Tunggu sebentar!” Dania berdiri dari kursinya lalu menahannya agar tidak pergi.
“Kamu tidak dengar aku sangat sibuk? Untuk apa menghabiskan waktu di sini? Kalian akan menunda pekerjaan penting yang sedang aku tangani! Di kota B sedang ada wabah, banyak penduduk yang harus diselamatkan, beberapa kota lain ikut terkena dampaknya. Penjahat mulai merampok bahkan terang-terangan melawan petugas dengan pistol! Jika aku tetap di sini, berapa nyawa penduduk kota yang harus dikorbankan?”
Dania terbengong, dia tidak tahu jawaban yang tepat kecuali menyuntikkan obat bius pada Sutangji! Dania selalu menyimpannya di dalam saku untuk menghadapi situasi tak terduga seperti sekarang.
Ketika jarum suntik menyentuh belakang bahunya, Sutangji menoleh dan menatap Dania dengan tatapan marah serta sulit diungkapkan. Tatapan mata itu seperti tatapan dari seseorang yang akan melenyapkan nyawa Dania.
Sutangji jatuh tertidur Dania menangkapnya ke dalam pelukan, tidak lama setelah itu perawat datang dan memindahkan Sutangji ke kamar vip di rumah sakit.
Dania merasa cemas teringat tentang cara Sutangji menatapnya lantaran diam-diam membiusnya tanpa berdiskusi dengan Sutangji terlebih dahulu.
“Apa Sutangji akan membunuhku? Tidak mungkin bukan? Ya, Sutangji adalah jenderal nomor satu di kota ini, dia tidak mungkin bertindak gegabah apalagi membunuh dokter yang sudah menolongnya!” Dania berkata pada dirinya sendiri sambil berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya. “Tapi, tatapan mata itu sungguh terlihat sangat kejam dan bengis! Dia pasti akan menghabisi nyawaku! Kenapa aku sungguh sial hari ini? Pacarku berselingkuh kemudian aku harus mati di tangan Sutangji? Tidaaaakk!”
