Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 - GREY DAY

---Kamis, 20 Juni 2014. Pemakaman Umum Barnes---

---London Borough of Richmond, London---

Nuansa sendu dan gelap memenuhi salah satu sudut yang berada di lokasi pemakaman umum itu, beberapa orang yang berkumpul dengan munggunakan baju hitam dan putih dengan tudung dan bunga di tangannya ikut berdiri mengitari dua buah makam yang letaknya berdampingan. Nisan yang bertuliskan nama sepasang suami istri itu kini menjadi saksi bisu tentang akhir perjalanan hidup dua orang yang begitu berharga di hidup Putri kini.

Gadis itu sendiri masih utuh di tempatnya, duduk dan menunduk lesu tanpa bisa mengurai satu patah katapun di hadapan para pelayat. Hanya sorot mata dan sikapnya yang menggambarkan betapa luka di hatinya begitu dalam atas kepergian mendadak kedua orang tuanya secara tiba – tiba. Dia menerima semua ucapan bela sungkawanya dalam keheningan dengan pikiran yang terus melayang jauh tentang banyak hal.

Pemakaman yang memang di lakukan secara tertutup itu tetap terlihat cukup ramai, mengingat Haris adalah seorang News Anchor Senior di tempatnya bekerja dan memiliki cukup banyak rekan di kantornya dan cukup di segani juga semasa hidupnya.

Tak ada yang menyangka bahwa tragedi ini akan menimpa mereka, yang di kenal sebagai pasangan yang cukup romantis juga jauh dari pertengkaran bahkan dengan kedua anaknya sekalipun.

“Selesaikan kuliahmu dan bawalah ijazahmu pada kami. Tempat kami akan terbuka untukmu,” ujar seorang pria paruh baya dengan mantel hitam panjang dan berwajah muram yang mendekati Putri dan menepuk pundak gadis itu.

Dia melirik nisan Haris dan kembali berkata, “kau tahu itu kan, nak?” katanya lagi.

Laki – laki yang bernama George itu tak lain adalah pemimpin dari redaksi berita tempat ayah Putri bekerja selama ini. Juga merupakan sahabat dekat sang ayah selama tinggal di Inggris. Beberapa kali George juga menyatakan keinginannya agar Putri mengikuti jejak sang ayah dan masuk ke dunia penyiaran. Tapi George tahu, impian gadis itu bukan di bidang yang sama dengan sang ayah dan meskipun begitu, George merasa dia masih akan terus membuka tangannya, kapanpun untuk membantu gadis yang kini hidup sendirian setelah apa yang menimpa sang sahabat.

“Terima kasih banyak, paman. Aku menghargai itu,” jawab Putri sekenanya meskipun dia terdengar serius menyatakan hal tersebut.

George pun mengulas senyum tipis dan penuh simpatik sebelum akhirnya berlalu dari tempat pemakaman itu bersama rekan – rekan Haris yang lainnya dari kantor berita.

Tak lama, Dewi mulai berjalan mendekat dan berjongkok di samping sahabatnya.

“Aku sudah mengatakan pada ayah, dan dia menyetujuinya Puu…” ujar gadis itu.

Putri menoleh, masih dengan mata sendunya dia menatap nanar sahabatnya. “Aku tak ingin merepotkan siapapun. Aku bisa jalani hidupku sendiri…” tegasnya.

“Tapi…” ucapan Dewi terhenti.

“Setidaknya biarkan aku merawatmu sampai kau benar – benar siap dan mampu hidup sendiri Putri… kau sudah begitu dekat dengan putriku, dan sudah ku anggap sebagai anak kandungku sendiri,” sela Erik, ayah Dewi yang berdiri di belakang mereka.

Putri tak menjawab lagi, dia hanya diam dan pasrah akan hidupnya sekarang. Entah dia harus hidup sendiri di rumah besar keluarganya yang baru saja terjadi hal mengerikan di dalamnya, di panti asuhan kalau memang dia masih pantas, atau harus menerima tawaran Dewi dengan menjadi adik tiri gadis itu. putri kini masih tak bisa berpikir jernih hingga akhirnya dia mengangguk kecil sebagai jawaban dari tawaran sahabatnya itu.

