Pustaka
Bahasa Indonesia

TERPAKSA MENDUA

52.0K · Ongoing
Ayu Wandira
32
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

21 AREA DEWASA DI BAWAH UMUR MENYINGKIR Ia tidak perlu mendefinisikan apapun tentang hatinya, karena ia tahu bahwa ia sudah jatuh hati dengan pria ini. Ia selalu ingat bagaimana mereka saling berciuman dan membiarkan pria ini mencumbunya. Bahkan saat ini ia ingin pria itu menyentuh seluruh tubuhnya dengan hasratnya. Ia tahu bahwa ia telah mendua dari kekasihnya, mungkin cara orang berbeda tentang cara pandang ini. Awalnya ia bisa mengendalikan, namun semakin ke sini, ia tidak bisa terus-terusan menahannya. Poppy tidak bisa berkata-kata, ia terlalu bingung untuk menjelaskannya. Ia menarik tangan Harvey, hilang semua control pada dirinya. Ia lalu mendaratkan bibirnya ke bibir Harvey, ia mencium bibir pria itu dan menciumanya secara lembut. Harvey bergeming beberapa detik, ia merasakan kecupan Poppy sangat lembut, kecupan-kecupan itu semakin lebut trasa pada bibirnya.

RomansaMetropolitan

BAB 1

BAB 1

HAPPY READING

***

“Ini gimana cara ngerjainnya ya pak?” Tanya Poppy menatap boss nya, ia menunjukan MOU investasi. MOU atau Memorandum of Understanding atau dengan kata lain terkait dengan rencana kerja sama investasi. Jujur ini merupakan pertama kalinya Poppy mengerjakan MOU Investasi starup yang baru, yang terkait tentang penjualan melalui daring.

“Biasa gimana?” Tanya Harvey menatap Poppy seketarisnya, dia memiliki wajah cantik, bibir penuh, alis terukir sempurna. Dia mengenakan blouse chiffon dan rok span pendek di atas lutut hingga kulit betis mulusnya terlihat.

Semenjak mereka pulang dari New York, Poppy sepertinya memang menghindarinya. Ia tahu ia salah karena sudah mencium wanita itu dengan lancang. Sekarang wanita itu benar-benar ingin menjaga jarak, hubungan mereka seperti biasa hanya rekan kerja saja. Ia melihat beberapa kali kekasihnya bernama Nathan menjemputnya di lobby.

Jujur ia bukan pria yang senang mengusik atas hubungan wanita yang sudah jelas memiliki kekasih. Ia juga menganggap bahwa Poppy dan dirinya sebatas rekan kerja saja. Tidak peduli wanita itu akan lembur setiap hari bersamanya. Karena mereka memang murni kerja, bukan melakukan perselingkuhan.

“Saya nggak tau pak, makanya saya nanya bapak. Soalnya file saya nggak ada contoh MOU Investasi untuk starup ini,” ucap Poppy bingung. Masalah udah hampir jam lima Harvey nya masih menyuruhnya mengerjakan ini. Ia juga melihat Harvey masih fokus dengan pekerjaanya.

“Ya, saya nggak mau tau sih, pokoknya hasilnya harus sesuai yang saya bilang tadi. Datanya ini, kamu kerjain sekarang. Soalnya besok siang saya sudah ketemu klien,” Hervey ia memberi data budget dan timeline kepada Poppy.

“Lah gue pikir lo tau, payah banget sih,” umpat Poppy dalam hati.

Harvey memandang Poppy memperhatikan wajah itu cukup serius, “Ya, gimanapun caranya, kamu harus buat sebagus mungkin, kamu pikir aja sendri.”

“Oke, habis ini gue resign,” teriak Poppy dalam hati.

Poppy menarik nafas panjang, ia kembali memandang Harvey, menurutnya semakin hari Harvey semakin mengesalkan, “Saya tanya yang lain aja kali ya pak,” ucap Poppy.

“Boleh, itu terserah kamu. Saya mau itu selesai malam ini ya,” ucap Harvey, ia masih memperhatikan Poppy yang nampak kebingungan.

