Pustaka
Bahasa Indonesia

TAWANAN SANG CEO

47.0K · Tamat
Ayu Wandira
20
Bab
7.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

21 AREA DEWASA DI BAWAH UMUR MENYINGKIR “Mau aku puasin?” Tanya Niko sekali lagi. “No, kamu pikir aku cewek apaan!” Niko menyungging senyum, “Kamu wanita normal seperti pada umumnya, dan aku tidak merasa aneh kamu memiliki benda ini. Dan aku bisa puasin kamu, kalau kamu mau.” “Gila ya kamu!” Niko tersenyum penuh arti, ia melepaskan tangannya dan menarik pinggang Ester merapat ke tubuhnya. Kini tubuh mereka saling menempel satu sama lain hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. Ester berusaha melepaskan pelukan itu, namun pelukan Niko jauh lebih kuat darinya.

RomansaMetropolitanPresdirBillionaireDewasaLove after MarriagePerselingkuhanWanita Cantik

BAB 1

BAB 1

HAPPY READING

***

Kata orang bandara adalah tempat di mana perpisahan, pertemuan dan rindu yang entah ke mana. Kini ia sudah berada dimana orang saling bertemu dan merindukan. Ia melihat dari arah jendela mobil, banyak sekali orang yang hilir mudik. Ia memandang pak Didi yang tengah menatapnya dari kaca dasbor.

“Non Ester, kita mau turun atau nunggu di sini?” Tanya pak Didi, menatap anak majikannya.

“Turun aja deh pak, tapi bapak ikut juga sama aku. Enggak enak nih nunggu sendirian gini.”

“Baik non.”

Ester turun dari mobil ia melangkah menuju pintu kedatangan diikuti oleh pak Didi. Menurutnya bandara itu tempat paradoksal, di mana kembalinya si anak hilang yang merantau jauh dari tanah kelahiran, bekerja banting tulang sembari mengecap pengalaman pahit dan manis di tanah orang. Membawa cerita romansa dan kesedihan. Di sinilah tempat menjadi saksi haru, kembalinya sang kekasih yang sudah lama terpisah. Ia melihat beberapa orang mendekapan mesra di pintu kedatangan, sambil bercerita. Deru haru dan gembisa mengisi relung hati.

Ester merogoh ponsel di dalam tasnya ia melihat pesan masuk dari Nicholas. Sejujurnya ia malas ke bandara, untuk jemput pria ini. Namun ia harus menjalankan amanah sang mama, yang mengharuskannya menjemput pria bernama Nicholas. Entah bagaimana, ia merasa bahwa pria itu terlihat sangat special di mata mama dan papa. Sehingga ia harus menjemput pria itu di sini.

Ester dan pak Didi berdiri di pintu ke datangan, mereka memperhatikan satu persatu orang yang berlalu lalang sedang menarik koper di sana.

“Yang mana non orangnya,” ucap pak Didi.

Ester lalu menunjukan salah satu foto Nicholas yang di kirim sang mama. Foto pria itu mengenakan topi berwajah tampan dengan melipat tangannya di dada. Dia mengenakan celana jins dan kaos putih. Sebenarnya tidak terlalu jelas wajah di sana karena tertutup oleh topi. Ia melihat foto profil whatsapp, pria itu hanya memasang foto sebuah buku Elon Musk. Mungkin pria ini adalah salah satu penggemar Elon Musk, atau motivasinya untuk seperti si Elon.

Pak Didi hanya mengangguk memperhatikan wajah pria yang mengenakan topi itu.

“Ganteng ya, non.”

“Enggak jelas pak wajahnya, pakek topi item gini.”

“Tapi kayaknya ganteng non, itu idungnya mancung, kulitnya putih bersih, kayaknya tinggi juga, kayak artis korea non,” ucap pak Didi masih memperhatikan pria bernama Nicholas.

“Berlebihan bapak, masa kayak gini mirip artis korea.”

“Serius non. Nicholas kan non namanya.”

“Iya, pak.”

Beberapa menit mereka menunggu, Vero lalu menatap pak Didi lagi.

“Bener kan pak, ini terminal tiga? Kita nggak salah kan pak masuk terminal?” Tanya Ester, masalahnya dulu ia dan pak Didi pernah salah masuk terminal waktu jemput mama dan papa dari Eropa.

“Bener kok, non.”

Ester memperhatikan orang yang baru keluar dari pintu kedatangan satu persatu, tapi ia belum mendapati pria yang wajahnya mirip dengan di foto. Beberapa menit kemudian ia masih setia menunggu.

“Lama ya non,” ucap pak Didi.

“Nah itu,” ucap Ester lagi.

Ester menatap ke arah layar ponsel, ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Harusnya pria itu sudah landing jam segini, karena kemarin dia mengirim pesan kalau landing jam 13.37 sekarang sudah jam 14.20 menit. Beberapa detik kemudian ponselpun terangkat,

“Iya, halo,” ucap seorang pria dibalik speaker ponselnya.

“Kamu di mana? Saya udah di pintu kedatangan,” ucap Ester.