“Kami akan menjagamu dengan baik. Aku janji, akan menjadi kakakmu yang terbaik!” pekik Dewi senang dan menghambur memeluk tubuh Putri.

**

Masa berkabung untuk Putri nyatanya tak bisa di lalui gadis itu dengan tenang dan nyaman. Setidaknya itu yang Putri rasakan begitu dia melihat mobil sedan berwarna biru kelam terparkir di depan rumah Dewi begitu mereka tiba di rumah dari pemakaman orang tuanya. Dewi sempat melirik pada sahabatnya sebelum menggenggam erat tangan Putri, berusaha memberi kekuatan pada gadis itu sebelum turun dari mobil.

“Apa aku perlu minta mereka pergi dulu sekarang?” tanya Erik dengan wajah cemas.

Putri menggeleng, “mereka juga pasti kesulitan karena menunggu terlalu lama. Lagipula… nasib kakakku sedang di pertaruhkan sekarang,” lirih Putri.

“Baiklah, ayo turun dan temui mereka.” Erik turun terlebh dahulu dan di susul Dewi yang membukakan pintu mobilnya untuk Putri.

Putri turun masih dengan menundukkan kepalanya, dia hanya melirik sekilas dan melihat detektif muda yang pertama kali menemuinya beberapa waktu lalu berdiri di sana bersama seorang pria yang lebih tua beberapa tahun darinya dan memakai jas abu – abu yang nampak begitu resmi. Sementara detektif muda itu justru memakai baju khas berkabung, dengan jas hitam.

Mata kelamnya kini bertumbukan dengan mata Putri. “Nona Putri…” sapa detektif yang berjas abu – abu itu.

“Ada perlu apa, pak?” tanya Erik basa basi, karena dia sendiri pasti paham tujuan para detektif itu ada di tempat ini.

“Kami ingin meminta keterangan dari Nona Putri, sebagai saksi mata langsung kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi--” si detektif muda itu menghentikan ucapannya dan menatap ke arah si gadis yang di maksud.

“Aku siap untuk memberikan pernyataan…” tukas Putri.

Ucapan gadis itu sontak membuat detektif yang berusia paruh baya itu mengulas senyum penuh kelegaan sementara detektif muda yang di kenalnya lebih awal itu nampak terkejut dan muram mendengarnya. Dia tahu gadis itu tak siap, tak akan pernah siap untuk menceritakan hal mengerikan itu, sampai kapanpun.

“Tapi aku ingin bicara hanya dengan dia…” tunjuk Putri pada si detektif muda.

“Tentu, dia memang orang yang berwenang untuk mendapatkan pernyataan darimu, nona Putri…” tegas pria itu.

Putri menghembuskan nafas panjang dan berat sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah dan berjalan ke dalam kamar Dewi. Gadis itu lalu duduk di tepian ranjang sambil terus menunduk sementara si detektif muda itu mengikuti langkahnya dari belakang tanpa berani menegurnya sama sekali.

“Kita mulai dari mana?” tanya Putri lagi begitu mereka ada di ruangan yang sama dan pintu sudah tertutup.

“Perkenalan…” tukas pria muda itu.

Putri mengernyitkan keningnya dan menatap penuh selidik pada pria muda yang berdiri di hadapannya dan kini mulai duduk, “Kau…”

“Saya ingin anda bercerita padaku, sebagai seorang teman. Bukan polisi yang sedang mengambil kesaksian. Tapi seperti seorang teman yang sedang mendengar curahan hatinya dari seorang temannya yang terluka,” jelasnya, “Kenalkan, aku Andrew…” lanjutnya lagi dan mengulurkan tangan pada Putri.

“Putri…” jawab gadis itu tanpa membalas uluran tangan Andrew padanya.