Poppy lalu keluar dari ruangan Harvey, ia melangkah menuju lantai bawah menggunakan tangga. Ia tahu di mana ia akan bertanya. Ia pergi ke ruangan publik relationship. Poppy melihat kubikel-kubikel anak PR sudah kosong. Tersisa hanya anak Finance beberapa orang dan anak marketing yang masih menekuri pekerjaanya.

“Ada liat bu Bella nggak?” Tanya Poppy, bertanya kepada yang lainnya.

“Barusan balik bu,” ucap Reza yang sudah mematikan komputernya, bersiap untuk pulang.

Poppy mengambil ponsel di saku jas nya, ia mencari nomor Bella. Ia telatakan ponsel itu di telinga kirinya. Suara sambungan terdengar, sedetik kemudian panggilan itu terangkat.

“Iya, Pop,” ucap Bella di balik speakernya.

“Lo di mana?” Tanya Poppy, ia duduk di kursi kosong yang ditinggal penghuninya.

“Gue di jalan nih, kena macet, kenapa?” Bella memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.

“Lo ada file MOU investasi untuk starup nggak?”

“Ada.”

“Minta dong.”

“Yah, gue di jalan nih nggak bisa balik lagi. Gimana dong. Eh, tapi lo bisa deh buka computer gue deh. Di situ, lo masukin aja password gue.”

“Apa paswordnya?” Tanya Poppy.

“Paswordnya, TemanTidur, T nya huruf besar ya, Pop.”

“Iya, iya, bentar ini lagi mau ke kubikel lo.”

Poppy duduk di kursi Bella, ia menghidupkan tombol power ia menunggu layar komper menyala. Ia memasukan password dari Bella. Lalu layarpun terbuka, Poppy kembali menelfon Bell.

“Iya Pop?” Ucap Bella.

“Folder yang mana,” karena ia melihat di drive Bella, karena ia bingung di sini terlalu banyak folder.

“Ada di desktop, coba lo cek ada tulisan MOU starup,” ucap Bella memberi arahan kepada sahabatnya itu.

Poppy lalu mengirim file ke alamat emailnya, karena tadi ia lupa membawa flashdisk. Setelah itu Poppy mematikan computer Bella. Poppy senang akhirnya ia mendapatkan file yang ia mau. Poppy kembali ke atas, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 17.30 menit. ia mendengar suara ponselnya bergetar.

“Nathan Calling.”

Poppy menarik nafas, ia tadi sudah mengatakan kepada Nathan bahwa ia pulang telat. Poppy menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga kirina,

“Iya Nat?” Sapa Poppy menaiki tangga.

“Kamu belum pulang?”

“Iya belum, aku kayak lembur, soalnya kerjaan aku lagi banyak-banyaknya.”

“Lembur terus, emang apa sih kerjaan kamu?” Ucap Nathan.

“Ya banyak, ngerjain MOU, proposal, surat masuk, ngurusin klien,” Poppy mencoba meminta pengertian kepada Nathan.

“Aku di depan tower kamu. Mau pulang bareng apa nggak?” Tanya Nathan.

“Ya, enggak bisa Nat. Kerjaan aku masih banyak. Kamu pulang duluan aja, nanti aku pulang pakek taxi.”

“Kamu nggak ada main kan sama bos kamu?”

“Ya enggak lah.”

“Itu buktinnya alasan kamu lembur terus, hampir setiap hari malah.”

“Ya emang kenyataan begitu Nat, ngapain aku boong sama pacar sendiri.”

“Yaudah deh kalau begitu, aku nanti nggak jemput kamu ya, soalnya nganterin Indra ke Bandara.”

“Iya.”

Sambunganpun terputus begitu saja, sebenarnya Nathan tidak suka jika ia selalu lembur seperti ini. Namun ini memang pekerjaanya, ia memiliki tanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Orang tuanya juga tidak melarang dirinya lembur seperti ini. Ia tetap ingin menjadi wanita mandiri tanpa diperintah oleh pacarnya. Ia tidak peduli Nathan melarangnya dan menyuruhnya resign, ia tetap pendirian menjadi sekretaris. Perjuangannya cukup panjang mencapai posisi ini.