“Saya lagi nungguin bagasi. Sabar ya.”

“Ok, saya tunggu di depan.”

Ester menarik nafas, ia menatap pak Didi, “Masih nunggu bagasi pak, disuruh sabar.”

“Yaudah non, kita tunggu aja,” ucap pak Didi.

Ester dan pak Didi memilih duduk di kursi tunggu di dekat pintu kedatangan. Mereka memperhatikan satu persatu yang yang berlalu lalang.

“Ibu dan bapak, lama ya non di Eropa,” ucap pak Didi membuka topik pembicaraan.

“Lumayan pak, katanya dua Minggu. Enggak tau deh sampe kapan, biasa ngulur-ngulur waktu gitu, malah bisa sebulan,” ucap Ester.

“Kenapa non nggak ikut juga?” Tanya pak Didi.

“Males, capek juga ke Eropa.”

“Non aja capek ke Eropa. Bapak nggak pernah ke Eropa.”

“Loh, bukannya dulu pernah ikut. Diajak sama mama dan papa dulu bareng bibi di rumah.”

“Itu nggak ke Eropa non, ke Singapore. Itu juga bapak udah seneng banget, di ajak bapak jalan-jalan.”

“Bapak udah berapa lama jadi staff papa?” Tanya Ester.

“Lumayan non, hampir sepuluh tahun apa ya.”

“Lumayan lama juga ya pak.”

“Iya non, tapi bapak bersyukur kerja sama bapak, bapak orangnya baik.”

Pak Didi melirik jam melingkar di tangannya, ini sudah lima belas menit berlalu, “Gimana non, pak Nicholas nya?” Tanya pak Didi.

“Di tungguin aja pak. Orangnya belum nelfon, males juga diri-diri,” ucap Ester.

Ester melihat ponselnya ketika berdering, ia menatap “Nicholas Calling” Ester menggeser tombol hijau pada layar. Ia letakan ponsel itu di telinga.

“Iya, halo,” ucap Ester.

“Kamu di mana?” Tanya seorang pria dibalik speaker ponselnya.

“Saya sudah di depan pintu kedatangan, kamu di mananya?”

“Yaudah, saya ke sana,” ucap Ester, mematikan sambungan telfonnya.

“Pak, Nicholas nya udah ada di depan katanya, pak.”

“Hayuk non, ke sana.”

Ester dan pak Didi beranjak dari duduknya, mereka melangkah menuju pintu ke datangan. Tatapan mereka tertuju pada seorang pria mengenakan jaket kulit berwarna hitam di sana, dia sedang berdiri di pintu ke datangan. Ia yakin pria itu adalah Nicholas.

“Itu non, pak Nicholas nya,” tunjuk pak Didi.

“Kayaknya sih pak,” desis Ester.

“Wah, ganteng banget ya, non.”

“Biasa aja.”

“Haduh ganteng banget itu, non kayak artis.”

“Ih, bapak.”

“Serius non, ganteng.”

“Yaudah bapak sama dia aja, nikahin. Dari tadi ganteng mulu,” dengus Vero.

“Ya ampun non, emang ganteng non.”

“Bapak kayak baru liat cowok ganteng aja deh.”

“Tapi beneran non, ganteng.”

“Ih, bete in banget. Biasa aja itu wajahnya, basi, hambar gitu, enggak ada manis-manisnya. Muka pasaran.”

“Ah, non gimana dah. Inia ja dibilang biasa. Mirip artis gini.”

“Nikahin sana, kalau ganteng.”

“Bapakkan cowo non, masa nikahin.”

“Habisnya dari tadi ganteng mulu.”

Langkah Ester dan pak Didi semakin mendekat, kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Ester memperhatikan pria bernama Nicholas itu, dia memiliki tubuh tinggi proporsional. Pria itu melepaskan kaca mata. Ia menelan ludah, betapa tampannya pria itu. Dia memiliki alis yang tebal, hidung mancung, mata yang sedikit sipit mungkin ada sedikit keturuan Tiongkok, kulitnya putih dan rahang yang tegas. Sumpah, benar kata pak Didi dia tampan sekali.

Ester menahan nafas beberapa detik, ternyata pria itu lebih tampan aslinya dari pada di foto.

“Kamu namanya Ester?” Tanya Nicholas, pria itu memperhatikan wanita mengenakan celana jins dan kaos berwarna putih polos. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Dia memiliki struktur wajah berbentuk V, hidung kecil dan mancung, dan alis yang terukir sempurna. Ia memperhatikan bibir itu, bibirnya penuh terlihat sangat sensual, mungkin karena suntikan dokter. Dia terlihat seperti wanita masa kini.

“Iya, kenalin saya Ester Kimberly. Panggil aja Ester,” ucap Ester mengulurkan tangannya kepada pria itu.

Nicholas menyambut uluran tangan itu tanpa senyum, “Nicholas, panggil saja Niko,” sedetik kemudian Niko melepaskan tangannya.

“Mari pak Niko, saya bantu bawa kopernya. Kebetulan itu mobil kita,” ucap pak Didi.

“Terima kasih pak.”