Andrew nampak cukup kikuk menghadapi perlakuan Putri dan segera menarik tangannya kembali lalu berusaha bersikap santai lagi. Dia memposisikan duduknya dengan cukup nyaman dan menyalakan perekam ponselnya sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

“Jadi… apa yang terjadi malam itu Putri?” tanya Andrew mengawali. “Kalau kau bingung, kau bisa mulai dari saat kau berinteraksi terakhir kali dengan orang tuamu. Hari itu…” kata Andrew lagi.

Putri tak langsung menjawab apa yang Andrew tanyakan, tidak juga menjelaskan semuanya dan hanya diam. Selain dia tak mengerti harus memulai dari mana, nyatanya dia tak sanggup mengingat saat – saat terakhirnya bersama kedua orang tuanya hari itu. Dan mereka ulang semuanya di ingatannya. Sampai di satu titik, gadis itu menangis tersedu dan menunduk. Bahunya bergetar dan suara isakannya begitu memilukan, rasanya ada ribuan batu besar yang menimpa pundak dan kepalanya.

Tapi dia bertekad untuk menuntaskan segalanya saat ini. Sehingga mau tidak mau dia harus mulai bicara, mungkin dengan ini, bebannya akan sedikit berkurang. Dan di sinilah Putri mulai menceritakan segala kejadian yang ada.

“Hari itu, semuanya berjalan seperti biasanya… tidak ada yang aneh atau janggal sama sekali. Dan bahkan, kakakku sempat pergi bersama ayah untuk membeli peralatan memancing. Karena seharusnya, kami pergi berlibur dan memancing di danau untuk merayakan kelulusan kami…” ungkap Putri di awal.

---Rabu, 18 Juni 2014. Pukul 08.30 pagi---

---7 jam sebelum pembunuhan---

“Faa…!!! Turun cepat! Ajak adikmu untuk sarapan!” teriak Lidya dari arah dapur memanggil anak sulungnya.

“Iya bu…!” suara langkah kaki Fariz yang berlari kecil di lantai dua kini mulai terdengar dan menandakan dia sedang menjalankan perintah sang ibu.

Pria muda itu lalu berlari menuju ujung lorong dan sampai di depan sebuah pintu bercat biru muda dengan banyak sekali tempelan karakter komik detektif Conan di sana. Ada juga papan tanda aneh yang terbuat dari kardus bekas yang di sebut adik kembarnya sebagai karya seni yang bertuliskan, “Area Putri. Dilarang Masuk!” menempel di pintu itu.

Fariz menundukkan badannya dan mencoba mencuri dengar suara dari dalam kamar sang adik. Yang justru membuatnya tersungkur karena Putri, adik kembarnya itu membuka pintu kamarnya secara tiba – tiba.

Brukk!

“Kau mengintipku lagi? Hah!” kata Putri sambil bertolak pinggang.

“Tidak! Kata siapa?” elak Fariz.

“Kataku!” jawab gadis itu dan melangkahi tubuh kakaknya yang masih terjerembab di bawah sana tanpa merasa berdosa sama sekali, “Ibuuu!!! Kakak mengintip lagi!!!” teriaknya dan berlari menjauh.

“Mck! Bohong bu…!!!” bela Fariz sembari berteriak dan langsung bangkit untuk mengejar Putri.

Suara langkah kaki yang berlarian kembali terdengar hingga akhirnya mereka berdua sampai di ruang makan dengan sang ayah yang sudah duduk sambil menyesap teh sementara ibunya sedang mengambilkan makanan di piring masing – masing.

“Sudah lah… duduk kalian, jangan berlarian begitu setiap pagi…” kata Haris dengan suara beratnya,

“Dia mengintipku setiap pagi ayah!” protes Putri.

“Kata siapa? Aku hanya mau membangunkanmu kok!” elak Fariz.

“Oh ya? Menunduk dan menempelkan wajahmu di pintu kamar itu kau sebut membangunkan aku?!” kata Putri sekali lagi.

“Aku hanya--”

“Sudah… jangan di lanjutkan. Pause dulu pertengkarannya, duduk dan makanlah dulu. Isi tenaga kalian dan baru lanjutkan lagi bertengkarnya ya…” ujar sang ibu dan tersenyum melihat tingkah anak – anaknya.