Poppy masuk ke office, ia melihat Harvey di sana. Pria itu masih sibuk dengan pekerjaanya. Poppy kembali ke meja kerja, ia membuka email dan membuka file dari Bella. Ia mulai mempelajari MOU itu, jika sewaktu-waktu ditanya Harvey ia mengerti dan sudah siap.

Poppy mulai mengisi semua data yang tersedia dan mengubah modal investor, dan ia juga mulai mengisi data angka investasi di pasal “maksud dan tujuan”. Semua ia isi pembagian hasil sesuai dengan data yang diberikan oleh Harvey. Ia menekuri pekerjaanya, kini Poppy sudah tenggelam dengan data-data itu.

***

Sementara di sisi lain Harvey melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.00 menit. Ia melihat Poppy tidak kunjung masuk ke dalam ruangannya. Harvey meneguk air mineral ia beranjak dari kursinya. Ia ingin tahu apa yang di kerjakan Poppy yang tak kunjung masuk ke ruangannya, ia memandang ke arah jendela langit sudah menghitam, ia melihat gedung-gedung pencakar langit dari ketinggian.

Harvey beranjak dari kursi, ia lalu ke ruangan Poppy, yang letaknya memang di sebelah officenya. Ia menatap Poppy di sana, wanita itu masih di sana. Sedetik kemudian wanita itu menyadari kehadirannya, dan mereka saling berpandangan satu sama lain.

“Bagaimana? Sudah selesai?” Tanya Harvey.

“Inii hampir selesai pak,” ucap Poppy.

Harvey mendekati Poppy ia berdiri tepat di belakang kursi Poppy, ia ingin melihat hasil MOU buatan Poppy, “Coba scroll ke atas, saya mau lihat hasil kerja kamu,” ucap Harvey.

Poppy menelan ludah, ia dapat mencium aroma tubuh Harvey, perpaduan spice, citrus, sage dan rosemary. Poppy tahu betul ini merupakan keharuman original dari Giorgio Armani. Harumnya sangat khas, sehingga membuat siapapun betah berlama-lama di dekatnya.

Poppy menscrol mouse wireless nya ke atas, ia tahu bahwa Harvey sedang melihat pekerjaanya. Jika sudah seperti ia bingung, ia hanya bisa melihat bayangan Harvey di tubuhnya, ia yakin jarak mereka sangat dekat.

“Ini kamu dapat dari mana?” Tanya Harvey.

“Dapat dari Manager PR pak, bu Bella.”

“Kamu udah cocokin dengan MOU sebelum-sebelumnya. Kamu cek dulu ya, siapa tau ada ketinggalan pasal-pasalnya.”

“Iya pak.”

Harvey mengangguk paham, “Force Majeur, itu ada yang salah pengetikannya. Kamu kerja yang teliti lagi.”

“Iya pak.”

“Setelah itu bawa ke saya ya, buat dua rangkap,” ucap Harvey.

“Baik pak.”

Poppy merasa lega ketika Harvey menjauh darinya, ia melihat pria itu memperhatikannya dan lalu menghilang dari balik pintu. Poppy bergegas menyelesaikan pekerjaanya, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 20.10 menit. Oh God, ia tidak tahu ternyata ia sudah selarut ini. ini bukan pertama kalinya ia lembur kerja. Dari pergi pagi pulang malam, sudah menjadi makanannya sehari-hari. Dalam hati ingin resign namun ia masih mencintai ruangannya ini. Ini adalah ruangan sekretaris idamannya sejak dulu.

Jujur ia bukan wanita yang bisa berbisnis, impiannya sejak dulu adalah bekerja di ruang kantor tersendiri seperti ini. Memiliki meja kerja dan kursi empuk yang bisa berputar, letaknya di gedung pencakar langit dengan gaji dua digit. Puluhan orang, ia lewati untuk mendapati posisi ini. Sangat disayangkan jika ia resign hanya gara-gara Nathan.

Poppy menyelesaikan pekerjaanya, ia melangkah menuju ruangan Harvey. Ia menatap pria itu menatap ke arah leptopnya. Harvey memandang Poppy di tangannya membawa map bening dan wanita itu tersenyum kepadanya.

“Sudah selesai?”

“Iya sudah pak.”

Poppy lalu duduk di kursi kosong di depan Harvey dan menyerahkan MOU yang ia kerjakan. Sejauh ini Poppy memang bekerja cukup baik dengannya, bahkan tidak mengeluh saat pulang malam seperti ini. Kinerjanya sangat baik, bahkan siap menggantikannya saat bertemu dengan klien. Dia wanita yang sangat cekatan menurutnya. Ia sebenarnya sangat puas dengan hasil kerja Poppy selama ini.

Harvey membaca MOU itu dengan teliti karena ini sangat kursial menurutnya, ia memandang Poppy wanita itu hanya diam.

“Oke, ini cukup bagus menurut saya.”

Poppy merasa lega, karena Harvey tidak menanyakan hal-hal yang ada di dalam pasal tersebut, “Terima kasih pak.”

Harvey menutup map itu dan meletakannya di meja, “Kamu boleh pulang.”

“Iya pak,” ucap Poppy.

Poppy beranjak dari kursinya, ia melangkah menuju ruangannya. Ia mematikan computer dan lalu mengambil tas dari laci nya. Poppy menatap penampilannya di cermin, ia memastikan wajahnya tidak terlihat lelah. Baginya penampilan itu nomor satu. Andai ia memiliki apartemen sendiri, maka ia tidak perlu repot pulang ke rumah.

Poppy menunggu Harvey keluar dari ruangannya, karena aturannya jika Harvey pulang maka ia pulang juga. Poppy memandang Harvey keluar dari ruangannya, ia mengikuti langkah Harvey. Tidak lupa ia mematikan lampu lalu mengunci ruangan.

Harvey menggulung kemejanya hingga siku, ia melirik Poppy berada di sampingnya. Mereka melihat area ruangan kantor tampak sepi, hanya ada beberapa anak IT masih lembur. Biasa anak IT selalu pulang malam.

Mereka menuruni tangga dan lalu menekan tombol dasar. Sepanjang perjalanan mereka tidak ada yang memulai percakapan sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka hanya berbicara soal pekerjaan saja.

Setibanya di lobby ia memandang security masih berjaga di depan pintu. Ia menatap mobil BMW nya terparkir di sana. Harvey menatap Poppy menunduk dan mereka terpisah begitu saja. Harvey masuk ke dalam mobilnya dan Poppy memilih meneruskan langkahnya ke jalan depan, wanita itu akan memutuskan untuk pulang menggunakan taxi.

***

Harvey menghidupkan mesin mobil, ia memasang sabuk pengaman semenit kemudian mobilnya meninggalkan area tower. Ia memandang Poppy di sana, wanita itu masih berdiri di tepi jalan. Biasa gadis itu di jemput oleh kekasihnya. Namun sekarang wanita itu berdiri di tepi jalan.

Harvey lalu mengehentikan mobilnya tepat di depan Poppy, ia membuka kaca jendela memandang gadis itu. Wanita itu menatapnya dan ia menatap balik.

“Kamu nggak di jemput sama pacar kamu?” Tanya Harvey to the point.

“Nathan lagi ada urusan pak. Saya hari ini pulang sendiri pakek taxi,” ucap Poppy.

“Ayo, pulang sama saya.”

“Ah, jangan pak saya bisa pulang sendiri,” Poppy menolak tawaran Harvey.

“Ini sudah jam sembilan, bahaya kalau pulang menggunakan taxi sendiri. Kalau terjadi apa-apa sama kamu bagaimana?” Ucap Harvey lagi.

“Tapi pak, aman kok taxi.”

“Apa kamu takut saya ngebut?”

“Come on, saya cuma menawarkan antar kamu pulang.”

Poppy tidak kuasa menolak tawaran Harvey, ia menarik nafas dan lalu masuk ke mobil Harvey di depan. Ia sebenarnya tidak enak jika hampir seluruh waktunya berdua dengan Harvey, apalagi ia sudah memiliki kekasih. Poppy memasang sabuk pengaman, lalu Harvey meneruskan perjalanannya.

Poppy menatap Harvey memanuver mobil dan tangan kirinya menghidupkan audio dengan suara pelan. Ia melirik Harvey, ia akui pria itu sangat tampan, tubuhnya rileks di sandaran kursi dan tatapannya tetap fokus menjaga jarak mobil dan motor dihadapannya.

Suara ponsel Poppy kembali bergetar, ia merogoh ponsel di dalam tas nya, ia melihat pada layar ponsel, “Nathan Calling.” Poppy melirik Harvey yang hanya diam. Poppy ingin memasukan ponselnya kembali ke dalam tas.

“Angkat aja Pop, enggak apa-apa kok,” ucap Harvey.

Poppy sebenarnya tidak ingin mengangkat panggilan itu, namun ucapan Harvey malah mengharuskan dirinya mengangkat ponsel itu. Jika ia membiarkan tidak di angkat, maka pacarnya itu biasa ngambek. Ia tidak ingin ada masalah baru lagi, jika Nathan tau kalau dirinya pulang bersama Harvey. Poppy melihat Harvey mengecilkan volume suara audio, hingga music itu tidak terdengar lagi.

Poppy menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel di telinga, “Iya Nat,” ucap Poppy.

“Kamu di mana?” Tanya Nathan.

“Aku lagi di jalan.”

“Kamu pulangnya naik apa?”

Poppy terdiam beberapa detik, ia melirik Harvey, “Aku pulang naik taxi,” ucap Poppy tenang.

“Kamu di mana?”

“Ini masih bandara.”

“Yaudah kamu hati-hati pulangnya.”

Sambunganpun terputus begitu saja. Poppy memasukan ponsel di dalam tasnya kembali. Harvey melirik Poppy, wanita itu bersandar di kursi.

“Kenapa kamu nggak jujur kalau saya yang antar kamu pulang?”

Poppy mengigit bibir bawah, ia menarik nafas lalu menatap Harvey, “Kamu pasti tahu, bukan alasan saya untuk diantar kamu kamu pulang,” ucap Poppy dengan logika.

“Oke, fine. Berarti semua bisa di kompromikan dalam sebuah hubungan,” ucap Harvey.

Poppy mengerutkan dahi, “Maksud kamu?”

Bibir Harvey terangkat, “Apa yang terjadi jika pacar kamu tahu kalau saya yang mengantar kamu pulang?”

“Dan itu tidak perlu diperjelaskan,” timpal Poppy.

“Bagaimana jika pacar kamu tahu kalau kita pernah lebih dari itu?”

“Maksud saya, kita pernah berciuman. I do actually …”

“I don't need your answer. Analoginya, kamu sebenarnya suka warna putih sama seperti saya tapi kamu terpaksa memilih warna hijau. Yang menurut kamu awesome,” ucap Harvey.

“Sok tau, kamu tidak perlu mengomentari hubungan saya.”

“Oke, lupakan.”

Harvey meneruskan perjalanannya, ia tidak ingin berdebat yang bukan urusannya. Sepertinya ia sudah ikut campur urusan gadis itu dengan pacarnya.

“Rumah kamu di mana?”

“Tebet.”

“Masih tinggal sama orang tua ya?”

“Iya.”

“Harusnya seumuran kamu sudah pisah dengan orang tua.”

“Maunya sih begitu.”

“Harusnya kamu nggak perlu ngantar jadinya kamu bolak-balik ke Dharmawangsa,” ucap Poppy, ia tahu bahwa Harvey tinggal di Dharmawangsa letaknya salah satu perumahan elite di sana.

“Enggak apa-apa, jaraknya juga tidak terlalu jauh.”

Harvey kembali menghidupkan audio mubilnya suara music terdengar sepanjang jalan. Poppy mengarahkan letak rumah orang tuanya. Beberapa menit kemudian akhirnya mobil Harvey berhenti di rumah berpagar tinggi itu.

“Ini rumah orang tua kamu?” Tanya Harvey memperhatikan rumah orang tua Poppy. Menurutnya Poppy bukan anak yang kekurangan apapun, rumahnya berpagar tinggi dan terbilang mewah.

“Iya,” Poppy melepas sabuk pengamannya, ia lalu keluar dari mobil dan Harvey membuka jendela.

Poppy memandang Harvey, “Terima kasih pak katas tumpangannya.”

“Iya sama-sama. Besok jangan telat.”

“Iya.”

****