Ester dan Niko mengikuti langkah pak Didi ke arah mobil Alphard berwarna putih. Ester membuka pintu samping, ia lalu masuk ke dalam. Sedangkan Niko membantu pak Didi menyusun kopernya di bagasi belakang.

Setelah beres, ia masuk ke dalam mobil tepatnya di samping Ester. Beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area bandara. Ia bersandar di kursi sambil mengistirahatkan punggungnya. Ia melirik Ester yang hanya memperhatikannya.

“Dari Perth ke Jakarta berapa jam?” Tanya Ester.

“Empat jam,” ucap Niko.

“Deket ya, nggak kayak ke luar negri,” ucap Ester.

“Iya, deket nggak ada transit soalnya langsung dari Perth ke Jakarta.”

“Kamu baru pertama kali ke Jakarta?” Tanya Ester.

“Iya, ini baru pertama kali.”

“Kok bisa bahasa Indonesia?”

“Kalau di rumah, mama dan aku ngomongnya pakai bahasa Indonesia.”

“Pantesan lancar.”

“Yaudah, kamu istirahat. Pasti capek dari perjalanan jauh.”

***

Sepanjang perjalan menuju rumah mereka hanya diam. Hanya suara radio dari mobilah terdengar. Mereka sama-sama mendengarkan suara penyiar radio yang sangat asyik itu. Jujur radio adalah salah satu siaran yang paling setia menemaninya di kala kemacetan kota Jakarta. Ia melangkah sambil melewati tol.

Seratus tujuh koma satu FM radio Anak Gaul Jakarta. Station for creative student. Good afternoon rekan Jakarta. Gimana kabarnya siang hari ini ? Semoga sehat dan penuh semangat yah.

Di edisi rabu enam juli dua ribu sebelas. Putri akan menemani anak gaul Jakarta selama dua jam ke depan, tentunya dalam program acara YSL ( your song at lunch) Dimana rekan buana dapat merequest lagu, titip titip salam dan ikut berpartisipasi dalam topik kita siang hari ini. Langsung aja nih kita dengerin satu lagu pembuka dari New Hope – Love Again, check this song.

Ester melirik Nicholas, pria itu diam sambil menekuri ponselnya. Ia tidak tahu apa yang dia lakukan. Namun tampak sangat serius. Ia kembali memandang ke arah jendela, ternyata pria itu yang ia lihat sangat membosankan, dia terlihat lebih dingin. Setidaknya jika ingin numpang di rumah sang pemilik rumah, pria itu harusnya berbasa-basi dengannya. Masa cuma diem-dieman gini, bener kata si Vero, kalau Nicholas itu sangat nggak asyik orangnya. Lihat aja gayanya ngebos banget.

Satu jam berlalu, akhirnya mobil berhenti di depan rumah berpagar tinggi itu. Niko keluar dari mobil, ia memperhatikan area rumah yang tamannya tertata rapi. Ia memandang sebuah mobil di plataran rumah, ia yakin mobil itu adalah milik sang pemilik rumah.

Niko dan Ester menatap pak Didi mengeluarkan koper itu dari bagasi.

“Ayo masuk,” ucap Ester.

Niko mengikuti langkah Ester dan menyeimbangi langkahnya masuk ke dalam. Ia memperhatikan area rumah ini di dominasi warna putih, rumah yang rapi dan sangat luas. Ia melhat di dinding ada foto keluarga di sana. Ia semakin masuk ke dalam, ruang yang sangat nyaman, ia melihat seorang wanita mengenakan pakaian batik di sana.

“Siang non Ester.”

“Siang juga bi.”

“Niko, ini namanya bi Asih.”

“Siang mas Niko.”

Niko tersenyum, “Siang juga bi.”

“Ganteng ya non.”

“Ih bibi.”

“Niko, kalau ada apa-apa di sini. Niko, bisa minta bantuan bi Asih, bisa juga minta bantuan sama pak Didi. Pak Didi bisa bantu Niko anter ke mana-mana. Niko juga bisa pakek mobil di basement atau pakek mobil aku juga boleh kok, enggak ada yang larang. Mana enaknya aja sih.”

“Terus, kamar Niko ada di atas, udah di sediain sama mama.”

Niko mengikutin langkah Ester ke atas, ia menatap Ester membuka hendel pintu.

“Ini kamar Niko. Kamar Ester ada di ujung sana. Kalau ada apa-apa ketok aja.”

“Iya.”

Niko memandang pak Didi mengangkat kopernya ke atas, “Udah pak, biar saya aja. Takutnya bapak capek.”

“Ah, nggak apa-apa pak Niko. Santai aja, kopernya nggak berat kok.”

“Terima kasih pak.”

“Sama-sama.”

Niko memperhatikan area kamar, di sana terdapat tempat tidur berukuran queen size, di sana juga ada walk in closet. Jendela kamar yang terbentang luas itu membuat pencahayaan yang sangat baik.

“Ada yang mau Niko tanyain nggak?”

“Enggak ada.”

“Yaudah kalau gitu. Selamat istirahat ya Niko.”

“Terima kasih.”

***