“Benar kata ibumu. Bertengkar itu butuh tenaga. Ayo duduk dan makan!” ajak ayah mereka lagi dan membuat keduanya terdiam. Mereka menuruti ucapan orangtuanya meski sesekali masih melemparkan ejekan tanpa suara.

**

Malam itu, adalah malam kelulusan untuk si kembar. Mereka di undang untuk merayakannya bersama di sekolah yang mengadakan prom night khusus. Karena jarak lokasi sekolah dan rumah mereka yang cukup dekat, dan enggan menjalani upacara pembukaan yang menurut keduanya terlalu resmi dan membuang waktu, Fariz dan Putri memilih berangkat sedikit terlambat.

Namun Fariz justru berpamitan pada putri untuk pulang terlebih dahulu. Dia mengatakan kalau dia merasa tak enak badan dan pusing mendengar dentum musik yang memekakkan telinga selama acara pesta itu. Putri yang memang tahu persis bahwa sejak pagi kakak kembarnya tiba – tiba sakit, langsung mengiyakan permintaan sang kakak dan mengatakan kalau dia bisa pulang sendiri dengan temannya.

Sementara Putri di ajak oleh teman – teman dekatnya untuk mengadakan pesta pribadi mereka sendiri di rooftop sekolah. Jane yang berperan sebagai ketua di kelompok mereka sudah menyiapkan segalanya sejak kemarin. Makanan, minuman, dan juga menata tempat di rooftop dengan selembar kain piknik bermotif kotak – kotak dengan warna merah dan putih yang khas terbentang di sana. Bahkan Mery juga membawa handycam dan Dewi menyiapkan beberapa permainan yang dia beli sebelumnya untuk di mainkan bersama malam itu.

“Tunggu dulu! Ada yang kurang!” pekik Jane yang melihat semua barang tertata di sana.

“Apa?” tanya Putri.

“Aku membeli beberapa kaleng bir tadi sebelum kesini dan menyembunyikannya agar tak ketahuan guru penjaga di depan sana,” tukas Jane.

“Apa?! T-tapi siapa yang mau minum bir, Jane?” tanya Putri.

“Kita yang akan minum. Ayolah Puu, kau kan sudah 20 tahun. Jangan bersikap polos dan seolah tak ingin mencobanya seperti ini…” kata Jane lagi.

“Cicipilah sedikit,” timpal Dewi dan mengerlingkan matanya.

“Kakak sudah pernah coba minum juga?” tanya Putri pada Dewi dan gadis itu mengangguk.

“Begini saja, kalau kau memang masih tak mau minum bir nya. Lebih baik, kau bantu kami mengambilkannya di ruang fotografi,” tawar Mery.

“Kau menyembunyikan ‘itu’ disana?” Jane tak percaya.

“Ini ide Dewi. Hanya tempat itu yang terpisah dari area pesta dan tak akan di periksa karena semua guru terkonsentrasi di aula utama sekarang. Terlebih lagi, aku dan Dewi kan anak klub fotografi, jadi kami punya sandi untuk masuk ke sana dengan mudqah…” pamer Meri sekali lagi.

“Ah… ya sudah, aku akan ambilkan. Lagipula, aku tak mau minum itu karena aku tidak mau nanti Faa mengadukanku pada ayah. Dia sangat peka,” jelas Putri lagi.

“Bagus! Tolong ya, cantik. Sandinya ‘1004’,” ujar Mery.

“Tunggu, tunggu! Aku kesana sendirian?” tanya Putri sembari menunjuk wajahnya sendiri.

“Hmm… kami harus menyiapkan tempat ini. Lagipula, kalau kita kesana bersama nanti akan sulit untuk mencari alasan andai ketahuan oleh guru kan,” kata Mery sekali lagi.

Putri kini hanya menatap sekitarnya dan melihat Jane dan Dewi yang sudah sibuk dengan dunianya masing – masing. Mereka fokus menata dan membereskan tempat itu agar nyaman mereka gunakan untuk pesta.

“Oke, aku kesana…” tukas Putri akhirnya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel